Waspada Voter Turnout Pilkada pada Masa Pandemi
loading...
A
A
A
Ali Sahab
Dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga
PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) serentak akan diselenggarakan pada 9 Desember 2020, mundur dari jadwal semula 23 September 2020. Pelaksanaan Pilkada saat pandemi Covid-19 tetap dilaksanakan setelah DPR mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2/2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang (UU) Nomor 1/2015 tentang Perppu Nomor 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU. Pilkada serentak 2020 ini merupakan pilkada serentak gelombang keempat sejak Desember 2015.
Terdapat 270 daerah yang akan melaksanakan pilkada serentak, terdiri atas 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Hal ini merupakan pekerjaan besar bagi penyelenggara pemilu di tengah pandemi Covid-19 agar pemilihan kepala daerah tetap terlaksana dan menghasilkan kepala daerah yang terbaik. Dengan situasi pandemik saat ini, anggaran pelaksanaan pilkada serentak akan membengkak karena harus menyediakan logistik tambahan untuk menjamin protokol kesehatan, seperti sarung tangan, masker, face shield, hand sanitizer, APD dll. Sebelumnya, pagu anggaran Pilkada serentak 2020 mencapai Rp15,31 triliun. Dengan adanya Covid-19, KPU minta tambahan anggaran sebesar Rp4,7 triliun setelah melakukan restrukturisasi anggaran.
Tantangan lain pilkada serentak 2020 ini adalah kekhawatiran menurunnya tingkat kehadiran pemilih (voter turnout). Belum turunnya persebaran Covid-19 menjadi kekhawatiran banyak orang terutama di daerah-daerah yang memiliki tingkat positif Covid-19 lebih tinggi. Kita bisa melihat dan belajar banyak penyelenggaraan pemilu di beberapa negara yang diselenggarakan pada era Covid-19 ini. Menurut data Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) Internasional, selain Indonesia, terdapat 92 negara yang menyelenggarakan pemilu di tengah pandemi selama kurun waktu Februari-November 2020. Ada negara yang voter turnout-nya meningkat, ada juga yang turun. Meningkatnya voter turnout terjadi di Korea Selatan dan Singapura.
Pemilu di Korea Selatan diselenggarakan 15 April 2020 dengan kasus positif korona mencapai 10.600 orang, dan voting turnout mencapai 66,2% tertinggi sejak 1996. Hal ini tidak terlepas dari upaya pemerintah dalam menyediakan lingkungan yang aman untuk pemungutan suara di tengah pandemi, serta tingginya kepercayaan terhadap pemerintah. Tingginya voter turnout disebabkan pemungutan suara menjadi tugas warga negara untuk menyelamatkan bangsa dari krisis akibat Covid-19. Munculnya hiper-partisan disebabkan pula karena kebijakan yang progresif di bawah kepemimpinan Moon Jae-in sebagai pengganti dari Park Geun-hye yang dihukum 24 tahun pada 2018 karena melakukan penyuapan dan pemaksaan.
Sementara itu, di Singapura pemilu dilaksanakan pada 10 Juli 2020, dengan voter turnout mencapai 96% dari pemilih yang terdaftar atau sekitar 2.565.000 orang. Voter turnout pada masa pandemi Covid-19 justru meningkat 3% dari pemilu sebelumnya yaitu 93%. Pemilihan dilakukan mulai pukul 8 pagi sampai pukul 8 malam. Banyaknya antrean karena menerapkan social distancing akhirnya diperpanjang sampai jam 10 malam.
Sementara voter turnout yang turun bisa dilihat pada pemilu awal di negara bagian Amerika Serikat, seperti Marion di Missouri dan Lafayette, Louisiana. Pemilihan awal di wilayah Marion, negara bagian Missouri, Amerika Serikat. Pemilu yang seharusnya dilaksanakan April dijadwal ulang 2 Juni 2020. Voter turnout hanya 11,16% dari pemilih yang terdaftar. Biasanya voter turnout mencapai 20%. Permasalahannya di Marion adalah tempat pemilihan yang terletak di gedung yang kapasitasnya kurang memenuhi syarat jika kotak suara berjarak sehingga sebagai alternatifnya di tempat yang lebih luas untuk memenuhi social distancing, karena pemilih harus menunggu giliran untuk menggunakan hak pilihnya.
