KPU: Potensi Konflik Pilkada Sangat Tinggi

Rabu, 08 November 2017 - 16:30 WIB
KPU: Potensi Konflik Pilkada Sangat Tinggi
KPU: Potensi Konflik Pilkada Sangat Tinggi
A A A
JAKARTA - Tingginya potensi konflik Pilkada 2018 seyogianya jadi perhatian serius semua pihak. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan, kerawanan di pilkada kali ini jauh lebih besar jika dibandingkan dua pilkada serentak sebelumnya.

Selaku penyelenggara pilkada, KPU telah mengidentifikasi sejumlah faktor yang memicu tingginya potensi konflik ini. Pertama, pilkada yang digelar di 171 daerah ini melibatkan pemilih dalam jumlah yang sangat besar yakni 80% dari total penduduk Indonesia.

"Ada 158 juta pemilih yang akan diperebutkan pada 2018. Itu artinya hampir 80% dari total pemilih nasional akan diperebutkan," ujar Ketua KPU Arief Budiman pada diskusi bertema "Potensi Konflik Pilkada Serentak 2018" di Gedung KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta, Selasa (7/11/2017).

Keterlibatan pemilih dalam jumlah besar ini terjadi karena pilkada tahun depan melibatkan daerah dengan penduduk terbesar di Indonesia antara lain Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, dan Bali. Sebagai perbandingan, pada Pilkada 2015 di 269 daerah jumlah pemilih yang terlibat sebanyak 96 juta, sedangkan pada Pilkada 2017 di 101 daerah jumlah pemilih yang terlibat hanya 41 juta.

Faktor kedua yang memicu peningkatan kerawanan adalah ketersediaan anggaran. Berbanding lurus dengan jumlah pemilih, kebutuhan anggaran pilkada di 171 daerah ini tidak sedikit. Berdasarkan total anggaran yang diajukan KPU, kebutuhan biaya mencapai Rp11,9 triliun. Ini terpaut jauh dibandingkan kebutuhan anggaran untuk Pilkada 2015 sebesar Rp7,1 triliun atau Pilkada 2017 yang hanya membutuhkan anggaran Rp4,2 triliun.

Anggaran ini baru untuk memenuhi kebutuhan KPU, belum termasuk anggaran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), TNI/Polri, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), pemerintah daerah, dan kandidat.

Faktor penggunaan anggaran yang besar ini, menurut Arief, memicu kehati-hatian KPU dalam menjalankan tugas. Persaingan calon dan partai politik (parpol) yang ketat itu akan berpengaruh pada peredaran uang di tengah masyarakat. "Makanya, KPU sangat berhati-hati betul dengan kondisi ini," ujar Arief.

Faktor ketiga yang memicu kerawanan pilkada adalah kesiapan penyelenggara dalam menjalankan tahapan dengan baik. Banyak komisioner KPU di daerah yang akan habis masa jabatannya justru saat menjelang hari pemungutan suara. Sejauh ini tidak ada aturan yang memperbolehkan KPU menambah masa jabatan penyelenggara sehingga pilihannya hanya merekrut komisioner yang baru.

"Akan muncul problem bagi KPU dalam menyiapkan proses rekrutmen penyelenggara ini. Belum lagi harus memastikan calon (komisioner KPU) terpilih itu harus berkualitas dan dapat segera menjalankan alur penyelenggaraan," ungkap Arief.

Direktur Eksekutif Rumah Bebas Konflik (Rubik) Abdul Ghofur menyebut potensi konflik pada Pilkada Serentak 2018 memang lebih tinggi dibanding pilkada sebelumnya. Dia menyebut tiga faktor yang memengaruhinya. Pertama, pelaksanaan pilkada tahun depan beririsan langsung dengan tahapan Pemilu 2019, juga banyak melibatkan daerah-daerah besar (17 provinsi, 115 kabupaten, serta 39 kota), dan kecenderungan duplikasi tren konflik yang terjadi pada Pilkada 2017.

Khusus duplikasi konflik Pilkada 2017 itu bisa terjadi bila ada kegagalan dalam beberapa hal yakni penyelenggara gagal menjaga netralitasnya, birokrasi terlibat kepentingan pemenangan calon, praktik politik uang subur, kampanye berbau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) muncul, hingga pemanfaatan dana pemerintah.

Adapun jenis konflik yang diperkirakan terjadi yakni antara sesama penyelenggara (komisioner dan sekretariat), antarpenyelenggara (KPU dan Bawaslu), antarparpol, penyelenggara dan masyarakat (soal daftar pemilih), serta konflik antarmasyarakat.

Sementara itu, dalam pandangan DPR, potensi konflik di Pilkada 2018 terjadi karena beberapa hal, mulai dari kurangnya sosialisasi penyelenggara pemilu, bermainnya petahana (incumbent) dalam proses pemenangan, keterlibatan PNS, TNI/Polri dalam mendukung calon tertentu, politik uang, rekapitulasi yang tidak memuaskan, atau tidak netralnya penyelenggara dalam menjalankan tugas.

Anggota Komisi II DPR Lukman Edy mengatakan, salah satu langkah mencegah konflik itu adalah memperkuat koordinasi antarlembaga sehingga bisa meminimalisasi bibit konflik. “Saya usulkan ada kegiatan operasi bersama untuk mencegah terjadi politik uang. Bisa empat hari sebelum hari pemungutan suara untuk memastikan tidak ada pembagian uang maupun barang kepada masyarakat,” tutur Lukman.

Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro lebih menekankan ada upaya rekonsiliasi di masyarakat untuk menghindari muncul duplikasi konflik di Pilkada 2018. Menurut dia, persaingan ketat di pilkada sebelumnya harus dilupakan untuk menatap pilkada dan memilih kepemimpinan baru. "Kita harap di putaran ketiga (pilkada serentak) harus naik kelas, ada muatan konsolidasi dan membumikan konsolidasi demokrasi," ucap dia.

Indonesia Berpengalaman
Kekhawatiran mengenai potensi konflik pilkada ini sebelumnya disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto. Dia meminta agar Bawaslu segera menyelesaikan penyusunan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) untuk jadi panduan pemerintah dan aparat keamanan melakukan deteksi dini.

Namun, kekhawatiran sejumlah kalangan akan potensi konflik ini dibantah oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Menurut dia, pada 2018 yang merupakan tahun politik stabilitas akan tetap tercipta karena Indonesia sudah berpengalaman dalam melaksanakan pemilu secara serentak. Dalam sejarahnya, kata JK, hanya ada sebagian kecil konflik yang terjadi dan 95% pilkada bisa berlangsung aman.

Menurut JK, ada sejumlah faktor yang membuat Indonesia tetap stabil meski memasuki tahun politik. Dia menjelaskan peta koalisi di masing-masing daerah saat pilkada tidak selalu sama sehingga tidak menimbulkan sentimen politik yang besar. Selain itu, konflik horizontal di tengah masyarakat selama ini juga bisa diatasi dengan baik. "Kalaupun ada masalah, biasanya setelah pemenang pilkada diumumkan dan selalu bisa diatasi," ujar JK di Jakarta, Kamis (2/11).
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.1194 seconds (0.1#10.140)