Pemerataan Infrastruktur Internet Tanpa Campur Tangan Asing
loading...
A
A
A
Pratama Persadha
Chairman lembaga riset keamanan siber (Communication & Information System Security Research Center)
KEBERHASILAN pemerintah menyelesaikan proyek Palapa Ring Timur pada 2019 patut diapresiasi. Namun untuk internet sampai ke masyarakat, tidak cukup di situ saja. Palapa Ring adalah proyek nasional pembangunan tulang punggung kabel serat optik, khusus untuk menjangkau daerah yang belum tersentuh internet alias daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T), belum ditarik sampai last miles.
Perlu kerja sama dengan operator agar internet sampai ke masyarakat. Data mencatat pemakai internet Indonesia saat ini di kisaran 170-180 juta orang. Adanya Palapa Ring Timur seharusnya meningkatkan angka ini kepada 200 juta pemakai internet, bila benar-benar sudah bisa dirasakan masyarakat.
Dengan terjadinya Covid-19, pada akhirnya pemerintah, swasta, dan masyarakat menyadari bahwa internet sangat dibutuhkan. Tidak hanya sebagai sarana pendukung kegiatan ekonomi, tetapi juga untuk sektor pendidikan dan sektor lainnya. Karena itu, sejak lama Kominfo berusaha memaksimalkan akses internet agar segera sampai ke daerah. Kominfo sendiri dalam beberapa hari terakhir mengungkapkan ketertarikannya kembali pada Google Loon, meski belum mengungkapkan alasan mendetail faktor yang membuat Google Loon kembali diperhitungkan dalam upaya percepatan pemerataan internet di Tanah Air.
Google Loon memang sempat menjadi pertimbangan Kominfo pada 2015, di era Rudiantara. Namun, berangsur surut tanpa kabar. Kenya menjadi negara pertama yang mengimplementasikan Google Loon dalam proyek internet skala nasional. Tercatat dalam uji coba perdananya ada sekitar 35.000 warga yang mendapatkan akses 4G, mencakup luas 50.000 km2. Namun, kemudahan implementasi Google Loon juga harus dipikirkan masak-masak. Karena bukan tanpa risiko, terutama terkait kesiapan regulasi, keamanan pengelolaan data dan isu industri dalam negeri.
Idealnya, pemerintah harus fokus pada pemanfaatan Palapa Ring bersama operator agar segera bisa dinikmati masyarakat, dibanding mempertimbangkan pemakaian Google Loon. Sangat penting melanjutkan pembangunan infrastruktur internet secara mandiri atau dengan sumber daya dalam negeri. Sekarang persaingan antarnegara berbasis data bisa dilihat bagaimana AS dan Eropa membatasi Huawei akibat teknologi 5G-nya. Karena dalam persaingan antarnegara di era modern ini, penguasa infrastruktur digital adalah penguasaan informasi sebenarnya. Karena itu, saat Huawei leading di 5G, banyak negara Barat sangat khawatir.
Dengan kondisi seperti saat ini, sebaiknya fokus pada yang sudah ada. Apalagi Google punya rekam jejak pajak kurang baik di Tanah Air. Terkait infrastruktur internet, sebenarnya tak hanya Google yang sedang gencar menawarkan teknologinya, perusahaan milik Elon Musk Starlink juga cukup gencar. Starlink bahkan sudah mulai menawarkan proyek internet murah ke seluruh dunia, lewat program satelit SpaceX mereka. Mulai 2021 Starlink akan mulai membangun dan mengirimkan satelit yang membantu operasi internet di luar AS dan Kanada.
Starlink adalah perusahaan yang diproyeksikan menjadi provider di seluruh dunia. SpaceX sudah meluncurkan 422 satelit dengan Falcon 9-nya. Diperkirakan sampai akhir tahun akan ada total 720 sampai 800 satelit yang mengorbit dan menjadi modal uji coba internet di Kanada dan AS bagian utara. Sampai saat ini, SpaceX telah mendapatkan izin untuk mengorbitkan 12.000 satelit dari FCC (Federal Communication Commision). Elon Musk sendiri menargetkan 30.000 izin satelit untuk mewujudkan impiannya menyediakan internet murah ke seluruh dunia. Elon Musk sudah mengajukan izin tersebut ke FCC beberapa waktu yang lalu.
Kita tahu bersama, dengan keberadaan teknologi dan internet, banyak kejadian luar biasa di dunia dalam 10 tahun terakhir. Arab Spring yang dimulai dengan konten martir di internet. Kemenangan para politisi yang populer lewat media sosial. Adanya shifting pasar luar biasa dari luring ke daring yang juga didorong oleh aplikasi yang tumbuh pesat. Tentu yang paling menghebohkan adalah kemenangan Trump di pilpres AS 2016 dan Brexit di Inggris, keduanya menang dengan memanfaatkan Facebook untuk memengaruhi opini publik.