Sementara itu, pemilihan awal presiden di Kota Lafayette, Louisiana, Amerika Serikat, 20 Juni 2020, voter turnout menurun karena warga takut akan wabah korona. Masyarakat lebih banyak memilih menggunakan hak pilihnya melalui pos. Pemilih yang biasanya mencapai rata-rata 1.000 orang, kali ini hanya 162 orang. Pemilih yang menggunakan hak pilihnya melalui pos rata-rata berumur 65 ke atas. Pemilih yang menggunakan pos yang biasanya rata-rata hanya 1.800, meningkat menjadi 6.000 bahkan akan terus meningkat sesuai permintaan masyarakat.
Kita bisa belajar terkait voter turnout dari negara-negara yang sudah menyelenggarakan pemilu selama pandemi Covid-19. Paling tidak ada dua variabel yang bisa memengaruhi naik atau turunnya voter turnout. Pertama, tingginya tingkat kepercayaan terhadap pemerintah. Tingkat kepercayaan terhadap pemerintah ini bisa dilihat dari kinerja secara umum atau kemampuan pemerintah dalam menangani Covid-19. Di Korea Selatan kepercayaan terhadap Presiden Moon Jae-in cukup tinggi bila dilihat dari kemajuan kinerja secara umum setelah menggantikan Park Geun-hye. Kepercayaan masyarakat Korea Selatan semakin meningkat ketika pemerintahnya mampu mengendalikan persebaran virus korona. Hal senada terjadi pada pemilu Singapura, voter turnout justru mengalami kenaikan karena kepercayaan terhadap partai penguasa People’s Action Party (PAP) masih cukup tinggi. PAP menguasai 83 dari 93 kursi di parlemen, meskipun ada indikasi pemilih muda menginginkan banyak kehadiran oposisi di parlemen.
Kedua, adanya alternatif pemungutan suara akibat ketakutan massa akan persebaran Covid-19. Seperti di Amerika Serikat, tingginya masyarakat yang positif Covid-19 menjadikan warganya khawatir untuk memberikan hak suara, meski penyelenggara pemilu sudah menerapkan protokol kesehatan. Adanya alternatif metode pemilihan dengan menggunakan pos menjadi alternatif pada pemilu awal Amerika Serikat.
Melihat kondisi Indonesia yang persebaran Covid-19 masih tinggi dan tidak adanya alternatif cara pemungutan suara, voter turnout dalam pilkada serentak kali ini berpotensi untuk turun. Penyelenggara pemilu harus memaksimalkan kampanye yang akan dimulai pada 26 September 2020 sampai 5 Desember 2020. Selama 71 hari KPUD harus bisa menarik masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya.
Bahaya Turnout Buying dan Vote Buying
Pilkada pada masa Covid-19 menambah berat sosialisasi yang dilakukan pasangan calon (paslon). Sosialisasi yang seharusnya lebih banyak dilakukan ketika kampanye untuk meningkatkan voter turnout pastinya akan berkurang. Paslon juga harus lebih banyak mengangkat isu tentang Covid-19 dan penanganannya. Paslon yang memberikan program nyatalah yang akan dipilih masyarakat. Adanya Covid-19 menjadikan seleksi alam (survival of the fittest) bagi pasangan calon. Bagi pemilih, dengan beratnya dampak ekonomi yang dirasakan karena Covid-19, akan tergoda memilih paslon yang bisa memberikan utilitas besar salah satunya adalah uang. Fenomena turnout buying dan vote buying yang masih menggejala di setiap pemilu di Indonesia pasti akan meningkat di pilkada serentak 2020 saat pandemi. Maka dari itu, diperlukan pengawasan yang ketat dan menyeluruh sampai di tingkat bawah untuk mengawasi hantu turnout buying dan vote buying. Dengan demikian, tingginya voter turnout di pilkada serentak 2020 dapat benar-benar tumbuh dari kesadaran masyarakat sebagai warga negara untuk memilih pemimpin yang terbaik.
Dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga
PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) serentak akan diselenggarakan pada 9 Desember 2020, mundur dari jadwal semula 23 September 2020. Pelaksanaan Pilkada saat pandemi Covid-19 tetap dilaksanakan setelah DPR mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2/2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang (UU) Nomor 1/2015 tentang Perppu Nomor 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU. Pilkada serentak 2020 ini merupakan pilkada serentak gelombang keempat sejak Desember 2015.
Terdapat 270 daerah yang akan melaksanakan pilkada serentak, terdiri atas 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Hal ini merupakan pekerjaan besar bagi penyelenggara pemilu di tengah pandemi Covid-19 agar pemilihan kepala daerah tetap terlaksana dan menghasilkan kepala daerah yang terbaik. Dengan situasi pandemik saat ini, anggaran pelaksanaan pilkada serentak akan membengkak karena harus menyediakan logistik tambahan untuk menjamin protokol kesehatan, seperti sarung tangan, masker, face shield, hand sanitizer, APD dll. Sebelumnya, pagu anggaran Pilkada serentak 2020 mencapai Rp15,31 triliun. Dengan adanya Covid-19, KPU minta tambahan anggaran sebesar Rp4,7 triliun setelah melakukan restrukturisasi anggaran.
Tantangan lain pilkada serentak 2020 ini adalah kekhawatiran menurunnya tingkat kehadiran pemilih (voter turnout). Belum turunnya persebaran Covid-19 menjadi kekhawatiran banyak orang terutama di daerah-daerah yang memiliki tingkat positif Covid-19 lebih tinggi. Kita bisa melihat dan belajar banyak penyelenggaraan pemilu di beberapa negara yang diselenggarakan pada era Covid-19 ini. Menurut data Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) Internasional, selain Indonesia, terdapat 92 negara yang menyelenggarakan pemilu di tengah pandemi selama kurun waktu Februari-November 2020. Ada negara yang voter turnout-nya meningkat, ada juga yang turun. Meningkatnya voter turnout terjadi di Korea Selatan dan Singapura.
Pemilu di Korea Selatan diselenggarakan 15 April 2020 dengan kasus positif korona mencapai 10.600 orang, dan voting turnout mencapai 66,2% tertinggi sejak 1996. Hal ini tidak terlepas dari upaya pemerintah dalam menyediakan lingkungan yang aman untuk pemungutan suara di tengah pandemi, serta tingginya kepercayaan terhadap pemerintah. Tingginya voter turnout disebabkan pemungutan suara menjadi tugas warga negara untuk menyelamatkan bangsa dari krisis akibat Covid-19. Munculnya hiper-partisan disebabkan pula karena kebijakan yang progresif di bawah kepemimpinan Moon Jae-in sebagai pengganti dari Park Geun-hye yang dihukum 24 tahun pada 2018 karena melakukan penyuapan dan pemaksaan.
Sementara itu, di Singapura pemilu dilaksanakan pada 10 Juli 2020, dengan voter turnout mencapai 96% dari pemilih yang terdaftar atau sekitar 2.565.000 orang. Voter turnout pada masa pandemi Covid-19 justru meningkat 3% dari pemilu sebelumnya yaitu 93%. Pemilihan dilakukan mulai pukul 8 pagi sampai pukul 8 malam. Banyaknya antrean karena menerapkan social distancing akhirnya diperpanjang sampai jam 10 malam.
Sementara voter turnout yang turun bisa dilihat pada pemilu awal di negara bagian Amerika Serikat, seperti Marion di Missouri dan Lafayette, Louisiana. Pemilihan awal di wilayah Marion, negara bagian Missouri, Amerika Serikat. Pemilu yang seharusnya dilaksanakan April dijadwal ulang 2 Juni 2020. Voter turnout hanya 11,16% dari pemilih yang terdaftar. Biasanya voter turnout mencapai 20%. Permasalahannya di Marion adalah tempat pemilihan yang terletak di gedung yang kapasitasnya kurang memenuhi syarat jika kotak suara berjarak sehingga sebagai alternatifnya di tempat yang lebih luas untuk memenuhi social distancing, karena pemilih harus menunggu giliran untuk menggunakan hak pilihnya.
