Korupsi Musuh Bersama

Senin, 18 Desember 2023 - 08:34 WIB
loading...
Korupsi Musuh Bersama
Candra Fajri Ananda, Staf Khusus Menteri Keuangan RI. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menkeu RI

KORUPSI telah menjadi musuh utama pembangunan yang tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara dunia. Korupsi merupakan kompleksitas fenomena sosial, politik dan ekonomi yang mempengaruhi semua negara, serta merupakan kejahatan luar biasa yang dihadapi oleh setiap bangsa dan negara.

Korupsi mutlak dapat merugikan banyak pihak, serta membahayakan pembangunan sosial dan ekonomi. Pada berbagai tingkatan dan bentuknya, tindakan korupsi dapat menyerang fondasi institusi demokrasi sehingga menjadi lemah, memutarbalikkan atau melemahkan supremasi hukum dan memperlambat pembangunan ekonomi, serta berkontribusi pada ketidakstabilan pemerintahan, dan tidak hanya menimbulkan konflik, bahkan sering menjadi salah satu akar penyebabnya.

Di berbagai negara, korupsi kerap merugikan alokasi sumber daya publik yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan layanan publik lainnya. Selain itu, korupsi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga-lembaga publik, menciptakan ketidaksetaraan, hingga memperburuk kondisi kemiskinan. Oleh sebab itu, penting untuk mencegah korupsi, mempromosikan transparansi, dan memperkuat kelembagaan.

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang diterbitkan setiap tahun oleh Transparency International menilai negara dari 0 – 100 berdasarkan tingkat persepsi korupsi di sektor publik menurut penilaian ahli dan pelaku bisnis serta jajak pendapat. Transparency International melakukan survei indeks korupsi di 180 negara untuk menilai negara yang paling korup, dilihat dari skor terendah suatu negara.

Semakin rendah skor yang dimiliki suatu negara maka semakin tinggi tingkat korupsi pada negara tersebut. Ironisnya, berdasarkan seluruh negara yang termasuk dalam indeks tersebut, sekitar dua per tiga memiliki skor di bawah 50. Artinya, masih banyak negara yang gagal memberantas korupsi sepenuhnya.

Transparency International (TI) menilai Somalia sebagai negara paling korup di dunia pada 2022. Menurut laporan TI, rata-rata IPK global pada 2022 sebesar 43. Artinya, IPK Somalia tersebut sekitar 3,5 kali lipat lebih buruk dari rata-rata dunia.

Selanjutnya, Suriah dan Sudan Selatan menempati peringkat kedua negara terkorup dunia pada 2022 dengan IPK masing-masing sebesar 13 poin. Kondisi tersebut tampaknya tak jauh berbeda dengan posisi Indonesia yang ironisnya dinobatkan menjadi salah satu negara terkorup di antara negara G20 lainnya dengan skor 37 dan menjadikan Indonesia sebagai negara terkorup ke-5 di Asia Tenggara dengan skor 34.

Tak sedikit negara telah berusaha meningkatkan tata kelola dan menegakkan hukum untuk memberantas korupsi, perjuangan ini terkadang dihadapkan pada tantangan sistemik dan kelemahan struktural. Organisasi internasional, seperti Transparency International, terus berupaya mengawasi dan memerangi korupsi di tingkat global, memperkuat tata kelola yang baik, dan mendorong transparansi sebagai landasan untuk pembangunan yang berkelanjutan.

Melalui upaya bersama di tingkat nasional dan internasional, harapannya adalah bahwa masyarakat di seluruh dunia dapat keluar dari jerat permasalahan korupsi yang merugikan dan menciptakan fondasi yang lebih kokoh untuk pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.

Refleksi Korupsi di Indonesia
Korupsi merupakan suatu perilaku menyimpang penyalahgunaan kekuasaan demi mendapat keuntungan pribadi. Di Indonesia, korupsi diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No 31 Tahun 1999. Menurut undang-undang ini, korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain atau perusahaan yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.
Perilaku korupsi dapat terjadi di berbagai tempat dan kalangan, di mana masih banyak masyarakat yang tidak menyadari terhadap perilaku korupsi itu sendiri di sekitar mereka.

