Kearifan Lokal dan Pancasila Kolaborasi Terbaik Bentengi Bangsa

Jum'at, 16 Maret 2018 - 15:14 WIB
Kearifan Lokal dan Pancasila Kolaborasi Terbaik Bentengi Bangsa
Kearifan Lokal dan Pancasila Kolaborasi Terbaik Bentengi Bangsa
A A A
JAKARTA - Bangsa-bangsa asing selama ini memuji kearifan lokal di Indonesia yang terbukti mampu menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Oleh karena itu, kearifan lokal harus terus dipupuk di samping terus memperkuat ideologi kebangsaan yaitu Pancasila.

Kearifan lokal dan ideologi Pancasila dinilai menjadi kolaborasi terbaik untuk membentengi bangsa dari "serangan" ideologi transnasional yang membawa paham-paham kekerasan.

“Kearifan lokal di Indonesia diakui sebagai alat pemersatu bangsa kita yang majemuk. Itu diucapkan banyak ulama-ulama, terutama dari Timur Tengah. Mereka memuji Indonesia karena mampu hidup damai dengan berbagai keragaman agama, suku, ras, bahasa, dan sebagainya. Bahkan mereka juga memuji Islam Indonesia yang toleran,” ujar salah satu kelompok ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Inspektur Jenderal Polisi Purn Ansyaad Mbai di Jakarta, Jumat (16/3/2018).

Menurut mantan Kepala BNPT ini, identitas bangsa Indonesia, yaitu kearifan lokalnya yang dikenal memiliki peradaban, kultur, bahasa, dengan ciri masing-masing daerah.

Artinya, kata dia, dengan saling menghormati dan menjunjung tinggi kearifan lokal, masyarakat otomatis telah memperkuat persatuan bangsa.

Dia mencontohkan, misalnya tiba-tiba seluruh Indonesia diharuskan memakai pakaian adat Jawa seperti kemben, lalu bagaimana dengan orang Bali, Papua, Kalimantan, Sumatera, dan lain-lain. Tentu itu sama saja dengan pemaksaan kehendak.

Tapi, kata dia, di Indonesia itu tidak terjadi. Masing-masing daerah memiliki kultur dan adat sendiri, dan semua bisa saling menghormati dan menghargai.

“Kalau itu dipaksakan pasti akan terjadi benturan. Jadi sifat saling hormat dan menghormati ini adalah kearifan lokal yang dahsyat dalam memerangi ideologi transnasional, terutama yang ingin memecah belah Indonesia, terutama menggunakan dalil agama,” tuturnya.

Contoh lainnya, lanjut Ansyaad, masuknya agama Islam ke Indonesia juga tidak dengan perang. Itu terjadi karena ulama yang membawa Islam ke Indonesia sangat menghormati kearifan lokal itu dengan berdakwah lewat wayang, kesenian setempat, dan sangat menghargai adat istiadat warisan leluhur.

“Kita harus kembali ke situ. Intinya, jangan memaksakan, apakah pikiran, budaya, cara berpakaian, penampilan fisik, apalagi agama. Kalau dipaksa pasti terjadi benturan. Kalau itu terjadi, maka paham-paham transnasional, terutama yang radikal, akan mudah masuk dan memperkeruh suasana,” tutur Ansyaad.

Saat ini, kata dia, secara global telah menjadikan upaya melawan paham radikal menjadi agenda utama, lebih khusus lagi, negara-negara Islam, khususnya di Jazirah Arab.

Indonesia dinilai sebagai negara yang cukup berhasil meredam paham radikal itu dengan ajaran Islam Indonesia dan kearifan lokalnya.

Hal itu dikatakannya dengan dibuktikan dengan kunjungan Raja Salman dari Arab Saudi ke Indonesia yang salah satu agendanya adalah memperkuat kerja sama penanggulangan terorisme.

Ansyaad menilai kondisi ini justru dibalik oleh kelompok radikal. Mereka selalu mengatakan, semua-semuanya kita harus belajar dari Arab. Padahal ulama dan cendekiawan Arab yang pernah ditemuinya justru memuji kehidupan beragama di Indonesia.

Menurut dia, mereka kagum dengan Indonesia karena bisa damai meski terdiri dari berbagai macam agama, suku, dan budaya. Beda dengan negara-negara Arab, meski sama-sama beragama Islam, mereka tetap terlibat perang dan saling bunuh.

Ironinya, kata Ansyaad, selama ini, kelompok radikal selalu ‘mengagung-agungkan’ apa-apa yang berbau Arab dan Timur Tengah.
Padahal, di Arab sendiri, kelompok radikal juga ditangkapi. Karena itu, penegakan hukum terhadapi kelompok radikal yang di sini dielu-elukan dan mengumbar seruan berpaham radikal, harus ditegakkan.

“Ini penting demi perdamaian dan kejayaan Indonesia. Apakah kita mau seperti Suriah atau Irak? Dua negara itu hancur karena paham khilafah yang bawa ISIS, juga karena perang saudara karena perbedaan mazhab (aliran),” tutur Ansyaad
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0718 seconds (0.1#10.140)