Kepala BKKBN Ungkap Botol Tidak Steril Sebabkan Anak Diare
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menekankan pentingnya pemberian ASI kepada bayi dibandingkan memberikan susu botol. Hasto mengingatkan para ibu agar berhati-hati ketika memberikan susu untuk bayi atau balita, khususnya dalam penggunaan botol susu.
“Banyak sekali orang tersesat pakai susu botol atau susu formula, akhirnya anaknya banyak yang mengalami diare. Kenapa diare? Bukan karena susunya, tapi karena botolnya tidak steril. Bekas susu yang tersisa di dalam botol menjadi sarang bakteri, kalau botol tidak betul-betul disteril,” katanya pada Rapat Koordinasi Tim Percepatan Penurunan Stunting Aceh 2024 di Hotel Ayani, Banda Aceh, Provinsi Aceh, Rabu (28/2/2024).
Selain itu, dokter Hasto mengatakan, usia perkawinan juga mempengaruhi terjadinya stunting terhadap bayi yang dilahirkan. Sebab, pernikahan di usia anak juga menentukan kesehatan ibu saat hamil.
Dia menuturkan, perempuan yang melahirkan pada usia anak berisiko mengalami kondisi kurang darah dan berisiko melahirkan anak stunting. Dia menambahkan bahwa faktor lain yang menyebabkan lahir anak stunting yaitu melahirkan di atas usia 35 tahun. “Di Aceh masih banyak ibu-ibu yang melahirkan di atas usia 35 tahun,” ungkapnya.
Dokter kandungan kelahiran 30 Juli 1964 ini menjelaskan, ciri khas stunting adalah bertubuh pendek. Tetapi, kata dokter Hasto, pendek belum tentu stunting. Ciri yang lebih khas lagi, katanya, anak stunting tidak cerdas dan orang stunting sering sakit-sakitan.
Dia melanjutkan, ketika dewasa, anak stunting akan mengalami central obes yang menyebabkan mudah terkena penyakit seperti darah tinggi, jantung, dan stroke. Dalam kesempatan itu, dia menyampaikan sejumlah hal yang harus dilakukan Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Aceh agar penanganan stunting dan intervensi yang dilakukan tepat sasaran, sehingga target nasional prevalensi stunting bisa turun hingga 14% pada 2024.
Mengambil contoh Aceh, target prevalensi stunting di wilayah itu pada 2024, menurut dokter Hasto, sebesar 19,0%. Pada 2023, Aceh diberi target turun sebesar 23,69%. Kini Aceh bersama 11 provinsi lokus stunting di Indonesia sedang menunggu hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI). Hingga kini SKI belum dilaunching.
Sebagaimana diketahui, prevalensi stunting Aceh pada 2021 sebesar 33,2%, dan pada 2022 turun dua digit menjadi 31,2% (hasil SSGI 2022). “Cegah stunting penting di periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPH), sejak terjadinya konsepsi sampai usia bayi dua tahun. Dalam masa tersebut pola asuh dan asupan yang berkualitas seperti ikan perlu diberikan kepada anak. Sebab 80 persen kecerdasan anak terbentuk di 1.000 HPK. Ini sangat penting bagi perkembangan anak selanjutnya,” katanya.
Hasto mengatakan, Allah akan menutup ubun-ubun bayi setelah usia dua tahun. Kecil kemungkinan perkembangan otak bayi setelah usia dua tahun. “Maka itu, pre konsepsi penting dilakukan para calon pengantin (catin), dan tidak besar biayanya dibandingkan mempersiapkan pra wedding," ujar Hasto.
Kehidupan berkeluarga, lanjutnya, perlu dipersiapkan dengan baik. "Sebab epidemiologi terjadinya kehamilan setelah perkawinan adalah selama 18 bulan,” tutur dokter Hasto.
