Tionghoa dalam Pendidikan Sejarah di Indonesia
loading...
A
A
A
Handoko Widagdo
Pecinta Buku
Peran pelajaran sejarah sangat penting dalam membangun kognisi siswa sebagai anggota masyarakat. Pelajaran sejarah yang inklusif dan menghargai kebinekaan sangat diperlukan di Indonesia.
baca juga: Memupus Bias Tionghoa
Sebagai bangsa yang mengutamakan kebinekaan dalam bernegara, pelajaran sejarah di sekolah bisa memberi sumbangan yang besar bagi terbentuknya manusia-manusia yang menghargai kebinekaan. Meski sudah banyak berubah sejak masa reformasi, persoalan-persoalan sejarah di Indonesia masih banyak. Masih diperlukan kerja keras untuk membangun sejarah yang inklusif dan mengedepankan kebinekaan.
Salah satu persoalan sejarah yang belum teratasi dengan baik adalah tentang peran orang Tionghoa dalam sejarah Indonesia. Masuk tidaknya sebuah peristiwa atau tokoh dalam materi sejarah nasional bukan sekadar persoalan konten, tetapi juga nilai tentang peristiwa dan atau tokoh tersebut.
Seperti diketahui bahwa Sejarah Nasional adalah sebuah kumpulan tentang peristiwa-peristiwa dan tokoh-tokoh yang membanggakan. Itulah sebabnya para sejarawan memilih peristiwa-peristiwa dan tokoh-terbaik untuk masuk dalam paparan sejarah sehingga menjadi sebuah memori kolektif bagi bangsa. Namun pemilihan peristiwa atau tokoh tersebut sangat dipengaruhi oleh penguasa (hal. 152).
Dalam penulisan sejarah nasional di era Orde Baru, dirasakan bahwa peran Tionghoa secara sengaja dihilangkan supaya Tionghoa melebur ke dalam suku-suku di sekitarnya. Hal ini tentu sangat berhubungan dengan politik Orde Baru terhadap orang Tionghoa. Upaya asimilasi yang digemborkan oleh Orde Baru membuat peran Tionghoa dihilangkan, atau setidaknya dikecilkan.
baca juga: Sastra Melayu Tionghoa, Asing di Negeri Sendiri
Alih-alih membuat orang Tionghoa terasimilasi, apa yang dilakukan Orde Baru dalam meletakkan orang Tionghoa dalam narasi sejarah tersebut justru menimbulkan masalah sosial yang sangat parah. Praktik kekuasaan Orde Baru selama lebih dari 30 tahun sangat berdampak pada kontrol pikiran masyarakat tentang orang Tionghoa. Kontrol pikiran masyarakat ini mencapai puncaknya saat Peristiwa Mei 1998, di mana orang-orang Tionghoa menjadi korban politik (hal. 211).
Perubahan signifikan terjadi di era reformasi. Di era reformasi eksistensi orang Tionghoa mulai diakui. Perubahan penulisan Sejarah Nasional pun dilakukan untuk memberi ruang kepada peran Tionghoa dalam sejarah bangsa Indonesia. Di era reformasi, terjadi perubahan cara pandang tentang orang Tionghoa, yaitu upaya untuk memulihkan relasi (hal. 109).
Meski sudah mulai ada perubahan, namun masih banyak pekerjaan yang perlu diselesaikan supaya semangat rekonsiliasi dan membangun kebinekaan benar-benar bisa diwujudkan melalui sejarah dan Pelajaran sejarah bagi generasi muda.
Dalam buku ini Hendra Kurniawan melakukan kajian terhadap Buku Sejarah Nasional dan buku teks Pelajaran Sejarah untuk menggambarkan bagaimana posisi orang Tionghoa dalam sejarah nasional. Hendra Kurniawan memakai wacana kritis sebagai pisau analisis.
Hendra mengkaji buku-buku sejarah sebelum Orde Baru, buku Sejarah Nasional Indonesia (terbit 6 jilid) yang ditulis di masa Orde Baru, buku Sejarah Nasional Indonesia yang direvisi di masa Reformasi dan buku Indonesia Dalam Arus Sejarah (IDAS) sebagai latar belakang kajian terhadap buku teks Pelajaran Sejarah Kurikulum 2013 untuk SMA.