Bila kita lihat daftar harga internet yang disodorkan Elon Musk via Starlink, benar-benar mengagetkan, ratusan kali lebih murah dan lebih cepat dari provider di Tanah Air saat ini. Tentu bagi konsumen sangat menyenangkan, namun apakah artinya bagi negara dan industri telekomunikasi.
Bayangkan saja, kita telah membangun backbone jejaring telekomunikasi lewat Palapa Ring, bahkan sudah menjangkau Indonesia bagian timur. Dengan adanya internet murah dan cepat dari Starlink, apa yang akan terjadi. Apakah kita bisa menolak kedatangannya, tampaknya akan sangat sulit apalagi jika ada tekanan politik. Tentu ini datang sebagai ancaman, sekaligus peluang bagi industri di Tanah Air. Mungkin hal ini perlu segera dipikirkan oleh Kominfo serta DPR. Elon Musk merencanakan menyelesaikan proyek internet untuk Kanada dan AS akhir 2020 dan memulai Starlink secara global pada 2021.
Lalu untuk masyarakat dunia dan dunia industri, ini akan sangat revolusioner. Bahwa kecepatan berinternet secara mobil pada akhirnya nanti bisa lebih dari 1.000 GBps, iya kecepatan 1.000 GB per detik. Apa yang bisa dicapai dan dihasilkan oleh dunia dan individu dengan kecepatan ini. Streaming tak lagi mengenal bumper, seluruh tayangan streaming akan berformat minimal 4K. Industri hiburan dan informasi akan berevolusi dengan sangat radikal dan semakin terdesentralisasi sesuai pasar, wilayah, budaya bahkan afiliasi masing-masing.
Penyedia pusat data dan komputasi cloud juga pastinya harus menyesuaikan diri. Dengan akses internet cepat dan murah, pastinya ukuran file yang disimpan dan didistribusikan juga ikut besar. Ini jelas akan merevolusi industri teknologi, terutama penyimpanan data.
Sebenarnya bekerja sama dengan pihak asing terkait pembangunan infrastruktur internet bukan masalah utama. Yang menjadi masalah utama dan cukup serius adalah, kita tidak punya UU pengelolaan dan perlindungan data. Berbeda dengan AS yang memanfaatkan raksasa teknologi untuk kepentingan nasional mereka lewat Foreign Surveillance Act.
Di AS, lewat Foreign Surveillance Act, raksasa teknologi dipaksa memberikan akses kepada negara dan diawasi dengan ketat untuk tidak menyalahgunakan data. Dengan kondisi seperti itu pun, masih terjadi penyalahgunaan data seperti dalam kasus cambridge analytica.
Membangun infrastruktur sendiri pun bukan tanpa risiko, karena teknologi dan alat-alat juga masih banyak memakai milik asing. Contohnya BTS, sudah pasti memakai buatan asing, dan kita punya kewajiban memeriksa secara terus-menerus bahwa data tidak ada yang disalahgunakan. Internet akan semakin dibutuhkan oleh manusia untuk bertahan hidup dan melakukan akselerasi teknologi. Misalnya di Papua dengan daerah yang bergunung-gunung, internet bisa menjadi solusi dengan model telemedicine. Sebuah langkah maju agar tenaga kesehatan bisa diakses dengan cepat lewat internet.
Dengan pemerataan internet sampai daerah terluar Tanah Air, ini jelas membantu implementasi work from home (WFH) maupun school from home (SFH). Model WFH dan SFH ini juga kemungkinan bisa dipertahankan di wilayah dengan infrastruktur transportasi dan jalan yang sangat sulit. Pada akhirnya internet menjadi jalan mudah untuk mewujudkan pemerataan pendidikan, ekonomi, bahkan perbaikan birokrasi. Namun, membangun infrastruktur internet tetap harus mempertimbangkan faktor pertahanan dan keamanan. Untuk menjamin kedaulatan data, seharusnya menggunakan resource dari dalam negeri. Kalau di level aplikasi, kita sudah menggunakan solusi asing dan infrastruktur pun menggunakan solusi asing, jelas ini meletakkan kedaulatan informasi dalam keadaan bahaya.
Seharusnya kita lebih mengutamakan optimalisasi Palapa Ring dengan sumber daya dalam negeri. Momen kemerdekaan 17 Agustus ini, harus bisa dijadikan momentum kemerdekaan infrastruktur teknologi informasi dalam negeri.