Ia juga mengatakan, salah satu penyebab terjadi stunting karena jarak kelahiran anak yang terlalu dekat. Hal tersebut mengakibatkan pola asuh yang diberikan kepada anak tidak maksimal. Padahal, kata Dokter Hasto, setiap anak perlu diberikan ASI paling kurang selama 24 bulan atau dua tahun.
Dokter Hasto mengungkapkan, beberapa alasan mengapa bayi tidak menyusui. Sebesar 65,7% karena ASI tidak keluar, 8,4% terjadi rawat pisah antara ibu dan bayi, 6,6% anak tidak bisa menyusui, dan 2,2% karena si ibu repot.
Menjawab wartawan, di sela acara, dokter Hasto menegaskan bahwa BKKBN dan mitra terkait mengawal ketat program percepatan penurunan stunting, sehingga target 14 persen di 2024 bisa dicapai. Atas pertanyaan lainnya, dokter Hasto mengatakan bahwa menurunkan stunting jauh lebih strategis daripada mengejar anak stunting.
Hasto juga mengingatkan bahwa yang paling efektif menurunkan stunting adalah dengan mengintervensi mereka yang hamil atau yang akan hamil. Sementara itu, Penjabat (Pj) Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Aceh yang juga Wakil Ketua Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Aceh Ayu Marzuki meminta Tim Percepatan Penurunan Stunting agar memperkuat sosialisasi tentang stunting hingga ke tingkat desa.
Ayu menuturkan, masih banyak Keuchik atau kepala desa, bahkan istri kepala desa yang notabane Ketua TPPS tingkat Gampong belum mengetahui apa itu stunting. Ayu mengungkapkan malah banyak yang menganggap bahwa stunting itu penyakit.
"Saya berterima kasih sekali dengan Kaper BKKBN Aceh, Ibu Vina, yang cepat respon, dan Desember 2023 lalu mengumpulkan 710 keuchik dari desa lokus stunting mengikuti sosialisasi stunting. Semoga dengan mendapatkan pemahaman tersebut, intervensi yang dilakukan tepat sasaran,” kata Ayu di depan peserta Rakor TPPS.
Ayu juga mengungkapkan, hal lain yang paling mencengangkan berkaitan dengan perubahan perilaku, adalah peran suami selama kelahiran terkait pemberian ASI, sangat minim. Minim juga suami yang mendorong istri pergi ke posyandu memeriksakan kesehatan kehamilan maupun membawa batuta dan balita ke posyandu.
Ada kasus yang ditemukan Ayu, yakni seorang suami karena ASI istrinya encer, mendorong isrinya agar memberikan bayi susu formula. Istri menerima saran tersebut. Karena ingin hemat, susu botol ditambahkan air agar encer. "Inilah kondisi yang terjadi. Untuk itu saya sangat berharap para suami ikut serta berperan mendorong istri memberikan ASI kepada bayi hingga berusia dua tahun,” kata Ayu.
Ayu juga mengungkapkan, menemukan banyak kader posyandu salah ukur tinggi badan balita dengan menggunakan ukuran kain, sehingga data stunting tidak valid. Ayu menambahkan, sejumlah penyebab lainnya kader sering diganti dan pencatatan yang dilakukan kader tidak dikonfirmasi petugas kesehatan.
"Saya sangat memohon agar kader yang sudah dilatih tidak diganti. Oleh sebab itu, juga perlu diatur dengan regulasi supaya kader pada tingkat paling bawah bisa didampingi sehingga bekerja sesuai SOP yang ada," kata Ayu.
Wakil Ketua TPPS Aceh ini juga berharap peran TPPS yang terdiri dari berbagai unsur pemangku kebijakan dapat terus meningkatkan perannya dalam penurunan stunting di Aceh. Dia yakin bahwa peran tersebut akan berdampak signifikan untuk masa depan anak Aceh yang lebih baik.
Kegiatan yang dibuka Asisten Administrasi Umum Sekda Aceh, Iskandar, yang mewakili Ketua TPPS Aceh turut dihadiri Kepala Perwakilan BKKBN Aceh Safrina Salim; TPPS Aceh yang terdiri dari berbagai unsur pemangku kebijakan, di antaranya Bappeda Aceh, Badan Pangan Nasional, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Gampong; serta instansi dan organisasi masyarakat.