Secara ringkas, Hendra menuturkan bahwa penulisan sejarah tentang peran orang Tionghoa mengalami banyak kemunduran di era Orde Baru. Bahkan narasi peran orang Tionghoa lenyap dalam Sejarah Nasional Indonesia versi Orde Baru (hal. 9).
baca juga: 5 Negara ASEAN dengan Etnis Tionghoa Terbanyak
Di era reformasi, semangat untuk melakukan pemulihan relasi dilakukan. Termasuk dalam penulisan sejarah dan buku teks mata pelajaran sejarah. Hendra menyimpulkan bahwa dalam buku sejarah dan buku teks mata pelajaran sejarah, pada tahap seleksi, tema Tionghoa telah muncul hampir pada semua topik, namun dengan porsi yang beragam (hal. 203).
Meski telah terakomodasi melalui seleksi, Hendra menemukan bahwa narasi yang direproduksi dalam buku teks mata pelajaran sejarah masih belum beranjak dari Tionghoa sebagai pendatang, peran ekonomi, dan Tionghoa sebagai sasaran kebencian masyarakat (hal. 204).
Peran orang Tionghoa di berbagai bidang, seperti politik, militer, budaya, kuliner, pakaian, arsitektur, olahraga tidak dibicarakan sama sekali. Tampilnya peran Tionghoa yang serba terbatas ini menurut Hendra disebabkan oleh dua hal, yaitu warisan politik asimilasi dan cara berpikir Tionghoa sebagai the other. Cara pandang para penulis buku teks mata pelajaran sejarah yang seperti ini berpotensi mengecilkan peran orang Tiongha sebagai bagian dari Bangsa Indonesia seutuhnya.
Selain dari buku teks mata pelajaran, Hendra juga menyoroti banyaknya guru sejarah yang masih menyimpan memori semantik dan episodik era Orde Baru. Padahal peran guru sama pentingnya dengan buku teks dalam membangun kognisi sosial para siswa sebagai anggota masyarakat.
Selanjutnya Hendra menyampaikan bahwa penggunaan buku teks yang minim kesadaran inklusif dan guru yang hanya mengacu pada buku teks berpotensi membangun kepahitan terhadap orang Tionghoa dan akan terus memelihara sentimen anti-Cina. Oleh sebab itu penggunaan buku teks membutuhkan kebijaksanaan guru dalam mengelola pembelajaran.
Kita beruntung karena saat ini Pemerintah Indonesia telah menggunakan Kurikulum Merdeka. Kurikulum Merdeka memberikan ruang yang lebih luas kepada guru untuk mengembangkan kompetensi siswanya, termasuk kompetensi sebagai warga negara dan warga dunia.
baca juga: Etnis Tionghoa dan Penyebaran Islam di Pulau Jawa
Guru diberi kebebasan untuk menggunakan berbagai sumber belajar dan tidak terpaku pada buku teks saja. Lagi pula, di Kurikulum Merdeka, peran buku bacaan sama pentingnya dengan buku teks. Oleh sebab itu guru-guru didorong untuk menggunakan buku-buku non-teks pelajaran sebagai sumber belajar.
Untuk topik peran orang Tionghoa dalam sejarah Indonesia, sepertinya cukup banyak buku-buku populer yang menggambarkan peran orang Tionghoa, sehingga guru tidak kekurangan bahan mengajar. Lagi pula dalam buku-buku bacaan anak di kelas awal (kelas 1-3 SD) dan di PAUD, buku-buku bertema Tionghoa sudah mulai bermunculan dan dicetak oleh Kementerian Pendidikan dan diedarkan ke sekolah-sekolah.
Semoga ke depan, upaya untuk membangun bangsa yang inklusif dan mengedepankan kebinekaan melalui pelajaran sejarah akan semakin giat. Dengan demikian kita akan menjadi sebuah bangsa yang kuat; termasuk di dalamnya orang Tiongha sebagai bagian Bangsa Indonesia seutuhnya.
