Mahfud MD: Hukum di Indonesia Alat Membangun Harmoni, Bukan untuk Bermusuhan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Calon Wakil Presiden (Cawapres) Mahfud MD menyatakan bahwa masyarakat Indonesia jarang terlibat dalam konflik antarkelompok karena hukum di negeri ini bukanlah sebuah alat untuk bermusuhan, melainkan alat untuk membangun harmoni.
Menurut Mahfud, konflik antar masyarakat cenderung bisa diselesaikan tanpa harus dibawa ke pengadilan karena prinsip keadilan restoratif hidup di tengah-tengah masyarakat.
"Keadilan restoratif, yaitu hukum yang bersumber dari nilai-nilai budaya Pancasila, telah hidup dalam masyarakat kita. Dengan adanya keadilan restoratif, masyarakat kita yang berjumlah 270 juta jiwa dapat hidup dengan aman," ujarnya Mahfud setelah memberikan pidato dalam perayaan Dies Natalis Universitas Pancasila di Jakarta, Kamis (9/11/2023).
Pria yang juga menjabat sebagai Menko Polhukam tersebut menegaskan bahwa pihaknya akan mengembangkan prinsip keadilan restoratif ini agar hukum di Indonesia tidak digunakan sebagai landasan untuk konflik dan pertikaian yang dapat memecah belah bangsa.
"Apakah hukum barat buruk? Tidak, hukum barat memberikan kepastian hukum dan menyelesaikan konflik. Namun demikian, hukum yang berasal dari nilai-nilai budaya kebersamaan, gotong royong, saling tolong-menolong, dan memaafkan, akan kita kembangkan dalam wujud keadilan restoratif," jelasnya.
Tujuan dari hukum di Indonesia juga adalah agar tidak menjadi dasar untuk mengalahkan orang lain. Dalam kesempatan yang sama, Mahfud MD juga menyatakan bahwa penegakan hukum di Indonesia mengalami masalah baik pada tingkat elite maupun di lapisan masyarakat.
Menurutnya, pada tingkat elite, korupsi dan kolusi masih meluas terutama terlihat dalam proses pembuatan undang-undang.
"Dalam lembaga legislatif, terdapat banyak kasus korupsi terkait pembuatan undang-undang di mana terjadi kolusi antara anggota legislatif dengan pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyisipkan pasal-pasal tertentu, bahkan menghapus pasal-pasal lain, jika diperlukan, agar masuk dalam undang-undang," tutur Mahfud.
Perubahan peraturan yang terjadi secara terus-menerus, menurutnya, menjadi kendala bagi pelaku usaha untuk melakukan investasi di Indonesia. Sementara di tingkat bawah, sebagian masyarakat masih mengalami kasus perampasan tanah atau perubahan kepemilikan sertifikat tanah secara tidak adil.
"Dalam mengatasi permasalahan di lapisan elite, diperlukan penegakan hukum yang tegas tanpa pandang bulu agar investor merasa nyaman dan dunia usaha tidak terganggu dengan kebijakan yang sering berubah, membingungkan, dan tidak konsisten," tambahnya.
Tanggapan Mahfud MD Soal Putusan MKMK
Ketika ditanyakan pada kesempatan yang sama mengenai putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dan soal Anwar Usman, Mahfud menyatakan bahwa secara hukum Paman Gibran Rakabuming Raka tersebut tidak harus mundur dari jabatannya sebagai hakim konstitusi di lembaga tersebut.
"Secara hukum, (Anwar Usman) nggak harus mundur. Secara moral dan etik, urusan dia mau mundur atau tidak, tak boleh didorong paksa (untuk mundur) atau dilarang," ujar Mahfud.
Dia menegaskan bahwa menurut peraturan yang berlaku, Anwar Usman yang telah diberhentikan dari jabatan Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) tidak diwajibkan untuk mengundurkan diri dari jabatan sebagai Hakim MK. Menurutnya, sanksi yang dikenakan pada Anwar Usman karena dinyatakan melanggar kode etik sudah sesuai dengan ketentuan yang ada.
"Dari sudut pandang moral, itu menjadi masalah pribadi bagi Anwar Usman. Dia memiliki hak untuk mempertahankan diri dan mencari argumen yang mendukung. Namun, keputusan dari Majelis Kehormatan MK telah diputuskan, sudah menjadi keputusan final, dan prosesnya sedang berjalan. Tidak ada orang yang bisa memaksa Pak Anwar untuk mundur," katanya.
Mahfud MD juga menyarankan agar Anwar Usman yang merasa terfitnah untuk menyampaikan responsnya kepada MKMK yang telah menetapkan sanksi kode etik terhadapnya.
"Dia bisa langsung menyampaikan kepada pihak yang menjatuhkan keputusan (jika merasa difitnah)," ungkapnya.
Sebelumnya, mantan Ketua MK Anwar Usman merasa dirugikan oleh tuduhan yang dianggapnya sebagai fitnah, terutama dalam penanganan kasus Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang berkaitan dengan syarat usia minimal untuk calon presiden dan calon wakil presiden.
Pada hari Selasa (7/11/2023), MKMK menyimpulkan bahwa Anwar Usman terbukti tidak optimal dalam menjalankan tugas kepemimpinannya dan disengaja membuka peluang bagi campur tangan pihak eksternal dalam proses pengambilan keputusan kasus Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Anwar dinyatakan bersalah dalam melanggar kode etik dan perilaku yang seharusnya dimiliki oleh seorang hakim konstitusi. Sebagai konsekuensinya, Anwar dijatuhi sanksi berupa pemecatan dari jabatannya sebagai Ketua MK.
"Memberlakukan sanksi pemecatan dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi terhadap hakim yang bersangkutan," ucap Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie saat membacakan amar putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, Selasa (7/11/2023).
