Gibran Dinilai Masih Jauh dari Kesantunan dan Kebaruan Gagasan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Algoritma Research and Consulting, Aditya Perdana memberikan catatan untuk Cawapres Nomor Urut 2 Gibran Rakabuming Raka pada debat cawapres beberapa waktu lalu. Menurutnya, Gibran masih perlu memoles gaya komunikasi politik dan mimik wajah.
“Hal yang perlu dipoles tentu gaya komunikasi politik dan mimik ya yang perlu diperkuat agar terkesan tidak meremehkan, merendahkan, melecehkan lawan debatnya,“ ujar Aditya, Selasa (26/12/2023).
Baca juga: Pakai Istilah Asing saat Debat Cawapres, Gibran Dinilai Ingin Dianggap Pintar
Aditya menilai Gibran belum cukup menunjukkan sikap santun, dilihat dari ekspresi wajahnya.
“Dia sudah melakukan itu dengan beberapa cara yang memang sudah sopan. Tetapi menurut saya tidak cukup karena dalam debat cara bertanya dan merespons juga bisa ditunjukkan dari aura muka dan gesture tubuhnya,” jelasnya.
Dosen Ilmu Politik Fisip Universitas Indonesia ini juga menilai tidak ada gagasan baru dan besar yang diutarakan Gibran.
“Sebenarnya dari sisi ide dan gagasan besar apa yang disampaikan oleh Gibran tidak ada yang baru hanya sekadar melanjutkan saja, padahal kita juga ingin tahu apa saja yang baru dari Prabowo dan Gibran,” ungkap Aditya.
Selain itu, Aditya melihat Gibran terlalu melekatkan dirinya dengan sang ayah, Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Gibran terlalu melekatkan dirinya dengan Jokowi ini yang sedang dioptimalkan kelihatannya oleh paslon 2 tapi akan menjadi bumerang ke depan bagi pemilih kritis,” paparnya.
Namun, kata dia, masih ada kalangan pemilih yang melihat kualitas, gagasan dan program, ketimbang dia anak siapa dan melanjutkan suksesi apa. Jadi, Gibran masih beruntung karena memiliki pengalaman sebagai kepala daerah dan pengusaha sehingga penguasaan materinya lumayan.
“Terlihat Gibran memiliki pengetahuan dan pengalaman sebagai kepala daerah dan pengusaha sehingga jawaban yang diberikan lebih banyak berdasarkan hal di atas. Jadi menurut saya memang tidak mengherankan,” tutur Aditya.
Sementara itu, Ekonom dari Universitas Mercu Buana Sugiyono Madelan Ibrahim meyoroti target penaikan rasio pajak (tax ratio) hingga 23% yang disampaikan Gibran dalam debat sebagai angka yang kelewat tinggi.
"Angka tax rasio 23% itu tergolong tinggi sekali, mengingat tax rasio sekarang 9,21 persen, sehingga angka tadi kurang realistis," ungkapnya.
Sebelumnya, Cawapres Nomor Urut 3 Gibran Rakabuming Raka menyebut akan menaikkan rasio pajak hingga 23%. Mahfud MD menilai angka penaikan itu tidak masuk akal.
Kendati demikian, Sugiyono menilai debat cawapres telah membuka mata publik terkait kualitas masing-masing cawapres. "Debat tersebut cukup bagus dan banyak membantu memperkenalkan pengetahuan dan wawasan yang lebih mendalam dan lebih dekat kepada cawapres dan capres," tambahnya.
Sugiyono menegaskan unggul di debat bukan lantas akan meneguk keuntungan elektoral. "Unggul di debat bukanlah segala-galanya, karena konstituen terbanyak adalah generasi Z dan milenial, yang mereka bukanlah pemerhati debat KPU setia," tegas Sugiyono.
Ia menilai debat cawapres tetap menjadi bentuk kampanye meski disebut jauh dari kualitas substansial.
