Pernyataan Jokowi soal Presiden Kampanye Langgar Asas Pemilu Luber Jurdil
loading...
A
A
A
Pertama, fasilitas, seperti kebijakan, anggaran, dan dukungan administrasi serta protokoler pejabat. Kedua, pengaruh sebagai pemegang kekuasaan akan memengaruhi netralitas birokrasi dan mengarahkan pemilih.
CALS berpendapat, keberpihakan presiden dan pejabat negara lainnya bisa mengarah pada pelanggaran dengan dimensi Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM), seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
“Perlu dibedakan antara berpolitik dan berkampanye. Presiden berhak berpolitik, tetapi ia tidak diperbolehkan untuk berkampanye. Kita bisa berdebat pada bunyi norma pasal-pasal dalam pemilu, namun UU Pemilu harus pertama-tama diletakkan dalam konteks asas-asas pemilu dalam UUD 1945 yaitu Luber Jurdil dengan penekanan pada aspek keadilan,” jelasnya.
Mereka mengakui UU Pemilu mengandung banyak kelemahan. Karena selain proses legislasi mengandung kepentingan politik, norma hukum juga akan dibuat berdasarkan kasus empirik. “Sedangkan nepotisme dan politik dinasti yang demikian parah serta cawe-cawe politik yang dilakukan tanpa etik dan rasa malu, baru terjadi pada masa pemerintahan Jokowi. Karena itu, pasal-pasal itu memang belum mengantisipasi situasi presiden yang ingin berkampanye untuk kepentingan anaknya,” tuturnya.
Untuk itu, CALS mendesak Presiden Jokowi untuk mencabut pernyataannya tentang kebolehan berkampanye dan memperhatikan kepatutan dalam semua tindakan dan ucapannya, dengan mengingat kapasitas jabatannya sebagai presiden. Presiden Jokowi juga didesak untuk menghentikan semua tindakan jabatan dirinya maupun menteri-menterinya, yang telah dilakukan selama ini yang berdampak menguntungkan pasangan calon presiden.
Selain itu, CALS mendesak Bawaslu menjalankan tugasnya dengan baik dan bersiap-siap untuk menelaah dan memperjelas indikasi kecurangan yang bersifat TSM untuk mengantisipasi sengketa pemilu dan sengketa hasil pemilihan umum. Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi (MK) didesak mulai melakukan telaah mengenai perannya dalam menyelesaikan sengketa hasil pemilu nanti, dalam kaitannya dengan kecurangan yang bersifat TSM, dengan melihat konteks penyalahgunaan jabatan (berikut kebijakan dan anggaran) yang semakin terlihat indikasinya pada Pemilu 2024 ini.
Selanjutnya, CALS mendesak DPR RI mengajukan hak interpelasi dan hak angket kepada Presiden untuk menginvestigasi keterlibatan Presiden dan penggunaan kekuasaan Presiden dalam pemenangan salah satu kandidat pada Pemilu 2024. Terakhir, CALS mendesak seluruh penyelenggara negara (presiden, menteri, gubernur, bupati, wali kota) untuk tidak berlindung di balik pasal-pasal dan mengesampingkan etik. “Mundur dari jabatan jauh lebih etis dan terhormat dalam situasi politik yang sangat tidak demokratis hari-hati ini,” pungkasnya.
CALS berpendapat, keberpihakan presiden dan pejabat negara lainnya bisa mengarah pada pelanggaran dengan dimensi Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM), seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
“Perlu dibedakan antara berpolitik dan berkampanye. Presiden berhak berpolitik, tetapi ia tidak diperbolehkan untuk berkampanye. Kita bisa berdebat pada bunyi norma pasal-pasal dalam pemilu, namun UU Pemilu harus pertama-tama diletakkan dalam konteks asas-asas pemilu dalam UUD 1945 yaitu Luber Jurdil dengan penekanan pada aspek keadilan,” jelasnya.
Mereka mengakui UU Pemilu mengandung banyak kelemahan. Karena selain proses legislasi mengandung kepentingan politik, norma hukum juga akan dibuat berdasarkan kasus empirik. “Sedangkan nepotisme dan politik dinasti yang demikian parah serta cawe-cawe politik yang dilakukan tanpa etik dan rasa malu, baru terjadi pada masa pemerintahan Jokowi. Karena itu, pasal-pasal itu memang belum mengantisipasi situasi presiden yang ingin berkampanye untuk kepentingan anaknya,” tuturnya.
Untuk itu, CALS mendesak Presiden Jokowi untuk mencabut pernyataannya tentang kebolehan berkampanye dan memperhatikan kepatutan dalam semua tindakan dan ucapannya, dengan mengingat kapasitas jabatannya sebagai presiden. Presiden Jokowi juga didesak untuk menghentikan semua tindakan jabatan dirinya maupun menteri-menterinya, yang telah dilakukan selama ini yang berdampak menguntungkan pasangan calon presiden.
Selain itu, CALS mendesak Bawaslu menjalankan tugasnya dengan baik dan bersiap-siap untuk menelaah dan memperjelas indikasi kecurangan yang bersifat TSM untuk mengantisipasi sengketa pemilu dan sengketa hasil pemilihan umum. Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi (MK) didesak mulai melakukan telaah mengenai perannya dalam menyelesaikan sengketa hasil pemilu nanti, dalam kaitannya dengan kecurangan yang bersifat TSM, dengan melihat konteks penyalahgunaan jabatan (berikut kebijakan dan anggaran) yang semakin terlihat indikasinya pada Pemilu 2024 ini.
Selanjutnya, CALS mendesak DPR RI mengajukan hak interpelasi dan hak angket kepada Presiden untuk menginvestigasi keterlibatan Presiden dan penggunaan kekuasaan Presiden dalam pemenangan salah satu kandidat pada Pemilu 2024. Terakhir, CALS mendesak seluruh penyelenggara negara (presiden, menteri, gubernur, bupati, wali kota) untuk tidak berlindung di balik pasal-pasal dan mengesampingkan etik. “Mundur dari jabatan jauh lebih etis dan terhormat dalam situasi politik yang sangat tidak demokratis hari-hati ini,” pungkasnya.
(rca)