Kerja Keras Menghindari Resesi
loading...
A
A
A
SETELAH mendapatkan fakta kinerja pertumbuhan ekonomi kuartal II/2020 yang nyata-nyata mengalami kontraksi alias minus 5,32%, kini mau tidak mau pemerintah harus bekerja ekstrakeras membuat formula agar kuartal ketiga tidak negatif. Pasalnya, jika kembali negatif di periode Juli—September 2020, secara harfiah ekonomi jatuh ke jurang resesi karena dua kuartal berturut-turut mengalami pertumbuhan negatif.
Tentu saja itu semua sangat tidak diharapkan oleh semua kalangan. Maka, pilihan satu-satunya adalah agresif menggerakkan roda ekonomi dengan berbagai cara. Tidak mudah memang. Kita tahu, saat ini ruang gerak para pelaku ekonomi hampir di semua level masih terbatas. Musababnya, pandemi virus korona (Covid-19) masih belum juga pergi dari negeri ini. Tak hanya itu, masyarakat yang menjalankan aktivitas sehari-hari juga masih cenderung membatasi diri karena khawatir terpapar korona.
Data tim Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menyebutkan, hingga Minggu (9/8) kasus positif Covid-19 bertambah sebanyak 1-893 orang sehingga total mencapai 125.396 orang di seluruh Indonesia. Adapun jumlah kematian mencapai 5.723 orang setelah kemarin bertambah 65 orang.
Angka ini layak dicermati mengingat pola penyebaran korona terus mengalami perubahan. Jika sebelumnya kluster-kluster ditemukan di tempat-tempat publik seperti pasar, tempat ibadah, atau rumah sakit, kini perkantoran pun menjadi lokasi yang banyak ditemukan kasus positif. Padahal, pembukaan perkantoran dan pusat bisnis ini sedikitnya memberi harapan bakal ada geliat ekonomi secara lebih masif. Bahkan, peluang kemunculan kluster baru bisa terjadi setelah pemerintah resmi memperbolehkan sekolah kembali menerapkan belajar tatap muka di zona kuning.
Dalam upaya membangkitkan perekonomian di kuartal ketiga ini, beberapa langkah telah disusun pemerintah melalui kementerian-kementerian teknis. Di sektor industri di antaranya berupa penghapusan tarif pemakaian minimum listrik, lalu ada stimulus khusus modal kerja yang dapat dinikmati oleh sektor industri, termasuk bagi pelaku industri kecil dan menengah (IKM) untuk merangsang agar mesin-mesin produksi kembali berputar.
Sektor pariwisata pun demikian. Pembukaan lokasi wisata setelah tutup hampir lima bulan diharapkan mampu membantu ekonomi sekitar tempat wisata. Selain itu, adanya rencana sejumlah stimulus seperti pembebasan PPh 25 serta pajak bumi dan bangunan juga diharapkan membantu sektor ini kembali bangkit.
Di sektor konsumsi, setelah menyalurkan bantuan langsung tunai kepada masyarakat miskin dan terdampak Covid-19, pemerintah juga sedang mematangkan skema insentif bagi para pekerja yang bergaji kurang dari Rp5 juta. Ini semua dilakukan demi menggenjot daya beli rumah tangga yang selama ini menjadi kontributor terbesar produk domestik bruto nasional.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pengeluaran konsumsi rumah tangga pada kuartal II/2020 turun signifikan alias negatif 5,51% secara year on year. Padahal, di kuartal I/2020 konsumsi rumah tangga masih tumbuh 2,83%. Bisa dimaklumi karena kuartal pertama dampak pandemi Covid-19 belum separah kuartal kedua yang mengharuskan pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berkala Besar (PSBB) dan berimbas pada terhentinya sebagian aktivitas ekonomi.
Kembali ke upaya-upaya untuk menggenjot perekonomian di kuartal ketiga, langkah tersebut sedianya dilakukan dengan tetap mempertimbangkan aspek kesehatan. Boleh saja semua sektor ekonomi digenjot, tapi jangan lupa risikonya. Dalam hal ini, kedisiplinan menerapkan protokol kesehatan akan menjadi kunci berhasil atau tidaknya mencegah ekonomi ke zona merah. Apalagi, dari sisi payung hukum sudah ada aturan berupa Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6/2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19.
Satu di antara yang diatur dalam inpres tersebut terkait ketentuan sanksi dalam pelaksanaan protokol kesehatan. Sanksi yang dimaksud berupa teguran lisan, teguran tertulis, kerja sosial, denda administratif, hingga penghentian atau penutupan sementara penyelenggaraan usaha.
Tantangannya sekarang adalah bagaimana rasa aman itu bisa dibangkitkan di tengah kondisi grafik kasus positif yang belum juga turun. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah tim Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dan Satgas Pemulihan Ekonomi agar keduanya tidak salah langkah demi mengejar target recovery.