“Banyak sekali orang tersesat pakai susu botol atau susu formula, akhirnya anaknya banyak yang mengalami diare. Kenapa diare? Bukan karena susunya, tapi karena botolnya tidak steril. Bekas susu yang tersisa di dalam botol menjadi sarang bakteri, kalau botol tidak betul-betul disteril,” katanya pada Rapat Koordinasi Tim Percepatan Penurunan Stunting Aceh 2024 di Hotel Ayani, Banda Aceh, Provinsi Aceh, Rabu (28/2/2024).
Selain itu, dokter Hasto mengatakan, usia perkawinan juga mempengaruhi terjadinya stunting terhadap bayi yang dilahirkan. Sebab, pernikahan di usia anak juga menentukan kesehatan ibu saat hamil.
Dia menuturkan, perempuan yang melahirkan pada usia anak berisiko mengalami kondisi kurang darah dan berisiko melahirkan anak stunting. Dia menambahkan bahwa faktor lain yang menyebabkan lahir anak stunting yaitu melahirkan di atas usia 35 tahun. “Di Aceh masih banyak ibu-ibu yang melahirkan di atas usia 35 tahun,” ungkapnya.
Dokter kandungan kelahiran 30 Juli 1964 ini menjelaskan, ciri khas stunting adalah bertubuh pendek. Tetapi, kata dokter Hasto, pendek belum tentu stunting. Ciri yang lebih khas lagi, katanya, anak stunting tidak cerdas dan orang stunting sering sakit-sakitan.
Dia melanjutkan, ketika dewasa, anak stunting akan mengalami central obes yang menyebabkan mudah terkena penyakit seperti darah tinggi, jantung, dan stroke. Dalam kesempatan itu, dia menyampaikan sejumlah hal yang harus dilakukan Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Aceh agar penanganan stunting dan intervensi yang dilakukan tepat sasaran, sehingga target nasional prevalensi stunting bisa turun hingga 14% pada 2024.
Mengambil contoh Aceh, target prevalensi stunting di wilayah itu pada 2024, menurut dokter Hasto, sebesar 19,0%. Pada 2023, Aceh diberi target turun sebesar 23,69%. Kini Aceh bersama 11 provinsi lokus stunting di Indonesia sedang menunggu hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI). Hingga kini SKI belum dilaunching.
Sebagaimana diketahui, prevalensi stunting Aceh pada 2021 sebesar 33,2%, dan pada 2022 turun dua digit menjadi 31,2% (hasil SSGI 2022). “Cegah stunting penting di periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPH), sejak terjadinya konsepsi sampai usia bayi dua tahun. Dalam masa tersebut pola asuh dan asupan yang berkualitas seperti ikan perlu diberikan kepada anak. Sebab 80 persen kecerdasan anak terbentuk di 1.000 HPK. Ini sangat penting bagi perkembangan anak selanjutnya,” katanya.
Hasto mengatakan, Allah akan menutup ubun-ubun bayi setelah usia dua tahun. Kecil kemungkinan perkembangan otak bayi setelah usia dua tahun. “Maka itu, pre konsepsi penting dilakukan para calon pengantin (catin), dan tidak besar biayanya dibandingkan mempersiapkan pra wedding," ujar Hasto.
Kehidupan berkeluarga, lanjutnya, perlu dipersiapkan dengan baik. "Sebab epidemiologi terjadinya kehamilan setelah perkawinan adalah selama 18 bulan,” tutur dokter Hasto.
Ia juga mengatakan, salah satu penyebab terjadi stunting karena jarak kelahiran anak yang terlalu dekat. Hal tersebut mengakibatkan pola asuh yang diberikan kepada anak tidak maksimal. Padahal, kata Dokter Hasto, setiap anak perlu diberikan ASI paling kurang selama 24 bulan atau dua tahun.