Judul : Tionghoa Dalam Pendidikan Sejarah di Indonesia
Penulis : Hendra Kurniawan
Tahun Terbit : 2023
Penerbit : Kanisius
Tebal : xviii + 270
ISBN : 978-979-21-7824-1
Pecinta Buku
Peran pelajaran sejarah sangat penting dalam membangun kognisi siswa sebagai anggota masyarakat. Pelajaran sejarah yang inklusif dan menghargai kebinekaan sangat diperlukan di Indonesia.
baca juga: Memupus Bias Tionghoa
Sebagai bangsa yang mengutamakan kebinekaan dalam bernegara, pelajaran sejarah di sekolah bisa memberi sumbangan yang besar bagi terbentuknya manusia-manusia yang menghargai kebinekaan. Meski sudah banyak berubah sejak masa reformasi, persoalan-persoalan sejarah di Indonesia masih banyak. Masih diperlukan kerja keras untuk membangun sejarah yang inklusif dan mengedepankan kebinekaan.
Salah satu persoalan sejarah yang belum teratasi dengan baik adalah tentang peran orang Tionghoa dalam sejarah Indonesia. Masuk tidaknya sebuah peristiwa atau tokoh dalam materi sejarah nasional bukan sekadar persoalan konten, tetapi juga nilai tentang peristiwa dan atau tokoh tersebut.
Seperti diketahui bahwa Sejarah Nasional adalah sebuah kumpulan tentang peristiwa-peristiwa dan tokoh-tokoh yang membanggakan. Itulah sebabnya para sejarawan memilih peristiwa-peristiwa dan tokoh-terbaik untuk masuk dalam paparan sejarah sehingga menjadi sebuah memori kolektif bagi bangsa. Namun pemilihan peristiwa atau tokoh tersebut sangat dipengaruhi oleh penguasa (hal. 152).
Dalam penulisan sejarah nasional di era Orde Baru, dirasakan bahwa peran Tionghoa secara sengaja dihilangkan supaya Tionghoa melebur ke dalam suku-suku di sekitarnya. Hal ini tentu sangat berhubungan dengan politik Orde Baru terhadap orang Tionghoa. Upaya asimilasi yang digemborkan oleh Orde Baru membuat peran Tionghoa dihilangkan, atau setidaknya dikecilkan.
baca juga: Sastra Melayu Tionghoa, Asing di Negeri Sendiri
Alih-alih membuat orang Tionghoa terasimilasi, apa yang dilakukan Orde Baru dalam meletakkan orang Tionghoa dalam narasi sejarah tersebut justru menimbulkan masalah sosial yang sangat parah. Praktik kekuasaan Orde Baru selama lebih dari 30 tahun sangat berdampak pada kontrol pikiran masyarakat tentang orang Tionghoa. Kontrol pikiran masyarakat ini mencapai puncaknya saat Peristiwa Mei 1998, di mana orang-orang Tionghoa menjadi korban politik (hal. 211).
Perubahan signifikan terjadi di era reformasi. Di era reformasi eksistensi orang Tionghoa mulai diakui. Perubahan penulisan Sejarah Nasional pun dilakukan untuk memberi ruang kepada peran Tionghoa dalam sejarah bangsa Indonesia. Di era reformasi, terjadi perubahan cara pandang tentang orang Tionghoa, yaitu upaya untuk memulihkan relasi (hal. 109).
Meski sudah mulai ada perubahan, namun masih banyak pekerjaan yang perlu diselesaikan supaya semangat rekonsiliasi dan membangun kebinekaan benar-benar bisa diwujudkan melalui sejarah dan Pelajaran sejarah bagi generasi muda.
Dalam buku ini Hendra Kurniawan melakukan kajian terhadap Buku Sejarah Nasional dan buku teks Pelajaran Sejarah untuk menggambarkan bagaimana posisi orang Tionghoa dalam sejarah nasional. Hendra Kurniawan memakai wacana kritis sebagai pisau analisis.
Hendra mengkaji buku-buku sejarah sebelum Orde Baru, buku Sejarah Nasional Indonesia (terbit 6 jilid) yang ditulis di masa Orde Baru, buku Sejarah Nasional Indonesia yang direvisi di masa Reformasi dan buku Indonesia Dalam Arus Sejarah (IDAS) sebagai latar belakang kajian terhadap buku teks Pelajaran Sejarah Kurikulum 2013 untuk SMA.