Apalagi jika mengutip pesan Presiden Joko Widodo saat memberikan sambutan pada Kongres Partai Gerindra akhir pekan lalu yang mengatakan bahwa saat ini kita tidak cukup keluar dari krisis, tetapi inilah momentum untuk melakukan transformasi.
Tentu saja itu semua sangat tidak diharapkan oleh semua kalangan. Maka, pilihan satu-satunya adalah agresif menggerakkan roda ekonomi dengan berbagai cara. Tidak mudah memang. Kita tahu, saat ini ruang gerak para pelaku ekonomi hampir di semua level masih terbatas. Musababnya, pandemi virus korona (Covid-19) masih belum juga pergi dari negeri ini. Tak hanya itu, masyarakat yang menjalankan aktivitas sehari-hari juga masih cenderung membatasi diri karena khawatir terpapar korona.
Data tim Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menyebutkan, hingga Minggu (9/8) kasus positif Covid-19 bertambah sebanyak 1-893 orang sehingga total mencapai 125.396 orang di seluruh Indonesia. Adapun jumlah kematian mencapai 5.723 orang setelah kemarin bertambah 65 orang.
Angka ini layak dicermati mengingat pola penyebaran korona terus mengalami perubahan. Jika sebelumnya kluster-kluster ditemukan di tempat-tempat publik seperti pasar, tempat ibadah, atau rumah sakit, kini perkantoran pun menjadi lokasi yang banyak ditemukan kasus positif. Padahal, pembukaan perkantoran dan pusat bisnis ini sedikitnya memberi harapan bakal ada geliat ekonomi secara lebih masif. Bahkan, peluang kemunculan kluster baru bisa terjadi setelah pemerintah resmi memperbolehkan sekolah kembali menerapkan belajar tatap muka di zona kuning.
Dalam upaya membangkitkan perekonomian di kuartal ketiga ini, beberapa langkah telah disusun pemerintah melalui kementerian-kementerian teknis. Di sektor industri di antaranya berupa penghapusan tarif pemakaian minimum listrik, lalu ada stimulus khusus modal kerja yang dapat dinikmati oleh sektor industri, termasuk bagi pelaku industri kecil dan menengah (IKM) untuk merangsang agar mesin-mesin produksi kembali berputar.
Sektor pariwisata pun demikian. Pembukaan lokasi wisata setelah tutup hampir lima bulan diharapkan mampu membantu ekonomi sekitar tempat wisata. Selain itu, adanya rencana sejumlah stimulus seperti pembebasan PPh 25 serta pajak bumi dan bangunan juga diharapkan membantu sektor ini kembali bangkit.
Di sektor konsumsi, setelah menyalurkan bantuan langsung tunai kepada masyarakat miskin dan terdampak Covid-19, pemerintah juga sedang mematangkan skema insentif bagi para pekerja yang bergaji kurang dari Rp5 juta. Ini semua dilakukan demi menggenjot daya beli rumah tangga yang selama ini menjadi kontributor terbesar produk domestik bruto nasional.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pengeluaran konsumsi rumah tangga pada kuartal II/2020 turun signifikan alias negatif 5,51% secara year on year. Padahal, di kuartal I/2020 konsumsi rumah tangga masih tumbuh 2,83%. Bisa dimaklumi karena kuartal pertama dampak pandemi Covid-19 belum separah kuartal kedua yang mengharuskan pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berkala Besar (PSBB) dan berimbas pada terhentinya sebagian aktivitas ekonomi.
Kembali ke upaya-upaya untuk menggenjot perekonomian di kuartal ketiga, langkah tersebut sedianya dilakukan dengan tetap mempertimbangkan aspek kesehatan. Boleh saja semua sektor ekonomi digenjot, tapi jangan lupa risikonya. Dalam hal ini, kedisiplinan menerapkan protokol kesehatan akan menjadi kunci berhasil atau tidaknya mencegah ekonomi ke zona merah. Apalagi, dari sisi payung hukum sudah ada aturan berupa Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6/2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19.
Satu di antara yang diatur dalam inpres tersebut terkait ketentuan sanksi dalam pelaksanaan protokol kesehatan. Sanksi yang dimaksud berupa teguran lisan, teguran tertulis, kerja sosial, denda administratif, hingga penghentian atau penutupan sementara penyelenggaraan usaha.
Tantangannya sekarang adalah bagaimana rasa aman itu bisa dibangkitkan di tengah kondisi grafik kasus positif yang belum juga turun. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah tim Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dan Satgas Pemulihan Ekonomi agar keduanya tidak salah langkah demi mengejar target recovery.
Apalagi jika mengutip pesan Presiden Joko Widodo saat memberikan sambutan pada Kongres Partai Gerindra akhir pekan lalu yang mengatakan bahwa saat ini kita tidak cukup keluar dari krisis, tetapi inilah momentum untuk melakukan transformasi.
(ras)