Puasa Jadi Benteng Lawan Ujaran Kebencian

Senin, 21 Mei 2018 - 11:53 WIB
Puasa Jadi Benteng Lawan Ujaran Kebencian
Puasa Jadi Benteng Lawan Ujaran Kebencian
A A A
JAKARTA - Puasa tidak hanya menahan haus dan lapar, tetapi juga menahan segala sesuatu yang menjerumuskan pada keburukan dan kekerasan.

Termasuk menahan diri tidak melakukan ujaran kebencian (hate speech) dan kekerasan. Kekerasan dinilai hanya beda satu level dengan ujaran kebencian.

"Sudah seharusnya di bulan yang penuh berkah ini kita beramai-ramai membersihkan hal buruk dan melakukan hal yang baik. Kita harus bersatu melawan ujaran kebencian, apalagi terorisme. Sebenarnya keduanya sama-sama merugikan. Apalagi tindakan terorisme yang melukai polisi dan masyarakat umum sangat bertentangan dengan ajaran agama mana pun,” tutur pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta M Zaki Mubarak di Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurut Zaki, kebanyakan mereka yang gemar menerbar ujaran kebencian dan melakukan tindakan terorisme dilatarbekalangi dua faktor. Pertama, kesalahan pemahaman dalam beragama. Ada sebagian kelompok kecil masyarakat yang masih mengira seperti aksi terorisme itu untuk melindungi agamanya, padahal apa yang mereka lalukan sebaliknya.

Dia menilai pemahaman agama yang dangkal justru banyak memengaruhi kalangan anak muda yang paling rentan terlibat radikalisme dan terorisme.

Mereka dinilai menjadi sasaran terorisme karena faktor lingkungan yang mendukung, ketidakefektifan lembaga keagamaan dan masyarakat, fase mencari jati diri dan mereka menilai radikal dan ekstrem lebih menantang.

Kedua, sambung Zaki, campur tangan politik. Faktor ini dipandang paling tidak bermoral dan paling keji. Hanya untuk kepentingan kelompok dan golongan, ada sebagian kelompok tega membelokkan ajaran agamanya dan berdampak kepada kerugian lingkungan dan masyarakat umum.

Oleh karena itu, dalam konteks masifnya penyebaran ujaran kebencian dan tindakan kekerasan yang didasarkan pada pemahaman keagamaan yang sempit, kata dia, puasa harus dijadikan benteng.

Menurut dia, puasa yang secara esensi berarti menahan diri harus dimaknai sebagai menahan dari berbagai bentuk ujaran kebencian, kekerasan dan tindakan lain yang merugikan diri dan lingkungan.

“Substansi puasa bukan hanya menahan lapar dan haus tetapi juga menahan hawa nafsu yang dapat menyakiti manusia dan lingkungan sekitarnya. Saya berharap kaum muslimin dapat mengintrospeksi dirinya, dapat melihat horizon yang lebih luas bahwa umat manusia bersaudara, manusia tidak ada yang sempurna. Karena tidak ada yang sempurna harusnya manusia bisa saling melengkapi kekurangan satu sama lain. Beramal makruf nahi mungkar bersatu padu dan jangan saling melukai,” tuturnya.

Dia mengatakan, perlu disadari Islam adalah agama keselamatan bukan agama yang mengajarkan amalan untuk melukai orang lain. Islam agama kebaikan, bukan agama penebar kebencian.

Pada momentum Ramadhan, umat Islam didorong menjadi muslim yang selalu menebar kedamaian. “Pada bulan Ramadhan yang penuh berkah ini dan kemuliaan ini dapat kita gunakan untuk beramal soleh, kita perlu introspeksi diri, kita perlu tahu bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang penuh dengan kedamaian ajaran yang antikekerasan," tuturnya.

Dia menambahkan, sudah menjadi tanggung jawab semua untuk saling mengingatkan kepada saudara kita yang lain untuk menjauhi kekerasan dan memperjuangkan kedamaian. Bersatu untuk memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4715 seconds (0.1#10.140)