Pilkada dan Turbulensi Netralitas Birokrasi

Selasa, 11 Agustus 2020 - 06:15 WIB
loading...
Pilkada dan Turbulensi Netralitas Birokrasi
Dwiyanto Indiahono
A A A
Dwiyanto Indiahono
Dosen Kebijakan Publik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Pendiri dan Pegiat Indonesia for Bureaucratic Reform [INBRIEF]

"KETIKA dukung mendukung kandidat kepala daerah dianggap lazim oleh birokrasi, maka kecil kemungkinan akan lahirnya birokrasi yang profesional dan pro kepada publik. Garis finis reformasi birokrasi tidak semakin dekat, tetapi semakin jauh".

Pertengahan bulan lalu, salah satu wakil bupati di Jawa Tengah mendeklarasikan dirinya siap menantang bupati petahana di arena pemilihan kepala daerah (pilkada) 2020. Deklarasi ini bagi komunitas lain mungkin hal yang biasa, namun tidak bagi birokrasi. Birokrasi yang salah satu ciri utamanya dipimpin oleh aktor politik akan mengalami turbulensi pada aspek netralitas birokrasi. Turbulensi netralitas birokrasi ini menunjuk pada kondisi semakin sulit menjaga netralitas birokrasi di hari-hari ke depan hingga pilkada usai.

Netralitas birokrasi pascareformasi memang menjadi sorotan tajam, karena trauma masa lalu yang menjadikan birokrasi sebagai mesin politik yang digdaya. Pada masa Orde Baru, birokrasi adalah penopang rezim bersama dengan Golkar dan ABRI. Birokrasi di Era Reformasi benar-benar ditarik pada area yang jelas: netral, imparsial, atau tidak memihak.

Kedudukan birokrasi yang tidak memihak ini diharapkan dapat melahirkan birokrasi profesional. Undang-Undang Nomor 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) pun semakin menguatkan untuk melahirkan birokrasi yang profesional dan berada pada sistem merit. Kondisi ideal ini pada kenyataannya selalu diganggu dengan isu politisasi birokrasi, yang biasanya dilakukan oleh kepala daerah petahana. Oleh karena itu, ketika suatu daerah terdapat dua atau lebih kandidat petahana atau mantan petahana, akan mengancam netralitas birokrasi di daerah tersebut. Semakin ada kaitan antara kandidat dan birokrasi maka semakin tinggi pula turbulensi netralitas birokrasinya.

Penelitian Ting (2012) menyatakan jika petahana memiliki kans untuk memenangi kontestasi politik, politisasi birokrat (pejabat karier) kerap terjadi. Sebaliknya jika petahana diprediksi kalah, secara alami birokrat akan mengisolasi diri dari politisasi. Hal ini menunjukkan bahwa birokrasi adalah makhluk yang rasional untuk melindungi kepentingan mereka sendiri. Hal ini tentu menjadi amat rumit jika pilkada hanya diikuti oleh dua pasang dan dua pasang itu adalah pasangan petahana yang pecah kongsi. Birokrasi mau tidak mau akan berada pada pusaran arus politisasi yang amat besar.

Penelitian kami tahun 2019 di Kabupaten Banyumas menunjukkan hal yang cukup baik (Indiahono, Yamin & Satyawan, 2019), yaitu indeks netralitas birokrasi pada pilkada tahun 2018 berada pada indeks 79, 59 yang berada pada level baik. Hal ini menunjukkan hal menggembirakan sebab di Banyumas pada pilkada terakhir diikuti dua pasang kandidat yang mereka adalah petahana dan mantan petahana. Indeks yang baik ini tetap memiliki catatan, yaitu indikator yang termasuk memiliki nilai rendah adalah sikap diam ASN/PNS jika ada kolega yang memberi dukungan kepada calon kepala daerah. PNS cenderung mengambil sikap diam terhadap pelanggaran netralitas birokrasi yang dilakukan sesama kolega. Ini merupakan salah satu penjelasan mengapa pelanggaran netralitas birokrasi masih kerap terjadi.