Sementara itu, pemilihan awal presiden di Kota Lafayette, Louisiana, Amerika Serikat, 20 Juni 2020, voter turnout menurun karena warga takut akan wabah korona. Masyarakat lebih banyak memilih menggunakan hak pilihnya melalui pos. Pemilih yang biasanya mencapai rata-rata 1.000 orang, kali ini hanya 162 orang. Pemilih yang menggunakan hak pilihnya melalui pos rata-rata berumur 65 ke atas. Pemilih yang menggunakan pos yang biasanya rata-rata hanya 1.800, meningkat menjadi 6.000 bahkan akan terus meningkat sesuai permintaan masyarakat.
Kita bisa belajar terkait voter turnout dari negara-negara yang sudah menyelenggarakan pemilu selama pandemi Covid-19. Paling tidak ada dua variabel yang bisa memengaruhi naik atau turunnya voter turnout. Pertama, tingginya tingkat kepercayaan terhadap pemerintah. Tingkat kepercayaan terhadap pemerintah ini bisa dilihat dari kinerja secara umum atau kemampuan pemerintah dalam menangani Covid-19. Di Korea Selatan kepercayaan terhadap Presiden Moon Jae-in cukup tinggi bila dilihat dari kemajuan kinerja secara umum setelah menggantikan Park Geun-hye. Kepercayaan masyarakat Korea Selatan semakin meningkat ketika pemerintahnya mampu mengendalikan persebaran virus korona. Hal senada terjadi pada pemilu Singapura, voter turnout justru mengalami kenaikan karena kepercayaan terhadap partai penguasa People’s Action Party (PAP) masih cukup tinggi. PAP menguasai 83 dari 93 kursi di parlemen, meskipun ada indikasi pemilih muda menginginkan banyak kehadiran oposisi di parlemen.
Kedua, adanya alternatif pemungutan suara akibat ketakutan massa akan persebaran Covid-19. Seperti di Amerika Serikat, tingginya masyarakat yang positif Covid-19 menjadikan warganya khawatir untuk memberikan hak suara, meski penyelenggara pemilu sudah menerapkan protokol kesehatan. Adanya alternatif metode pemilihan dengan menggunakan pos menjadi alternatif pada pemilu awal Amerika Serikat.
Melihat kondisi Indonesia yang persebaran Covid-19 masih tinggi dan tidak adanya alternatif cara pemungutan suara, voter turnout dalam pilkada serentak kali ini berpotensi untuk turun. Penyelenggara pemilu harus memaksimalkan kampanye yang akan dimulai pada 26 September 2020 sampai 5 Desember 2020. Selama 71 hari KPUD harus bisa menarik masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya.
Bahaya Turnout Buying dan Vote Buying
Pilkada pada masa Covid-19 menambah berat sosialisasi yang dilakukan pasangan calon (paslon). Sosialisasi yang seharusnya lebih banyak dilakukan ketika kampanye untuk meningkatkan voter turnout pastinya akan berkurang. Paslon juga harus lebih banyak mengangkat isu tentang Covid-19 dan penanganannya. Paslon yang memberikan program nyatalah yang akan dipilih masyarakat. Adanya Covid-19 menjadikan seleksi alam (survival of the fittest) bagi pasangan calon. Bagi pemilih, dengan beratnya dampak ekonomi yang dirasakan karena Covid-19, akan tergoda memilih paslon yang bisa memberikan utilitas besar salah satunya adalah uang. Fenomena turnout buying dan vote buying yang masih menggejala di setiap pemilu di Indonesia pasti akan meningkat di pilkada serentak 2020 saat pandemi. Maka dari itu, diperlukan pengawasan yang ketat dan menyeluruh sampai di tingkat bawah untuk mengawasi hantu turnout buying dan vote buying. Dengan demikian, tingginya voter turnout di pilkada serentak 2020 dapat benar-benar tumbuh dari kesadaran masyarakat sebagai warga negara untuk memilih pemimpin yang terbaik.
(ras)