"Jadi substansial atau tidak, debat sebagai bentuk kampanye yang lainnya tetap merupakan salah satu sarana untuk melakukan perkenalan kepada masyarakat, konstituen," pungkasnya.
“Hal yang perlu dipoles tentu gaya komunikasi politik dan mimik ya yang perlu diperkuat agar terkesan tidak meremehkan, merendahkan, melecehkan lawan debatnya,“ ujar Aditya, Selasa (26/12/2023).
Baca juga: Pakai Istilah Asing saat Debat Cawapres, Gibran Dinilai Ingin Dianggap Pintar
Aditya menilai Gibran belum cukup menunjukkan sikap santun, dilihat dari ekspresi wajahnya.
“Dia sudah melakukan itu dengan beberapa cara yang memang sudah sopan. Tetapi menurut saya tidak cukup karena dalam debat cara bertanya dan merespons juga bisa ditunjukkan dari aura muka dan gesture tubuhnya,” jelasnya.
Dosen Ilmu Politik Fisip Universitas Indonesia ini juga menilai tidak ada gagasan baru dan besar yang diutarakan Gibran.
“Sebenarnya dari sisi ide dan gagasan besar apa yang disampaikan oleh Gibran tidak ada yang baru hanya sekadar melanjutkan saja, padahal kita juga ingin tahu apa saja yang baru dari Prabowo dan Gibran,” ungkap Aditya.
Selain itu, Aditya melihat Gibran terlalu melekatkan dirinya dengan sang ayah, Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Gibran terlalu melekatkan dirinya dengan Jokowi ini yang sedang dioptimalkan kelihatannya oleh paslon 2 tapi akan menjadi bumerang ke depan bagi pemilih kritis,” paparnya.
Namun, kata dia, masih ada kalangan pemilih yang melihat kualitas, gagasan dan program, ketimbang dia anak siapa dan melanjutkan suksesi apa. Jadi, Gibran masih beruntung karena memiliki pengalaman sebagai kepala daerah dan pengusaha sehingga penguasaan materinya lumayan.
“Terlihat Gibran memiliki pengetahuan dan pengalaman sebagai kepala daerah dan pengusaha sehingga jawaban yang diberikan lebih banyak berdasarkan hal di atas. Jadi menurut saya memang tidak mengherankan,” tutur Aditya.
Sementara itu, Ekonom dari Universitas Mercu Buana Sugiyono Madelan Ibrahim meyoroti target penaikan rasio pajak (tax ratio) hingga 23% yang disampaikan Gibran dalam debat sebagai angka yang kelewat tinggi.
"Angka tax rasio 23% itu tergolong tinggi sekali, mengingat tax rasio sekarang 9,21 persen, sehingga angka tadi kurang realistis," ungkapnya.
Sebelumnya, Cawapres Nomor Urut 3 Gibran Rakabuming Raka menyebut akan menaikkan rasio pajak hingga 23%. Mahfud MD menilai angka penaikan itu tidak masuk akal.
Kendati demikian, Sugiyono menilai debat cawapres telah membuka mata publik terkait kualitas masing-masing cawapres. "Debat tersebut cukup bagus dan banyak membantu memperkenalkan pengetahuan dan wawasan yang lebih mendalam dan lebih dekat kepada cawapres dan capres," tambahnya.
Sugiyono menegaskan unggul di debat bukan lantas akan meneguk keuntungan elektoral. "Unggul di debat bukanlah segala-galanya, karena konstituen terbanyak adalah generasi Z dan milenial, yang mereka bukanlah pemerhati debat KPU setia," tegas Sugiyono.
Ia menilai debat cawapres tetap menjadi bentuk kampanye meski disebut jauh dari kualitas substansial.
"Jadi substansial atau tidak, debat sebagai bentuk kampanye yang lainnya tetap merupakan salah satu sarana untuk melakukan perkenalan kepada masyarakat, konstituen," pungkasnya.
(kri)