Hingga saat ini, praktik korupsi di Indonesi telah berkembang lebih luas meliputi semua jenjang, mulai dari pusat hingga daerah, serta dalam berbagai ragam kegiatan dan bentuk. Berdasarkan laporan Transparency Internasional menunjukkan bahwa angka Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Indonesia tercatat sebesar 34 poin dari skala 0-100 pada 2022. Angka tersebut menurun 4 poin dari tahun sebelumnya.

Penurunan IPK tersebut turut menjatuhkan urutan IPK Indonesia secara global yang tercatat menempati peringkat ke-110. Padahal di tahun sebelumnya, IPK Indonesia berada di peringkat ke-96 secara global.

Menurunnya IPK Indonesia tersebut mengindikasikan persepsi publik terhadap korupsi di jabatan publik dan politis di tanah air memburuk sepanjang tahun lalu. Secara tren, IPK Indonesia cenderung membaik dibandingkan periode dua dekade terakhir. IPK tertinggi yaitu pada 2019 yang mencapai 40 poin, sedangkan yang terendah pada 2002 yaitu 19 poin.

Perkembangan korupsi di Indonesia saat ini mencerminkan tantangan yang terus dihadapi dalam upaya pemberantasan. Data statistik yang menunjukkan terjadinya peningkatan kasus korupsi mengindikasikan bahwa masih terdapat kelemahan dalam sistem.

Permasalahan utama mencakup rendahnya efektivitas penegakan hukum, birokrasi yang kompleks, dan kekurangan transparansi. Oleh sebab itu, pentingnya refleksi ini terletak pada kemampuan untuk mengevaluasi upaya-upaya sebelumnya dan mengidentifikasi area-area yang memerlukan perbaikan.

Reformasi tata kelola pemerintahan, penguatan lembaga-lembaga penegak hukum, dan pemberian insentif yang lebih besar pada para pekerja – terutama di instansi pemerintah – dapat menjadi langkah-langkah yang perlu diperkuat. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat bahwa selama periode 1 Januari – 6 Oktober 2023 mayoritas tindak pidana korupsi dilakukan di instansi pemerintah kabupaten/kota, yakni sebanyak 29 kasus.

Selanjutnya, korupsi banyak dilakukan di instansi kementerian/lembaga ada 26 kasus, BUMN/BUMD 20 kasus, dan pemerintah provinsi 10 kasus. Berdasarkan segi profesi pelaku, mayoritas kasus korupsi sejak awal tahun ini dilakukan pejabat eselon I, II, III dan IV, yaitu sebanyak 39 kasus.

Di sisi lain, untuk pelaku korupsi dari pihak swasta ada 26 kasus, wali kota/bupati dan wakilnya 4 kasus, hakim 2 kasus, dan pengacara 2 kasus. Ada pula perkara korupsi yang pelakunya anggota DPR dan DPRD, kepala lembaga/kementerian, dan gubernur masing-masing 1 kasus, serta profesi lainnya 9 kasus.

Pentingnya Komitmen Bersama dalam Pemberantasan Korupsi
Kejahatan korupsi telah disadari sebagai sebuah ancaman bagi terwujudnya kesejahteraan bangsa Indonesia. Kejahatan korupsi dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan di masyarakat.

Satjipto Raharjo (2006) pernah menyebutkan bahwa, jika masyarakat dan negara adalah pohon, maka korupsi adalah parasit. Mengingat sifat korupsi yang sangat merusak tersebut, maka korupsi telah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime oleh berbagai negara, termasuk Indonesia.

Oleh sebab itu, tak salah bila upaya pemberantasan korupsi di Indonesia sesungguhnya telah menjadi salah satu agenda prioritas negara. Akan tetapi, tantangan yang kompleks dan seringkali melibatkan kepentingan politik tersebut menjadikan perjuangan melawan korupsi di Indonesia cukup sulit. Meski demikian, pemerintah dan masyarakat tidak boleh putus asa dalam memperjuangkan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Terkait hal ini, peran pemerintah memiliki kedudukan sentral dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebagai garda terdepan dalam menjalankan roda pemerintahan, pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk menciptakan kebijakan dan mekanisme yang efektif dalam mencegah serta memberantas praktik korupsi.

