Dekan Pertanian Universitas Brawijaya Beberkan Kesalahpahaman tentang Food Estate

Rabu, 17 Januari 2024 - 21:16 WIB
loading...
Dekan Pertanian Universitas...
Program food estate. (Foto: Ilustrasi/MPI)
A A A
JAKARTA – Guru besar bidang sosiologi pertanian Universitas Brawijaya Mangku Purnomo membeberkan sejumlah kesalahpahaman terkait food estate (lumbung pangan). Hal pertama yang dia tegaskan adalah manfaat dari food estate memang tidak bisa dirasakan dalam waktu dekat.

“Yang bilang food estate tidak sukses hanya karena satu kali gagal panen itu jelas-jelas tidak mengerti pertanian. Evaluasi baru bisa dilakukan setelah minimal tiga kali siklus panen,” kata Mangku.

Mangku membeberkan bahwa manfaat food estate dapat dirasakan jika infrastruktur sudah bagus. Dimanainfrastruktur tersebut adalahirigasi, gudang pengolahan, jalanan ke sentra produksi, dan jalanan ke pusat industri.

“Paling cepat kita bisa merasakan manfaat food estate, kalau infrastrukturnya sudah bagus, maka dalam tiga tahun bisa dirasakan. Tapi kalau membangunnya dari awal, setidaknya butuh lima tahun,” tuturnya.

Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa apa yang dimaksud dengan lumbung pangan bukan sekadar pembebasan lahan dan membangun pertanian. Inti utamanya adalah bagaimana hektaran tanah pertanian bisa dikelola secara terpadu oleh pihak tertentu.

“Food estate juga harus diperluas definisinya, tidak selalu diartikan membuka lahan baru, tapi juga kemampuan agregasi produksi. Artinya, jika ada perusahaan yang mampu mengagregasi dan mengatur manajemen untuk produksi pangan sekitar ribuan ton, maka itu bisa disebut food estate,” ujar Mangku.

Peraih gelar doktor dari Gottingen University Jerman itu menambahkan, tujuan utama dari food estate adalah menjaga pasokan pangan di dalam negeri. Hasil pertanian dari food estate hanya dikeluarkan saat ada kejadian tertentu, seperti untuk menjaga inflasi, menghindari kelangkaan, atau distribusi di tempat bencana.

Dengan demikian, hasil dari lumbung pangan tidak akan merusak harga pasar atau mengganggu kesejahteraan petani.
“Food estate sebagai upaya menjaga pasokan itu menjadi keniscayaan, fokusnya kepada cadangan pangan. Produk food estate seharusnya tidak masuk pasar umum pangan. Jadi untuk non-komersil, karena tidak bisa langsung berhasil dari sisi teknis agronomis,” kata Mangku.

Dekan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya itu turut menuturkan bahwa food estate tidak sama dengan Perkebunan Inti Rakyat (PIR).

“Dan perlu dibedakan juga dengan Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Jika PIR, maka modal dan tanah menjadi tanggung jawab perusahaan, semacam kewajiban memberikan lalu memotong hasil. Kalau food estate integrasi pertanian, jadi petani bisa menyetor atau tidak tinggal disesuaikan bentuk kerja samanya,” ujarnya.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1434 seconds (0.1#10.140)