Plus Minus 3 Tahun Pemerintah Jokowi-JK di Mata Fadli Zon

Jum'at, 20 Oktober 2017 - 18:25 WIB
Plus Minus 3 Tahun Pemerintah Jokowi-JK di Mata Fadli Zon
Plus Minus 3 Tahun Pemerintah Jokowi-JK di Mata Fadli Zon
A A A
JAKARTA - Hari ini, tepat tiga tahun usia pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Terkait momen tiga tahun ini, Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon meyakini pemerintah akan menyampaikan cerita tentang keberhasilan dalam bentuk angka-angka.

Sementara pihak-pihak lain, kata dia, bisa memberi catatan kritis termasuk menyampaikan keadaan sesungguhnya.

Fadli mengakui ada beberapa yang perlu diapresiasi selama tiga tahun kepemimpinan Jokowi-JK.

“Misalnya, keseriusan pemerintah melakukan debirokratisasi perizinan dalam usaha. Peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business/EoDB) kita saat ini sudah naik ke posisi 40 dari sebelumnya 106. Itu capaian penting yang baik. Antara agenda dengan capaian bisa disebut berhasil," tutur Fadli dalam siaran persnya kepada SINDOnews, Jumat (20/10/2017).

Kendati demikian, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra menilai adapula kinerja pemerintah yang mengecewakan.

“Sayangnya masih banyak yang tak tercapai bahkan terjadi kemunduran. Secara ringkas bisa saya sampaikan kinerja pemerintah dalam banyak bidang sebenarnya sangat mengecewakan,” kata

Pertama, dalam bidang demokrasi. Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) pada masa Presiden Joko Widodo terus menurun.

Pada tahun 2014, IDI masih berada pada angka 73,04. Angka itu kemudian terus menurun menjadi 72,82 (2015), dan kemudian turun lagi jadi 70,09 (2016).

Menurut BPS, sambung dia, penurunan IDI pada 2016 disumbang oleh turunnya tiga aspek demokrasi, yaitu kebebasan sipil, hak-hak politik, lembaga-lembaga demokrasi. Indikator ketiganya turun semua.

Fadli menilai dari sisi lembaga demokrasi, penerbitan Perppu Ormas bisa mengancam lembaga demokrasi. "Itu sebabnya Partai Gerindra menolak Perppu ini yang bertentangan dengan UUD 1945," ujarnya.

Perppu tersebut dikatakannya jangan hanya dilihat vis a vis ormas yang dianggap anti-Pancasila, namun harus dilihat perppu tersebut memberi pemerintah kewenangan sepihak untuk membubarkan organisasi-organisasi yang tak sehaluan dengannya tanpa melalui proses hukum terlebih dahulu.

Dia menegaskan, demokrasi dilindungi konstitusi dan hukum, serta bekerja melalui instrumen hukum. "Jadi tak bisa proses hukum digergaji hanya demi kepentingan rezim yang berkuasa," katanya.

Kedua, dalam bidang politik. Fadli menilai dalam tiga tahun terakhir masyarakat kembali menyaksikan adanya praktik pecah-belah terhadap partai politik, hal yang hanya terjadi pada masa Orde Baru.

Dia mengatakan, kubu yang tidak pro terhadap pemerintah tidak diakui keabsahannya meskipun mereka, misalnya, menang di pengadilan. Hal tersebut dianggapnya sebagai bentuk kemunduran politik.

Ketiga, dalam bidang hukum. Fadli menilai pemerintah sering sekali membolak-balikan opini hukum demi untuk membela kepentingannya sendiri. Coba saja lihat kasus reklamasi Teluk Jakarta.

Tahun lalu, kata dia, demi melegitimasi Gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang pro terhadap reklamasi, pemerintah menyatakan bahwa kewenangan reklamasi Pantai Utara Jakarta telah dilimpahkan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Jadi, orang tak boleh memprotes kewenangan Gubernur Basuki terkait reklamasi.

“Nah, sekarang, begitu gubernurnya ganti dan mengusung agenda menghentikan reklamasi, pendapat pemerintah pusat berubah lagi, yaitu meminta agar gubernur baru tunduk kepada keputusan pemerintah pusat yang telah memutuskan untuk melanjutkan reklamasi. Ini mempermainkan hukum dan akal sehat,” tutur Fadli

Keempat, dalam bidang ekonomi. Pembangunan infrastruktur yang diklaim oleh pemerintah bisa jadi trigger untuk menggerakkan ekonomi, atau menyerap tenaga kerja, terbukti tidak terjadi.

Dari data yang dipegang Fadli, sektor industri logam dasar justru tumbuh negatif -3,06% pada kuartal I 2017. Industri logam tumbuh di bawah 1% adalah sebuah keanehan di tengah maraknya proyek infrastruktur.

"Kita jadi bertanya-tanya, lalu dari mana besi dan baja yang digunakan untuk membangun jembatan, jalan tol, dan rel kereta api?”

Begitu juga dengan klaim penciptaan lapangan kerja. Fadli mengatakan, penyerapan tenaga kerja di sektor konstruksi justru anjlok dari 8,21 juta orang (2015) menjadi 7,98 juta orang (2016).

Artinya, menurut dia, terjadi pengurangan penyerapan tenaga kerja sebesar 230 ribu orang di sektor konstruksi. Jadi, kata dia, tenaga kerja mana yang sebenarnya diserap oleh pembangunan infrastruktur.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4949 seconds (0.1#10.140)