Pemerataan Infrastruktur Internet Tanpa Campur Tangan Asing

Senin, 10 Agustus 2020 - 06:10 WIB
loading...
A A A
Bayangkan saja, kita telah membangun backbone jejaring telekomunikasi lewat Palapa Ring, bahkan sudah menjangkau Indonesia bagian timur. Dengan adanya internet murah dan cepat dari Starlink, apa yang akan terjadi. Apakah kita bisa menolak kedatangannya, tampaknya akan sangat sulit apalagi jika ada tekanan politik. Tentu ini datang sebagai ancaman, sekaligus peluang bagi industri di Tanah Air. Mungkin hal ini perlu segera dipikirkan oleh Kominfo serta DPR. Elon Musk merencanakan menyelesaikan proyek internet untuk Kanada dan AS akhir 2020 dan memulai Starlink secara global pada 2021.

Lalu untuk masyarakat dunia dan dunia industri, ini akan sangat revolusioner. Bahwa kecepatan berinternet secara mobil pada akhirnya nanti bisa lebih dari 1.000 GBps, iya kecepatan 1.000 GB per detik. Apa yang bisa dicapai dan dihasilkan oleh dunia dan individu dengan kecepatan ini. Streaming tak lagi mengenal bumper, seluruh tayangan streaming akan berformat minimal 4K. Industri hiburan dan informasi akan berevolusi dengan sangat radikal dan semakin terdesentralisasi sesuai pasar, wilayah, budaya bahkan afiliasi masing-masing.

Penyedia pusat data dan komputasi cloud juga pastinya harus menyesuaikan diri. Dengan akses internet cepat dan murah, pastinya ukuran file yang disimpan dan didistribusikan juga ikut besar. Ini jelas akan merevolusi industri teknologi, terutama penyimpanan data.

Sebenarnya bekerja sama dengan pihak asing terkait pembangunan infrastruktur internet bukan masalah utama. Yang menjadi masalah utama dan cukup serius adalah, kita tidak punya UU pengelolaan dan perlindungan data. Berbeda dengan AS yang memanfaatkan raksasa teknologi untuk kepentingan nasional mereka lewat Foreign Surveillance Act.

Di AS, lewat Foreign Surveillance Act, raksasa teknologi dipaksa memberikan akses kepada negara dan diawasi dengan ketat untuk tidak menyalahgunakan data. Dengan kondisi seperti itu pun, masih terjadi penyalahgunaan data seperti dalam kasus cambridge analytica.

Membangun infrastruktur sendiri pun bukan tanpa risiko, karena teknologi dan alat-alat juga masih banyak memakai milik asing. Contohnya BTS, sudah pasti memakai buatan asing, dan kita punya kewajiban memeriksa secara terus-menerus bahwa data tidak ada yang disalahgunakan. Internet akan semakin dibutuhkan oleh manusia untuk bertahan hidup dan melakukan akselerasi teknologi. Misalnya di Papua dengan daerah yang bergunung-gunung, internet bisa menjadi solusi dengan model telemedicine. Sebuah langkah maju agar tenaga kesehatan bisa diakses dengan cepat lewat internet.

Dengan pemerataan internet sampai daerah terluar Tanah Air, ini jelas membantu implementasi work from home (WFH) maupun school from home (SFH). Model WFH dan SFH ini juga kemungkinan bisa dipertahankan di wilayah dengan infrastruktur transportasi dan jalan yang sangat sulit. Pada akhirnya internet menjadi jalan mudah untuk mewujudkan pemerataan pendidikan, ekonomi, bahkan perbaikan birokrasi. Namun, membangun infrastruktur internet tetap harus mempertimbangkan faktor pertahanan dan keamanan. Untuk menjamin kedaulatan data, seharusnya menggunakan resource dari dalam negeri. Kalau di level aplikasi, kita sudah menggunakan solusi asing dan infrastruktur pun menggunakan solusi asing, jelas ini meletakkan kedaulatan informasi dalam keadaan bahaya.

Seharusnya kita lebih mengutamakan optimalisasi Palapa Ring dengan sumber daya dalam negeri. Momen kemerdekaan 17 Agustus ini, harus bisa dijadikan momentum kemerdekaan infrastruktur teknologi informasi dalam negeri.
(ras)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3905 seconds (0.1#10.140)