Santri Perlu Dibekali Keterampilan Teknologi untuk Kawal NKRI
loading...
A
A
A
JAKARTA - Undang-Undang Nomor 18 Tahun 19 tentang Pesantren merupakan wujud pengakuan negara atas keberadaan pondok pesantren (ponpes) sebagai salah satu lembaga pendidikan di Indonesia. Pengakuan ini selayaknya ditindaklanjuti dengan mendukung pengembangan dan kemajuan pesantren.
Ketua Rabithah Ma'ahid Islamiyah Penguru Besar Nahdlatul Ulama (RMI-PBNU) KH Hodri Ariev mengatakan, ketika mendukung pengembangan pesantren, pemerintah pemerintah sedang membantu pendidikan anak-anak bangsa Indonesia. Sebab, santri yang dihasilkan pesantren juga merupakan bagian dari elemen generasi bangsa.
"Undang-Undang Pesantren merupakan wujud pengakuan resmi negara terhadap pesantren-pesantren Indonesia. Padahal di masa lalu, pesantren bukan hanya tidak diakui, tetapi juga dipinggirkan oleh penguasa. Rekognisi atas pesantren ini tentu menjadi salah satu entry point bagi pemerintah untuk mendukung pengembangan dan kemajuan pesantren di Indonesia," kata Kiai Hodri di Jakarta, Rabu (25/10/2023).
Menurutnya, rekognisi negara ini harus diterjemahkan dalam program yang melibatkan semua kementerian terkait untuk memenuhi kebutuhan pesantren demi kemajuan bangsa. Tanpa upaya menuangkannya ke dalam bentuk program, UU Pesantren hanya akan indah di atas kertas dan dikhawatirkan akan kehilangan relevansinya.
Di era disrupsi informasi seperti sekarang ini, kata Kiai Hodri, para santri juga perlu dibekali keterampilan teknologi yang dapat mendukung penerapan ilmu agamanya. Para santri diharapkan mampu memilah berbagai informasi di internet dengan jernih dengan melakukan analisis terlebih dahulu sebelum menentukan pendapatnya.
"Pada materi pembelajaran tafsir hadits, ada disiplin ilmu yang bernama musthalahul hadits. Disiplin ilmu ini membuat para santri terlatih untuk memahami segala sumber pemberitaan yang datang, apakah itu berita yang shahih (memiliki dasar yang kuat dan sumber yang terpercaya) atau maudhu (berdasar atau bersumber dari kedustaan),” kata Kiai Hodri.
Dengan bekal ilmu agama yang dimiliki, seorang santri diharapkan mampu bersikap bijak jika menemukan berita yang muatannya diragukan. Karakter santri yang ideal ditunjukkan dengan ketegarannya dalam menghadapi bujuk rayu ideologi transnasional.
"Saya tidak khawatir para santri akan terbawa pesan-pesan para teroris. InsyaAllah mereka sudah cukup kuat untuk melawan godaan radikalisme maupun terorisme," ujar Kiai Hodri.
Ia menjelaskan, ideologi transnasional sendiri seringkali datang dalam berbagai bentuk. Bentrokan antara Palestina dan Israel pun tidak lepas dari muatan-muatan yang digagas oleh para kaum radikal untuk menunggangi isu tersebut. Penjajahan Israel atas Palestina yang sebetulnya merupakan isu kemanusiaan, menjadi sarat dengan jargon-jargon agama yang dipaksakan masuk untuk memuluskan hasrat kelompoknya.
Terkait meningkatnya eskalasi konflik Palestina-Israel, pemerintah perlu mewaspadai adanya penumpang gelap yang biasanya memanfaatkan konflik politik dengan framing agama. Konflik ini sangat kompleks dan rumit, sehingga terkadang sulit bagi kalangan awam untuk membedakan apakah ini murni konflik agama atau sebenarnya konflik politik.
"Kompleksitas masalah ini menempatkan ikhtiar-ikhtiar untuk mencari resolusi konflik pada posisi yang tidak mudah, karena usaha-usaha menjelaskan konflik sebagai konflik politik lebih mudah dicurigai dan dituduh pro-zionis," ujar Kiai Hodri.
Ia mengingatkan demi mencari resolusi konflik, bangsa Indonesia harus kembali pada pesan luhur agama, yakni untuk mewujudkan perdamaian. Musuh agama dan ancaman yang sebenarnya adalah kezaliman terhadap kemanusiaan.
"Dengan demikian, kita perlu mengurai konflik ini dengan pendekatan kemanusiaan, perdamaian, dan agama sebagai rujukan moral dalam usaha memahami konflik yang ada dan terus berusaha mencari jalan keluar atas masalah yang terjadi," katanya.
Kiai Hodri berharap para santri Indonesia dapat merekontekstualisasi semangat jihad yang diharapkan dapat berkontribusi bagi kemajuan NKRI di masa yang akan datang.
"Sesuai dengan makna jihad itu sendiri, para santri perlu melaksanakannya secara kontekstual dan sesuai dengan konteksnya. Jihad di masa perang adalah dengan mengangkat senjata. Jihad saat ini adalah dengan memiliki kesungguhan dalam belajar dan meningkatkan kompetensi diri, berkontribusi pada pemberdayaan masyarakat serta memberikan sumbangsihnya bagi pesantren, NU, bangsa, dan negara," kata Kiai Hodri.