Secara ringkas, Hendra menuturkan bahwa penulisan sejarah tentang peran orang Tionghoa mengalami banyak kemunduran di era Orde Baru. Bahkan narasi peran orang Tionghoa lenyap dalam Sejarah Nasional Indonesia versi Orde Baru (hal. 9).
baca juga: 5 Negara ASEAN dengan Etnis Tionghoa Terbanyak
Di era reformasi, semangat untuk melakukan pemulihan relasi dilakukan. Termasuk dalam penulisan sejarah dan buku teks mata pelajaran sejarah. Hendra menyimpulkan bahwa dalam buku sejarah dan buku teks mata pelajaran sejarah, pada tahap seleksi, tema Tionghoa telah muncul hampir pada semua topik, namun dengan porsi yang beragam (hal. 203).
Meski telah terakomodasi melalui seleksi, Hendra menemukan bahwa narasi yang direproduksi dalam buku teks mata pelajaran sejarah masih belum beranjak dari Tionghoa sebagai pendatang, peran ekonomi, dan Tionghoa sebagai sasaran kebencian masyarakat (hal. 204).
Peran orang Tionghoa di berbagai bidang, seperti politik, militer, budaya, kuliner, pakaian, arsitektur, olahraga tidak dibicarakan sama sekali. Tampilnya peran Tionghoa yang serba terbatas ini menurut Hendra disebabkan oleh dua hal, yaitu warisan politik asimilasi dan cara berpikir Tionghoa sebagai the other. Cara pandang para penulis buku teks mata pelajaran sejarah yang seperti ini berpotensi mengecilkan peran orang Tiongha sebagai bagian dari Bangsa Indonesia seutuhnya.
Selain dari buku teks mata pelajaran, Hendra juga menyoroti banyaknya guru sejarah yang masih menyimpan memori semantik dan episodik era Orde Baru. Padahal peran guru sama pentingnya dengan buku teks dalam membangun kognisi sosial para siswa sebagai anggota masyarakat.
Selanjutnya Hendra menyampaikan bahwa penggunaan buku teks yang minim kesadaran inklusif dan guru yang hanya mengacu pada buku teks berpotensi membangun kepahitan terhadap orang Tionghoa dan akan terus memelihara sentimen anti-Cina. Oleh sebab itu penggunaan buku teks membutuhkan kebijaksanaan guru dalam mengelola pembelajaran.
Kita beruntung karena saat ini Pemerintah Indonesia telah menggunakan Kurikulum Merdeka. Kurikulum Merdeka memberikan ruang yang lebih luas kepada guru untuk mengembangkan kompetensi siswanya, termasuk kompetensi sebagai warga negara dan warga dunia.
baca juga: Etnis Tionghoa dan Penyebaran Islam di Pulau Jawa
Guru diberi kebebasan untuk menggunakan berbagai sumber belajar dan tidak terpaku pada buku teks saja. Lagi pula, di Kurikulum Merdeka, peran buku bacaan sama pentingnya dengan buku teks. Oleh sebab itu guru-guru didorong untuk menggunakan buku-buku non-teks pelajaran sebagai sumber belajar.
Untuk topik peran orang Tionghoa dalam sejarah Indonesia, sepertinya cukup banyak buku-buku populer yang menggambarkan peran orang Tionghoa, sehingga guru tidak kekurangan bahan mengajar. Lagi pula dalam buku-buku bacaan anak di kelas awal (kelas 1-3 SD) dan di PAUD, buku-buku bertema Tionghoa sudah mulai bermunculan dan dicetak oleh Kementerian Pendidikan dan diedarkan ke sekolah-sekolah.
Semoga ke depan, upaya untuk membangun bangsa yang inklusif dan mengedepankan kebinekaan melalui pelajaran sejarah akan semakin giat. Dengan demikian kita akan menjadi sebuah bangsa yang kuat; termasuk di dalamnya orang Tiongha sebagai bagian Bangsa Indonesia seutuhnya.
Judul : Tionghoa Dalam Pendidikan Sejarah di Indonesia
Penulis : Hendra Kurniawan
Tahun Terbit : 2023
Penerbit : Kanisius
Tebal : xviii + 270
ISBN : 978-979-21-7824-1
(hdr)