Chairman lembaga riset keamanan siber (Communication & Information System Security Research Center)
KEBERHASILAN pemerintah menyelesaikan proyek Palapa Ring Timur pada 2019 patut diapresiasi. Namun untuk internet sampai ke masyarakat, tidak cukup di situ saja. Palapa Ring adalah proyek nasional pembangunan tulang punggung kabel serat optik, khusus untuk menjangkau daerah yang belum tersentuh internet alias daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T), belum ditarik sampai last miles.
Perlu kerja sama dengan operator agar internet sampai ke masyarakat. Data mencatat pemakai internet Indonesia saat ini di kisaran 170-180 juta orang. Adanya Palapa Ring Timur seharusnya meningkatkan angka ini kepada 200 juta pemakai internet, bila benar-benar sudah bisa dirasakan masyarakat.
Dengan terjadinya Covid-19, pada akhirnya pemerintah, swasta, dan masyarakat menyadari bahwa internet sangat dibutuhkan. Tidak hanya sebagai sarana pendukung kegiatan ekonomi, tetapi juga untuk sektor pendidikan dan sektor lainnya. Karena itu, sejak lama Kominfo berusaha memaksimalkan akses internet agar segera sampai ke daerah. Kominfo sendiri dalam beberapa hari terakhir mengungkapkan ketertarikannya kembali pada Google Loon, meski belum mengungkapkan alasan mendetail faktor yang membuat Google Loon kembali diperhitungkan dalam upaya percepatan pemerataan internet di Tanah Air.
Google Loon memang sempat menjadi pertimbangan Kominfo pada 2015, di era Rudiantara. Namun, berangsur surut tanpa kabar. Kenya menjadi negara pertama yang mengimplementasikan Google Loon dalam proyek internet skala nasional. Tercatat dalam uji coba perdananya ada sekitar 35.000 warga yang mendapatkan akses 4G, mencakup luas 50.000 km2. Namun, kemudahan implementasi Google Loon juga harus dipikirkan masak-masak. Karena bukan tanpa risiko, terutama terkait kesiapan regulasi, keamanan pengelolaan data dan isu industri dalam negeri.
Idealnya, pemerintah harus fokus pada pemanfaatan Palapa Ring bersama operator agar segera bisa dinikmati masyarakat, dibanding mempertimbangkan pemakaian Google Loon. Sangat penting melanjutkan pembangunan infrastruktur internet secara mandiri atau dengan sumber daya dalam negeri. Sekarang persaingan antarnegara berbasis data bisa dilihat bagaimana AS dan Eropa membatasi Huawei akibat teknologi 5G-nya. Karena dalam persaingan antarnegara di era modern ini, penguasa infrastruktur digital adalah penguasaan informasi sebenarnya. Karena itu, saat Huawei leading di 5G, banyak negara Barat sangat khawatir.
Dengan kondisi seperti saat ini, sebaiknya fokus pada yang sudah ada. Apalagi Google punya rekam jejak pajak kurang baik di Tanah Air. Terkait infrastruktur internet, sebenarnya tak hanya Google yang sedang gencar menawarkan teknologinya, perusahaan milik Elon Musk Starlink juga cukup gencar. Starlink bahkan sudah mulai menawarkan proyek internet murah ke seluruh dunia, lewat program satelit SpaceX mereka. Mulai 2021 Starlink akan mulai membangun dan mengirimkan satelit yang membantu operasi internet di luar AS dan Kanada.
Starlink adalah perusahaan yang diproyeksikan menjadi provider di seluruh dunia. SpaceX sudah meluncurkan 422 satelit dengan Falcon 9-nya. Diperkirakan sampai akhir tahun akan ada total 720 sampai 800 satelit yang mengorbit dan menjadi modal uji coba internet di Kanada dan AS bagian utara. Sampai saat ini, SpaceX telah mendapatkan izin untuk mengorbitkan 12.000 satelit dari FCC (Federal Communication Commision). Elon Musk sendiri menargetkan 30.000 izin satelit untuk mewujudkan impiannya menyediakan internet murah ke seluruh dunia. Elon Musk sudah mengajukan izin tersebut ke FCC beberapa waktu yang lalu.
Kita tahu bersama, dengan keberadaan teknologi dan internet, banyak kejadian luar biasa di dunia dalam 10 tahun terakhir. Arab Spring yang dimulai dengan konten martir di internet. Kemenangan para politisi yang populer lewat media sosial. Adanya shifting pasar luar biasa dari luring ke daring yang juga didorong oleh aplikasi yang tumbuh pesat. Tentu yang paling menghebohkan adalah kemenangan Trump di pilpres AS 2016 dan Brexit di Inggris, keduanya menang dengan memanfaatkan Facebook untuk memengaruhi opini publik.