Ketua Rabithah Ma'ahid Islamiyah Penguru Besar Nahdlatul Ulama (RMI-PBNU) KH Hodri Ariev mengatakan, ketika mendukung pengembangan pesantren, pemerintah pemerintah sedang membantu pendidikan anak-anak bangsa Indonesia. Sebab, santri yang dihasilkan pesantren juga merupakan bagian dari elemen generasi bangsa.
"Undang-Undang Pesantren merupakan wujud pengakuan resmi negara terhadap pesantren-pesantren Indonesia. Padahal di masa lalu, pesantren bukan hanya tidak diakui, tetapi juga dipinggirkan oleh penguasa. Rekognisi atas pesantren ini tentu menjadi salah satu entry point bagi pemerintah untuk mendukung pengembangan dan kemajuan pesantren di Indonesia," kata Kiai Hodri di Jakarta, Rabu (25/10/2023).
Menurutnya, rekognisi negara ini harus diterjemahkan dalam program yang melibatkan semua kementerian terkait untuk memenuhi kebutuhan pesantren demi kemajuan bangsa. Tanpa upaya menuangkannya ke dalam bentuk program, UU Pesantren hanya akan indah di atas kertas dan dikhawatirkan akan kehilangan relevansinya.
Di era disrupsi informasi seperti sekarang ini, kata Kiai Hodri, para santri juga perlu dibekali keterampilan teknologi yang dapat mendukung penerapan ilmu agamanya. Para santri diharapkan mampu memilah berbagai informasi di internet dengan jernih dengan melakukan analisis terlebih dahulu sebelum menentukan pendapatnya.
"Pada materi pembelajaran tafsir hadits, ada disiplin ilmu yang bernama musthalahul hadits. Disiplin ilmu ini membuat para santri terlatih untuk memahami segala sumber pemberitaan yang datang, apakah itu berita yang shahih (memiliki dasar yang kuat dan sumber yang terpercaya) atau maudhu (berdasar atau bersumber dari kedustaan),” kata Kiai Hodri.
Dengan bekal ilmu agama yang dimiliki, seorang santri diharapkan mampu bersikap bijak jika menemukan berita yang muatannya diragukan. Karakter santri yang ideal ditunjukkan dengan ketegarannya dalam menghadapi bujuk rayu ideologi transnasional.
"Saya tidak khawatir para santri akan terbawa pesan-pesan para teroris. InsyaAllah mereka sudah cukup kuat untuk melawan godaan radikalisme maupun terorisme," ujar Kiai Hodri.
Ia menjelaskan, ideologi transnasional sendiri seringkali datang dalam berbagai bentuk. Bentrokan antara Palestina dan Israel pun tidak lepas dari muatan-muatan yang digagas oleh para kaum radikal untuk menunggangi isu tersebut. Penjajahan Israel atas Palestina yang sebetulnya merupakan isu kemanusiaan, menjadi sarat dengan jargon-jargon agama yang dipaksakan masuk untuk memuluskan hasrat kelompoknya.
Terkait meningkatnya eskalasi konflik Palestina-Israel, pemerintah perlu mewaspadai adanya penumpang gelap yang biasanya memanfaatkan konflik politik dengan framing agama. Konflik ini sangat kompleks dan rumit, sehingga terkadang sulit bagi kalangan awam untuk membedakan apakah ini murni konflik agama atau sebenarnya konflik politik.
"Kompleksitas masalah ini menempatkan ikhtiar-ikhtiar untuk mencari resolusi konflik pada posisi yang tidak mudah, karena usaha-usaha menjelaskan konflik sebagai konflik politik lebih mudah dicurigai dan dituduh pro-zionis," ujar Kiai Hodri.
Ia mengingatkan demi mencari resolusi konflik, bangsa Indonesia harus kembali pada pesan luhur agama, yakni untuk mewujudkan perdamaian. Musuh agama dan ancaman yang sebenarnya adalah kezaliman terhadap kemanusiaan.
"Dengan demikian, kita perlu mengurai konflik ini dengan pendekatan kemanusiaan, perdamaian, dan agama sebagai rujukan moral dalam usaha memahami konflik yang ada dan terus berusaha mencari jalan keluar atas masalah yang terjadi," katanya.
Kiai Hodri berharap para santri Indonesia dapat merekontekstualisasi semangat jihad yang diharapkan dapat berkontribusi bagi kemajuan NKRI di masa yang akan datang.
"Sesuai dengan makna jihad itu sendiri, para santri perlu melaksanakannya secara kontekstual dan sesuai dengan konteksnya. Jihad di masa perang adalah dengan mengangkat senjata. Jihad saat ini adalah dengan memiliki kesungguhan dalam belajar dan meningkatkan kompetensi diri, berkontribusi pada pemberdayaan masyarakat serta memberikan sumbangsihnya bagi pesantren, NU, bangsa, dan negara," kata Kiai Hodri.
(abd)