Birokrasi sebagai suatu sistem amat dipengaruhi oleh lingkungan yang ada di sekitarnya. Birokrasi saat era parlementer, amat dipengaruhi sistem kepartaian parlementer, birokrasi menjadi arena pertempuran sengit partai politik untuk mendapatkan pengaruh. Siapa yang dapat memengaruhi birokrasi, maka dia diyakini akan mudah memengaruhi publik. Birokrasi di Orde Baru dipengaruhi dengan sistem monoloyalitas birokrasi. Setiap PNS diwajibkan masuk menjadi Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) dan setiap anggota KORPRI adalah anggota Golkar. Jadi, bisa dipastikan setiap anggota birokrasi di saat Orde Baru memiliki kartu tanda anggota Golkar. Era Reformasi, tantangan netralitas birokrasi bukan pada tarikan partai politik, tetapi lebih pada tarikan calon kepala daerah (baik petahana maupun nonpetahana) untuk memanfaatkan birokrasi sebagai mesin politiknya. Turbulensi netralitas birokrasi ini acap kali tidak mudah dihindari oleh birokrasi.

Kedewasaan Aktor Politik
Aktor politik di Era Reformasi ini harus memiliki kedewasaan berpolitik. Hal ini bermakna bahwa birokrasi harus didudukkan pada posisi alaminya yang tidak boleh memihak. Oleh karena itu, aktor politik harus menghargai posisi ini dengan tidak mengintervensi birokrasi supaya memihak kepadanya dalam kompetisi pilkada. Aktor politik apalagi petahana harus berkomitmen tidak memanfaatkan birokrasi sebagai mesin politiknya. Komitmen ini akan melahirkan birokrasi yang profesional, karena sistem merit akan berjalan dengan baik dan akan melahirkan pemimpin-pemimpin birokrasi yang benar-benar kompeten dan amanah.

Sebaliknya jika pejabat politik hanya memikirkan kepentingan politiknya dan memasukkan kepentingan itu dalam area birokrasi, yang terjadi adalah birokrasi paternalistik. Birokrasi paternalistik ini dicirikan birokrasi yang hanya bekerja untuk kepentingan pejabat politik dan acap kali menomorduakan kepentingan publik. Pejabat birokrasi yang lahir dari birokrasi paternalistik ini tidak memiliki rasa percaya diri, karena merasa dirinya menjadi pejabat birokrasi hanya karena "pemberian" kepala daerah.

Konsolidasi Netralitas Birokrasi untuk Menjaga Marwah Birokrasi
Pada sisi yang lain, pilkada sebenarnya saat yang tepat pada birokrasi untuk melakukan konsolidasi. Konsolidasi netralitas birokrasi untuk menjaga marwah birokrasi menjadi penting, yaitu mencapai satu kesepahaman bahwa birokrasi adalah institusi formal yang tidak boleh memihak pada salah satu kekuatan politik tertentu dan berkomitmen untuk menegakkan sistem merit. Birokrasi dengan UU ASN sebenarnya diberi area yang luas untuk mendesain sistem meritnya sendiri atau seleksi jenjang kariernya sendiri. Birokrasi berhak memilih siapa di antara mereka yang paling layak untuk memimpin birokrasi. Hanya birokrat yang kompeten dan amanahlah yang berhak memimpin birokrasi. Meski hasil akhirnya tetap berada pada pejabat politik, birokrasi memiliki ruang untuk memilih tiga orang yang berhak menduduki suatu jabatan tertentu. Ketika ketiga calon pemimpin birokrat tersebut telah memiliki kualifikasi minimal untuk memimpin birokrasi, sejatinya birokrasi telah berhasil menciptakan jalur karier untuk mereka sendiri.

Semua skenario sistem merit di atas harus berjalan pada komitmen birokrasi itu sendiri untuk tetap berada pada jalur netralitas atau imparsialitas birokrasi. Jika ada birokrat yang bermain mata atau sengaja mencari jalan untuk mempertahankan posisinya pada birokrasi dengan jalan di luar sistem merit di atas, sejatinya ia telah berkhianat kepada koleganya sesama birokrat. Masalahnya adalah ketika modal sosial negatif ada di birokrasi, yaitu ketika suatu aktivitas negatif dilakukan secara bersama-sama dan mereka tidak merasa melakukan kesalahan maka netralitas birokrasi benar-benar berada pada titik kritis. Ketika dukung mendukung kandidat kepala daerah dianggap lazim oleh birokrasi, kecil kemungkinan akan lahirnya birokrasi yang profesional dan pro kepada publik. Garis finis reformasi birokrasi tidak semakin dekat, tetapi semakin jauh.
(ras)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.8896 seconds (0.1#10.140)