Dokter Hasto mengungkapkan, beberapa alasan mengapa bayi tidak menyusui. Sebesar 65,7% karena ASI tidak keluar, 8,4% terjadi rawat pisah antara ibu dan bayi, 6,6% anak tidak bisa menyusui, dan 2,2% karena si ibu repot.
Menjawab wartawan, di sela acara, dokter Hasto menegaskan bahwa BKKBN dan mitra terkait mengawal ketat program percepatan penurunan stunting, sehingga target 14 persen di 2024 bisa dicapai. Atas pertanyaan lainnya, dokter Hasto mengatakan bahwa menurunkan stunting jauh lebih strategis daripada mengejar anak stunting.
Hasto juga mengingatkan bahwa yang paling efektif menurunkan stunting adalah dengan mengintervensi mereka yang hamil atau yang akan hamil. Sementara itu, Penjabat (Pj) Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Aceh yang juga Wakil Ketua Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Aceh Ayu Marzuki meminta Tim Percepatan Penurunan Stunting agar memperkuat sosialisasi tentang stunting hingga ke tingkat desa.
Ayu menuturkan, masih banyak Keuchik atau kepala desa, bahkan istri kepala desa yang notabane Ketua TPPS tingkat Gampong belum mengetahui apa itu stunting. Ayu mengungkapkan malah banyak yang menganggap bahwa stunting itu penyakit.
"Saya berterima kasih sekali dengan Kaper BKKBN Aceh, Ibu Vina, yang cepat respon, dan Desember 2023 lalu mengumpulkan 710 keuchik dari desa lokus stunting mengikuti sosialisasi stunting. Semoga dengan mendapatkan pemahaman tersebut, intervensi yang dilakukan tepat sasaran,” kata Ayu di depan peserta Rakor TPPS.
Ayu juga mengungkapkan, hal lain yang paling mencengangkan berkaitan dengan perubahan perilaku, adalah peran suami selama kelahiran terkait pemberian ASI, sangat minim. Minim juga suami yang mendorong istri pergi ke posyandu memeriksakan kesehatan kehamilan maupun membawa batuta dan balita ke posyandu.
Ada kasus yang ditemukan Ayu, yakni seorang suami karena ASI istrinya encer, mendorong isrinya agar memberikan bayi susu formula. Istri menerima saran tersebut. Karena ingin hemat, susu botol ditambahkan air agar encer. "Inilah kondisi yang terjadi. Untuk itu saya sangat berharap para suami ikut serta berperan mendorong istri memberikan ASI kepada bayi hingga berusia dua tahun,” kata Ayu.
Ayu juga mengungkapkan, menemukan banyak kader posyandu salah ukur tinggi badan balita dengan menggunakan ukuran kain, sehingga data stunting tidak valid. Ayu menambahkan, sejumlah penyebab lainnya kader sering diganti dan pencatatan yang dilakukan kader tidak dikonfirmasi petugas kesehatan.
"Saya sangat memohon agar kader yang sudah dilatih tidak diganti. Oleh sebab itu, juga perlu diatur dengan regulasi supaya kader pada tingkat paling bawah bisa didampingi sehingga bekerja sesuai SOP yang ada," kata Ayu.
Wakil Ketua TPPS Aceh ini juga berharap peran TPPS yang terdiri dari berbagai unsur pemangku kebijakan dapat terus meningkatkan perannya dalam penurunan stunting di Aceh. Dia yakin bahwa peran tersebut akan berdampak signifikan untuk masa depan anak Aceh yang lebih baik.
Kegiatan yang dibuka Asisten Administrasi Umum Sekda Aceh, Iskandar, yang mewakili Ketua TPPS Aceh turut dihadiri Kepala Perwakilan BKKBN Aceh Safrina Salim; TPPS Aceh yang terdiri dari berbagai unsur pemangku kebijakan, di antaranya Bappeda Aceh, Badan Pangan Nasional, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Gampong; serta instansi dan organisasi masyarakat.
(rca)