Penguatan lembaga-lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan peningkatan transparansi menjadi landasan utama dalam upaya ini. Selain itu, pemerintah juga harus berperan aktif dalam meningkatkan tata kelola pemerintahan dan mengurangi celah bagi tindakan korupsi.

Reformasi di berbagai sektor, termasuk keuangan, pendidikan, dan kesehatan, menjadi kunci untuk menciptakan lingkungan yang tidak memungkinkan tumbuhnya berbagai praktik korupsi. Selain memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku korupsi, pemerintah juga dapat menciptakan insentif bagi perilaku yang bersih dan berintegritas.

Di sisi lain, pentingnya peran pemerintah tidak hanya sebatas pada aspek penegakan hukum, tetapi juga dalam memberdayakan masyarakat dengan informasi yang dibutuhkan untuk mengawasi dan melaporkan potensi tindakan korupsi. Kesadaran masyarakat tentang upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi dapat memotivasi partisipasi aktif dari berbagai lapisan masyarakat. Artinya, pemerintah sebagai regulator dan pemimpin memiliki peran sentral dalam membentuk budaya integritas dan menjamin bahwa korupsi tidak hanya dihukum, tetapi juga dieliminasi melalui upaya preventif dan perbaikan struktural.

Selain peran pemerintah, sektor swasta juga memiliki peran strategis dalam membentuk lingkungan bisnis yang bersih dan berintegritas. Perusahaan-perusahaan dapat memainkan peran penting dalam mendorong praktik bisnis yang transparan dan memberikan kontribusi nyata untuk memerangi korupsi.

Adopsi praktik tata kelola perusahaan yang baik, serta kepatuhan terhadap standar etika bisnis, menjadi langkah awal dalam menciptakan lingkungan ekonomi yang lebih bersih. Adapun sanksi dan insentif yang diberlakukan kepada pelaku bisnis juga dapat memperkuat komitmen sektor swasta dalam menjaga integritas.

Tak hanya itu, masyarakat pun turut memiliki peran penting dalam memberikan dukungan dan mengawasi tindakan korupsi. Peran masyarakat juga sangat krusial dalam memberikan dukungan dan mengawasi tindakan pemerintah dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

Masyarakat memiliki kekuatan untuk menjadi agen perubahan yang efektif melalui partisipasi aktif, pengawasan, dan pelaporan terhadap praktik-praktik korup. Dukungan masyarakat dapat tercermin dalam pemilihan pemimpin yang berintegritas, mendukung kebijakan anti-korupsi, serta menuntut pertanggungjawaban dari lembaga-lembaga pemerintahan.

Melalui media sosial dan organisasi masyarakat sipil, masyarakat dapat mengawasi tindakan pemerintah secara lebih ketat, memperkuat tuntutan transparansi, dan menuntut penegakan hukum yang adil terhadap pelaku korupsi. Selain itu, pendidikan dan kesadaran mengenai dampak buruk korupsi perlu ditingkatkan agar masyarakat dapat menjadi agen perubahan yang aktif. Keterlibatan aktif masyarakat dalam program pendidikan anti-korupsi dan pemberdayaan informasi dapat membentuk pola pikir yang menolak korupsi sejak dini.

Tidaklah mudah untuk mengubah pola perilaku dan sistem yang telah tertanam dalam waktu yang lama, namun kunci untuk keberhasilan terletak pada keseriusan dan ketekunan semua pihak yang terlibat. Kerja sama antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil menjadi penting dalam upaya bersama menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan berintegritas.

Oleh sebab itu, refleksi ini seharusnya menjadi dasar untuk merancang strategi baru yang lebih efektif dalam memerangi korupsi serta mewujudkan tata kelola yang lebih baik di masa depan. Meski perjalanan menuju masyarakat yang bersih dari korupsi mungkin panjang dan tak mudah, namun dengan tekad yang kuat dan kerja sama yang baik, Indonesia dapat melangkah maju menuju tatanan yang lebih adil, transparan, dan berkeadilan. Semoga.
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1475 seconds (0.1#10.140)