Aturan Zakat bagi PNS Tak Wajib

Kamis, 08 Februari 2018 - 07:24 WIB
Aturan Zakat bagi PNS Tak Wajib
Aturan Zakat bagi PNS Tak Wajib
A A A
JAKARTA - Pemerintah menegaskan bahwa pemotongan zakat dari gaji pegawai negeri sipil (PNS) sebagaimana akan diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Optimalisasi Mekanisme Pengumpulan Zakat nanti tak bersifat wajib atau memaksa.

Upaya baru yang dilakukan pemerintah, ujar Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin hanyalah memfasilitasi kepada para PNS atau aparatur sipil negara (ASN) agar lebih mudah dalam menunaikan kewajiban berzakat.

"Apa yang sedang kami persiapkan itu hakikatnya bukanlah barang baru, karena ini adalah upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang besar terkait dana zakat yang datang dari ASN muslim,” ujar Lukman kepada pers di Kantor Kementerian Agama Jakarta, kemarin.

Penegasan ini disampaikan Menag merespons informasi simpang siur yang beredar di tengah masyarakat. Dia mengakui, informasi yang mengatakan bahwa pemerintah akan memotong zakat dari PNS menimbulkan konotasi. Untuk itu dia menegaskan bahwa pemotongan dilakukan tanpa paksaan. Pemerintah hanya akan menjembatani bagi PNS muslim yang ingin berzakat melalui pemotongan gaji.

Nantinya para PNS akan mendapatkan surat edaran terkait perpres zakat. Bagi PNS yang ingin zakatnya dipotong langsung dari gaji, nantinya akan membuat surat yang berisi kesediaan. Demikian pula bagi yang menolak juga membuat surat tidak bersedia mengikuti isi perpres.

Aturan zakat ini, tandas Menag, juga tidak berlaku bagi seluruh PNS. "Prinsipnya kami Kemenag melakukan itu sesuai ajaran agama. Pegawai yang nonmuslim tidak diikutsertakan. Bahkan pegawai yang memiliki gaji di bawah kewajiban atau nishab tidak harus ikut," ujar dia. Untuk nishab saat ini sekitar Rp4,1 juta. Namun batasan ini belum final karena masih menunggu masukan dari berbagai pihak.

Landasan pemotongan gaji untuk zakat ini juga bukanlah hal yang baru, karena sudah ada Undang-Undang No 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat, PP No 14/2014 tentang Pelaksanaan Zakat, dan Inpres No 3/2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat.

Penerbitan perpres dalam rangka merealisasikan potensi zakat yang sangat besar dan mengoptimalkan dalam distribusinya. Jika terealisasi, zakat dari PNS ini diperkirakan akan mencapai Rp 10 triliun per tahun. Untuk pengelolaannya pun diserahkan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan lembaga-lembaga amil zakat dari ormas Islam.

Pakar hukum Islam UIN Walisongo Semarang Ahmad Rofiq mendukung upaya pemerintah mengatur soal pemotongan zakat melalui perpres. Terlebih, aturan ini sudah selektif yakni hanya berlaku untuk PNS yang beragama Islam.

Rofiq menilai, potensi zakat di Indonesia sangatlah besar yakni mencapai Rp270 triliun per tahun. Dengan potensi tersebut, jika bisa dikelola dengan baik maka akan bisa memberikan pemerataan kesejahteraan masyarakat. "Potensi besar, tapi Baznas baru dapat menghimpun Rp6 miliar per tahun, itu kan sangat kecil," ujar direktur Pascasarjana UIN Walisongo ini.

UU dan PP soal zakat saat ini, menurut Rofiq juga sebatas mengatur pengelolaan, bukan kewajiban berzakat. Jika ada perpres, maka secara hukum lebih kuat karena pemerintah bisa mengatur. Merujuk Surat At-Taubah ayat 60, amil (pengelola) juga berada di urutan ketiga setelah fakir, miskin. Legitimasi dari Alquran ini menandakan bahwa amil memang diberi kewenangan untuk mengatur dan menarik zakat.

Hanya saja, saat ini yang menjadi pekerjaan rumah adalah dalam pengelolaan zakat. Selama ini masih sering ditemui penyaluran zakat diberikan ke tempat lain bukan ke daerah pemungutan zakat. Padahal kata Rofiq, hasil pemungutan zakat seharusnya diutamakan untuk wilayah pemungutan, dan jika sudah terpenuhi baru ke wilayah sekitar. "Makanya sering orang bilang lebih baik zakat sendiri dari pada melalui Baznas, karena merasa lebih tepat sasaran," tandasnya.

Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Bidang Agama, Sosial, dan Budaya Ahmad Su'adi menilai jika rencana penarikan zakat melalui gaji PNS tetap dijalankan, maka sangat berpotensi maladministrasi. "Zakat itu masalah privat. Jadi negara tidak boleh mencampuri apalagi menarik zakat ke dalam pemerintahan," kata Ahmad.

Jika pemerintah tetap ingin menarik zakat dari PNS Muslim, dalam undang-undang perlu mencantumkan perbedaan siapa yang berhak menerima zakat dan siapa pemberi zakat itu. Kemelut soal penarikan zakat, ujar dia, pernah terjadi di Lombok Timur, pada 2006-2007 silam.

PNS dari golongan rendah memprotes kebijakan yang sudah disepakati antara bupati dan DPRD ini karena merasa tereksploitasi.

Komisi VIII DPR juga mengingatkan Kemenag untuk mempertimbangkan dan mengkaji secara matang rencana pemotongan zakat penghasilan PNS sebesar 2,5%. “Harus jelas bahwa Perpres tersebut hanya diperuntukkan untuk PNS yang gajinya memang sudah memenuhi syarat untuk mengeluarkan zakat atau hitungannya sudah sampai satu nishab,” kata Wakil Ketua Komisi VIII Noor Achmad, di Jakarta, kemarin.

Untuk menetapkan gaji yang memenuhi syarat, maka hitungan nishab-nya harus jelas menggunakan analogi nishab emas yaitu setara dengan 85 gram setahun atau analogi dengan zakat pertanian yang dikeluarkan setiap panen. Kemudian, Perpres tersebut juga harus memastikan tentang distribusi zakat.

“Terutama harus dipastikan mustahiq-nya dan persentase masing-masing mustahiq. Jadi harus diatur siapa saja yang ditugasi untuk menyalurkan zakat tersebut,” ungkap sekretaris umum Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini.

Menurut dia, untuk pengaturan itu Kemenag dan asional Baznas) bisa melibatkan orang-orang netral dari berbagai ormas agar nantinya pengelolaan tidak dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok tertentu, apalagi yang menyangkut kelompok politik. Dan hal yang juga penting diatur dalam Perpres tersebut, kata dia, adalah pengawas kinerja penyaluran zakatnya.

Anggota Komisi VIII DPR Khotibul Umam Wiranu berpendapat, rencana pemotongan gaji PNS untuk zakat sama sekali tidak memiliki landasan yuridis, filosofis maupun sosiologis. Sebaiknya, pemerintah tidak perlu mengatur persoalan zakat penghasilan PNS muslim. Apalagi dengan menerbitkan suatu peraturan perundang-undangan khusus. Lebih baik persoalan zakat profesi PNS diserahkan pada masing-masing individu yang telah memenuhi kriteria sesuai dengan syariat. (Binti Mufarida/Andik Sismanto/Rahmat Sahid)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8123 seconds (0.1#10.140)