Bila kita lihat daftar harga internet yang disodorkan Elon Musk via Starlink, benar-benar mengagetkan, ratusan kali lebih murah dan lebih cepat dari provider di Tanah Air saat ini. Tentu bagi konsumen sangat menyenangkan, namun apakah artinya bagi negara dan industri telekomunikasi.
Bayangkan saja, kita telah membangun backbone jejaring telekomunikasi lewat Palapa Ring, bahkan sudah menjangkau Indonesia bagian timur. Dengan adanya internet murah dan cepat dari Starlink, apa yang akan terjadi. Apakah kita bisa menolak kedatangannya, tampaknya akan sangat sulit apalagi jika ada tekanan politik. Tentu ini datang sebagai ancaman, sekaligus peluang bagi industri di Tanah Air. Mungkin hal ini perlu segera dipikirkan oleh Kominfo serta DPR. Elon Musk merencanakan menyelesaikan proyek internet untuk Kanada dan AS akhir 2020 dan memulai Starlink secara global pada 2021.
Lalu untuk masyarakat dunia dan dunia industri, ini akan sangat revolusioner. Bahwa kecepatan berinternet secara mobil pada akhirnya nanti bisa lebih dari 1.000 GBps, iya kecepatan 1.000 GB per detik. Apa yang bisa dicapai dan dihasilkan oleh dunia dan individu dengan kecepatan ini. Streaming tak lagi mengenal bumper, seluruh tayangan streaming akan berformat minimal 4K. Industri hiburan dan informasi akan berevolusi dengan sangat radikal dan semakin terdesentralisasi sesuai pasar, wilayah, budaya bahkan afiliasi masing-masing.
Penyedia pusat data dan komputasi cloud juga pastinya harus menyesuaikan diri. Dengan akses internet cepat dan murah, pastinya ukuran file yang disimpan dan didistribusikan juga ikut besar. Ini jelas akan merevolusi industri teknologi, terutama penyimpanan data.
Sebenarnya bekerja sama dengan pihak asing terkait pembangunan infrastruktur internet bukan masalah utama. Yang menjadi masalah utama dan cukup serius adalah, kita tidak punya UU pengelolaan dan perlindungan data. Berbeda dengan AS yang memanfaatkan raksasa teknologi untuk kepentingan nasional mereka lewat Foreign Surveillance Act.
Di AS, lewat Foreign Surveillance Act, raksasa teknologi dipaksa memberikan akses kepada negara dan diawasi dengan ketat untuk tidak menyalahgunakan data. Dengan kondisi seperti itu pun, masih terjadi penyalahgunaan data seperti dalam kasus cambridge analytica.
Membangun infrastruktur sendiri pun bukan tanpa risiko, karena teknologi dan alat-alat juga masih banyak memakai milik asing. Contohnya BTS, sudah pasti memakai buatan asing, dan kita punya kewajiban memeriksa secara terus-menerus bahwa data tidak ada yang disalahgunakan. Internet akan semakin dibutuhkan oleh manusia untuk bertahan hidup dan melakukan akselerasi teknologi. Misalnya di Papua dengan daerah yang bergunung-gunung, internet bisa menjadi solusi dengan model telemedicine. Sebuah langkah maju agar tenaga kesehatan bisa diakses dengan cepat lewat internet.
Dengan pemerataan internet sampai daerah terluar Tanah Air, ini jelas membantu implementasi work from home (WFH) maupun school from home (SFH). Model WFH dan SFH ini juga kemungkinan bisa dipertahankan di wilayah dengan infrastruktur transportasi dan jalan yang sangat sulit. Pada akhirnya internet menjadi jalan mudah untuk mewujudkan pemerataan pendidikan, ekonomi, bahkan perbaikan birokrasi. Namun, membangun infrastruktur internet tetap harus mempertimbangkan faktor pertahanan dan keamanan. Untuk menjamin kedaulatan data, seharusnya menggunakan resource dari dalam negeri. Kalau di level aplikasi, kita sudah menggunakan solusi asing dan infrastruktur pun menggunakan solusi asing, jelas ini meletakkan kedaulatan informasi dalam keadaan bahaya.
Seharusnya kita lebih mengutamakan optimalisasi Palapa Ring dengan sumber daya dalam negeri. Momen kemerdekaan 17 Agustus ini, harus bisa dijadikan momentum kemerdekaan infrastruktur teknologi informasi dalam negeri.
(ras)