Menjangkau Komunitas, Riset dan Inovasi ITS Lampaui Triple Helix
loading...
A
A
A
JAKARTA - Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menyambut baik kebijakan pemerintah untuk menjembatani para peneliti dengan dunia industri dalam pengembangan riset dan inovasi. Karena itu, ITS mendukung upaya pemerintah untuk menggalakkan triple helix.
Dekan Fakultas Teknologi Kelautan (FTK) ITS Trika Pitana mengatakan, ITS saat ini bahkan telah menerapkanquadraple helix, bukan lagi triple helix. Bila triple helix melibatkan pemerintah, dunia usaha, dan penelitian, ITS juga telah merambah pengembangan riset dan inovasi berbasis komunitas.
Melalui Science Techno Park (STP) yang dimiliki, ITS berupaya memacu lahirnya produk inovasi baru. “STP ini didukung oleh pemerintah. Usaha pemerintah sudah cukup banyak untuk mendukung suatu produk inovasi. Apakah industri datang atau melihat, saya melihatnya masih belum banyak,” ujarnya kepada SINDOnews, Minggu (9/8/2020).
(Baca: Inovasi Butuh Sinergi Semua Lini)
FTK ITS sendiri sudah memiliki beberapa produk yang digunakan industri seperti ISTOW-perangkat lunak untuk penataan kontainer kapal, serta Automatic Identification System ITS (AISITS)-perangkat monitoring kapal. Produk inovasi tersebut juga sudah mendapatkan sertifikat dan paten.
Memang tidak gampang melakukan riset. Trika menerangkan, riset membutuhkan waktu yang cukup panjang. Produk AIS risetnya dilakukan sejak 2007. Artinya, butuh 11 tahun sebelum akhirnya bisa bisa digunakan.
Di masa pandemi ini, ITS berkolaborasi dengan Universitas Airlangga (Unair) menciptakan Robot Medical Assistant ITS-Unair (Raisa). Raisa ini berfungsi untuk mengurangi kontak langsung antara tenaga medis dan pasien Covid-19. Dengan demikian, potensi penularan kepada tenaga medis bisa diperkecil.
ITS juga membuat ventilator yang sekarang digunakan di rumah sakit Unair. “Persoalannya, ITS untuk skala industri enggak mungkin karena bukan pabrik. Artinya, harus ada industri yang mendukung produksi massal karena produknya sekarang masih 2,3, dan 4,” tuturnya.
(Baca: Menristek Minta PT Tingkatkan Kualitas Riset dan Publikasi)
Lulusan Kobe University, Jepang, itu menjelaskan biaya riset untuk penelitian yang didanai ITS berkisar Rp50-150 juta. Besaran dana itu tergantung jenis penelitian. Setiap tahun, ada 20-30 proposal penelitian di Fakultas Teknologi Kelautan. Dia mengklaim para peneliti sekarang sudah tidak seperti dulu. Dalam meneliti, mereka sangat memperhatikan kebutuhan masyarakat.
Terkait keinginan pemerintah untuk memprioritaskan teknologi tepat guna, Trika mengungkapkan FTK ITS memiliki produk yang bisa digunakan untuk nelayan, yakni kapal laminasi bambu. Kapal ini sempat diuji coba oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti pada tahun 2018.
“Kapal bambu ini sudah ada patennya. Dasar (pembuatannya) karena jumlah kayu semakin semakin sedikit sehingga menggunakan bambu sebagai laminasi. Barang dan prototipe-nya sudah jadi untuk nelayan,” pungkasnya.
Dekan Fakultas Teknologi Kelautan (FTK) ITS Trika Pitana mengatakan, ITS saat ini bahkan telah menerapkanquadraple helix, bukan lagi triple helix. Bila triple helix melibatkan pemerintah, dunia usaha, dan penelitian, ITS juga telah merambah pengembangan riset dan inovasi berbasis komunitas.
Melalui Science Techno Park (STP) yang dimiliki, ITS berupaya memacu lahirnya produk inovasi baru. “STP ini didukung oleh pemerintah. Usaha pemerintah sudah cukup banyak untuk mendukung suatu produk inovasi. Apakah industri datang atau melihat, saya melihatnya masih belum banyak,” ujarnya kepada SINDOnews, Minggu (9/8/2020).
(Baca: Inovasi Butuh Sinergi Semua Lini)
FTK ITS sendiri sudah memiliki beberapa produk yang digunakan industri seperti ISTOW-perangkat lunak untuk penataan kontainer kapal, serta Automatic Identification System ITS (AISITS)-perangkat monitoring kapal. Produk inovasi tersebut juga sudah mendapatkan sertifikat dan paten.
Memang tidak gampang melakukan riset. Trika menerangkan, riset membutuhkan waktu yang cukup panjang. Produk AIS risetnya dilakukan sejak 2007. Artinya, butuh 11 tahun sebelum akhirnya bisa bisa digunakan.
Di masa pandemi ini, ITS berkolaborasi dengan Universitas Airlangga (Unair) menciptakan Robot Medical Assistant ITS-Unair (Raisa). Raisa ini berfungsi untuk mengurangi kontak langsung antara tenaga medis dan pasien Covid-19. Dengan demikian, potensi penularan kepada tenaga medis bisa diperkecil.
ITS juga membuat ventilator yang sekarang digunakan di rumah sakit Unair. “Persoalannya, ITS untuk skala industri enggak mungkin karena bukan pabrik. Artinya, harus ada industri yang mendukung produksi massal karena produknya sekarang masih 2,3, dan 4,” tuturnya.
(Baca: Menristek Minta PT Tingkatkan Kualitas Riset dan Publikasi)
Lulusan Kobe University, Jepang, itu menjelaskan biaya riset untuk penelitian yang didanai ITS berkisar Rp50-150 juta. Besaran dana itu tergantung jenis penelitian. Setiap tahun, ada 20-30 proposal penelitian di Fakultas Teknologi Kelautan. Dia mengklaim para peneliti sekarang sudah tidak seperti dulu. Dalam meneliti, mereka sangat memperhatikan kebutuhan masyarakat.
Terkait keinginan pemerintah untuk memprioritaskan teknologi tepat guna, Trika mengungkapkan FTK ITS memiliki produk yang bisa digunakan untuk nelayan, yakni kapal laminasi bambu. Kapal ini sempat diuji coba oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti pada tahun 2018.
“Kapal bambu ini sudah ada patennya. Dasar (pembuatannya) karena jumlah kayu semakin semakin sedikit sehingga menggunakan bambu sebagai laminasi. Barang dan prototipe-nya sudah jadi untuk nelayan,” pungkasnya.
(muh)