Fadli Zon: Badan Siber Tak Boleh Jadi Polisi Demokrasi

Senin, 08 Januari 2018 - 12:53 WIB
Fadli Zon: Badan Siber Tak Boleh Jadi Polisi Demokrasi
Fadli Zon: Badan Siber Tak Boleh Jadi Polisi Demokrasi
A A A
JAKARTA - Meskipun telah diklarifikasi, pernyataan Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Djoko Setiadi terus menjadi polemik.

Adapun polemik itu adalah pernyataan Fadli yang mempersilakan hoax asal membangun. Pelaksana Tugas (Plt) Ketua DPR Fadli Zon menilai, apa pun motifnya pernyataan semacam itu sangat berbahaya.

"Karena sebagai lembaga baru, tugas dan fungsi BSSN punya potensi untuk ditarik ulur sesuai kepentingan kekuasaan, tak lagi sesuai dengan ketentuan undang-undang," tulis Fadli melalui akun Twitternya, @fadlizon, Senin (8/1/2018).

Dia mengatakan, keberadaan BSSN telah dirancang sejak 2015, Desain awalnya, kata dia, bukan untuk mengurusi hoax atau konten negatif di internet, tapi membangun ekosistem keamanan siber nasional.

Dia menilai pernyataan Kepala BSSN memberikan kesan tugas BSSN untuk menangkal hoax. "Itu harus diluruskan. Untuk mengatasi hoax, hate speech, dan konten negatif internet sudah ada lembaga yang menangani hal itu, mulai dari Direktorat Cyber Crime di Bareskrim Polri, Kominfo, Dewan Pers," tutur Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini.

Dia menjelaskan, tugas BSSN adalah layaknya tugasnya Kementerian Pertahanan di dunia maya. BSSN, lanjut dia, misalnya harus bisa mengantisipasi serta mengatasi ransomware seperti wannacry yang sempat bikin heboh tahun 2017.

"Jadi itulah wilayah tugas BSSN, yaitu membangun ekosistem keamanan dunia siber dan bukanya ngurusi hoax dan sejenisnya," tuturnya.

Menurut dia, keamanan siber sangat penting. Indonesia saat ini masih rentan serangan siber. Sepanjang tahun 2017, kata dia, ada 200 juta serangan siber.

Apalagi, kata dia, kini pemerintah dan Bank Indonesia sedang mengampanyekan gerakan nontunai dalam berbagai transaksi. "Nah semua itu butuh pengamanan siber," kata Fadli.

Dia menjelaskan, sesuai undang-undang, penanganan kejahatan siber (cyber crime) di Indonesia menjadi tanggung jawab Polri, termasuk cyber terrorism.

Sedangkan untuk perang siber (cyber conflict), lanjut dia, hal itu sepenuhnya kewenangan institusi TNI. "BSSN seharusnya mengetahui di mana posisinya terkait tiga kategori tadi. Hanya, masalahnya, kalau saya baca Perpres pembentukannya, yaitu Perpres Nomor 53/2017, tugas dan kewenangan BSSN ini memang tidak jelas,"tutur Fadli.

Fadli mempertanyakan pernyataan Kepala BSSN mengenai kewenangan penangkapan dan penindakan. Keberadaan BSSN di bawah Presiden seharusnya untuk memperkuat fungsi koordinasi, bukan menambah kekuasaanya sehingga bisa "overlap" dengan lembaga lain.

"Ini yang perlu diingatkan, baik kepada BSSN maupun kepada Presiden. Jangan lupa, BSSN ini dibentuk dengan Perpres sehingga kewenangannya tidak boleh melampaui lembaga yang dibentuk dengan UU ini," tuturnya.

Dia mengatakan saat ini dunia maya merupakan bagian ekosistem demokrasi. "Kita pun menginginkan agar BSSN turut menjaga dan memperkuat hal itu. BSSN tidak boleh menjadi polisi demokrasi," katanya.

Dia mengakui dunia maya butuh sensor. Tetapi itu hanya terbatas untuk kejahatan narkoba, pornografi, dan terorisme."Bukan untuk kebebasan berbicara dan mengemukakan pendapat. Kita tak mendesain BSSN menjadi lembaga sensor seperti yang berlaku di RRC," katanya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5757 seconds (0.1#10.140)