Lihat Juga: Menteri Rosan Harap Investasi ke Indonesia Meningkat usai Donald Trump Menangi Pilpres AS 2024
Menurut Mahfud, konflik antar masyarakat cenderung bisa diselesaikan tanpa harus dibawa ke pengadilan karena prinsip keadilan restoratif hidup di tengah-tengah masyarakat.
"Keadilan restoratif, yaitu hukum yang bersumber dari nilai-nilai budaya Pancasila, telah hidup dalam masyarakat kita. Dengan adanya keadilan restoratif, masyarakat kita yang berjumlah 270 juta jiwa dapat hidup dengan aman," ujarnya Mahfud setelah memberikan pidato dalam perayaan Dies Natalis Universitas Pancasila di Jakarta, Kamis (9/11/2023).
Pria yang juga menjabat sebagai Menko Polhukam tersebut menegaskan bahwa pihaknya akan mengembangkan prinsip keadilan restoratif ini agar hukum di Indonesia tidak digunakan sebagai landasan untuk konflik dan pertikaian yang dapat memecah belah bangsa.
"Apakah hukum barat buruk? Tidak, hukum barat memberikan kepastian hukum dan menyelesaikan konflik. Namun demikian, hukum yang berasal dari nilai-nilai budaya kebersamaan, gotong royong, saling tolong-menolong, dan memaafkan, akan kita kembangkan dalam wujud keadilan restoratif," jelasnya.
Tujuan dari hukum di Indonesia juga adalah agar tidak menjadi dasar untuk mengalahkan orang lain. Dalam kesempatan yang sama, Mahfud MD juga menyatakan bahwa penegakan hukum di Indonesia mengalami masalah baik pada tingkat elite maupun di lapisan masyarakat.
Menurutnya, pada tingkat elite, korupsi dan kolusi masih meluas terutama terlihat dalam proses pembuatan undang-undang.
"Dalam lembaga legislatif, terdapat banyak kasus korupsi terkait pembuatan undang-undang di mana terjadi kolusi antara anggota legislatif dengan pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyisipkan pasal-pasal tertentu, bahkan menghapus pasal-pasal lain, jika diperlukan, agar masuk dalam undang-undang," tutur Mahfud.
Perubahan peraturan yang terjadi secara terus-menerus, menurutnya, menjadi kendala bagi pelaku usaha untuk melakukan investasi di Indonesia. Sementara di tingkat bawah, sebagian masyarakat masih mengalami kasus perampasan tanah atau perubahan kepemilikan sertifikat tanah secara tidak adil.
"Dalam mengatasi permasalahan di lapisan elite, diperlukan penegakan hukum yang tegas tanpa pandang bulu agar investor merasa nyaman dan dunia usaha tidak terganggu dengan kebijakan yang sering berubah, membingungkan, dan tidak konsisten," tambahnya.
Tanggapan Mahfud MD Soal Putusan MKMK
Ketika ditanyakan pada kesempatan yang sama mengenai putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dan soal Anwar Usman, Mahfud menyatakan bahwa secara hukum Paman Gibran Rakabuming Raka tersebut tidak harus mundur dari jabatannya sebagai hakim konstitusi di lembaga tersebut.
"Secara hukum, (Anwar Usman) nggak harus mundur. Secara moral dan etik, urusan dia mau mundur atau tidak, tak boleh didorong paksa (untuk mundur) atau dilarang," ujar Mahfud.
Dia menegaskan bahwa menurut peraturan yang berlaku, Anwar Usman yang telah diberhentikan dari jabatan Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) tidak diwajibkan untuk mengundurkan diri dari jabatan sebagai Hakim MK. Menurutnya, sanksi yang dikenakan pada Anwar Usman karena dinyatakan melanggar kode etik sudah sesuai dengan ketentuan yang ada.
"Dari sudut pandang moral, itu menjadi masalah pribadi bagi Anwar Usman. Dia memiliki hak untuk mempertahankan diri dan mencari argumen yang mendukung. Namun, keputusan dari Majelis Kehormatan MK telah diputuskan, sudah menjadi keputusan final, dan prosesnya sedang berjalan. Tidak ada orang yang bisa memaksa Pak Anwar untuk mundur," katanya.
Mahfud MD juga menyarankan agar Anwar Usman yang merasa terfitnah untuk menyampaikan responsnya kepada MKMK yang telah menetapkan sanksi kode etik terhadapnya.
"Dia bisa langsung menyampaikan kepada pihak yang menjatuhkan keputusan (jika merasa difitnah)," ungkapnya.
Sebelumnya, mantan Ketua MK Anwar Usman merasa dirugikan oleh tuduhan yang dianggapnya sebagai fitnah, terutama dalam penanganan kasus Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang berkaitan dengan syarat usia minimal untuk calon presiden dan calon wakil presiden.
Pada hari Selasa (7/11/2023), MKMK menyimpulkan bahwa Anwar Usman terbukti tidak optimal dalam menjalankan tugas kepemimpinannya dan disengaja membuka peluang bagi campur tangan pihak eksternal dalam proses pengambilan keputusan kasus Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Anwar dinyatakan bersalah dalam melanggar kode etik dan perilaku yang seharusnya dimiliki oleh seorang hakim konstitusi. Sebagai konsekuensinya, Anwar dijatuhi sanksi berupa pemecatan dari jabatannya sebagai Ketua MK.
"Memberlakukan sanksi pemecatan dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi terhadap hakim yang bersangkutan," ucap Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie saat membacakan amar putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, Selasa (7/11/2023).
Lihat Juga: Menteri Rosan Harap Investasi ke Indonesia Meningkat usai Donald Trump Menangi Pilpres AS 2024
(kri)