Mengkompensasi Pendidikan Anak dengan Uang

Rabu, 19 Juli 2017 - 23:30 WIB
Mengkompensasi Pendidikan Anak dengan Uang
Mengkompensasi Pendidikan Anak dengan Uang
A A A
JAKARTA - Di kota besar seperti Jakarta, jamak kita melihat anak-anak orang kaya, berasal dari keluarga berpendidikan, menunjukkan perilaku yang menyimpang dari kebanyakan. Mereka tidak begitu minat dengan pendidikan formal, senang menyendiri di dalam kamar, enggan berbicara dengan orang lain, termasuk orang tuanya.

Mereka seolah tenggelam dalam dunianya sendiri, bersikap semaunya, tidak peduli dengan lingkungan, dan menganggap sekolah atau pendidikan formal merupakan hal yang tidak begitu penting. Bahkan guru yang semestinya adalah seseorang yang dihormati malah diabaikan.

Salah seorang guru di sekolah swasta ternama di bilangan Jakarta Selatan, Indra L sering mengeluhkan kondisi anak didiknya. Membolos, membuat keributan di kelas, tidak mengerjakan tugas adalah beberapa contoh perilaku yang sering dilakukan para siswa. Tidak henti-hentinya dia memberikan peringatan, termasuk melibatkan guru Bimbingan Konseling (BK), tapi tetap saja siswa melakukan hal sama.

"Memanggil orang tua juga sudah kami lakukan, tapi ternyata ya begitu-begitu saja," kata Indra saat ngobrol dengan SINDOnews, Rabu (19/7/2017).

Yang cukup ironis adalah tindakan tegas, semisal menghukum, memberikan nilai jelek, tidak menaikan kelas, atau mengeluarkan siswa, tidak bisa dilakukan. Manajemen sekolah meminta para pengajar sebisa mungkin memberikan nilai yang cukup agar naik kelas bagaimana pun kondisi siswa.

"Alasannya, mereka (orang tua/wali murid) sudah membayar mahal untuk sekolah," ungkap guru senior ini.

Seperti kita ketahui, tidak sedikit uang yang harus dikeluarkan untuk masuk ke sekolah swasta ternama, bisa mencapai puluhan juta rupiah. Bahkan uang bulanan (SPP) bukan lagi ratusan ribu, tapi jutaan rupiah. Belum lagi uang praktikum dan kegiatan ekstra lain yang tentu jumlahnya tidak sedikit. Dengan alasan sudah membayar mahal, para orang tua menganggap sekolah lah yang berkewajiban membimbing anaknya hingga pintar dan menjadi orang baik. Mereka tak segan melaporkan guru ke manajemen karena memberikan hukuman kepada anaknya. Akhirnya manajemen menegur guru tersebut.

Cerita lain disampaikan guru privat anak orang kaya di kawasan Jakarta Pusat, Purwaningrum. Sang orang tua yang lulusan universitas luar negeri memilih Home Schooling setelah anaknya mogok sekolah. Padahal mereka telah mengeluarkan uang puluhan juta rupiah agar anaknya bisa masuk ke sekolah swasta ternama.

Menurut Purwaningrum, saat ini anak tersebut pendiam, susah diajak bicara, apalagi belajar. Dia betah berlama-lama di dalam kamar hanya dengan bermain gadget. Dan itu bisa berlangsung berhari-hari. Makan pun harus diantar ke dalam kamar. "Tidurnya tidak tentu. Kadang dini hari, kadang pagi, siang, petang," tutur Purwaningrum.

Perilaku ini mulai muncul setelah anak tersebut mengetahui keretakan hubungan ayah-ibunya. Ditambahkan lagi dia sering melihat ayahnya bersama wanita lain dan ibunya bersama pacar barunya. Meski saat ini orang tuanya masih tinggal dalam satu rumah, tapi dia mengetahui bahwa keduanya tidak lagi bersama. "Ini adalah yang buruk bagi anak. Saya sampai bingung bagaimana membimbing anak itu agar mau belajar," kata Purwaningrum.

Contoh perilaku di atas mengonfirmasi pernyataan David Puttnam, produser film dan edukator asal Inggris, bahwa emosional yang tidak stabil banyak terlihat pada anak-anak dari keluarga kaya dibanding anak keluarga miskin. "Anda periksa dan catat data dari sejumlah sekolah privat mahal dan universitas paling bergengsi. Anda akan mendengar dan melihat bahwa masalah gangguan masalah mental akan terus bergulir di sana," kata Puttnam kepada Sunday Times, Februari 2017 silam.

Senada juga disampaikan profesor psikologi Arizona State University, Suniya Luthar. Menurutnya, anak dari orang tua dengan penghasilan minimal 100.000 poundsterling (Rp1,7 miliar) berpotensi merasa kesepian dan tidak stabil secara emosional. Ada beberapa penyebab munculnya masalah tersebut. Antara lain, tekanan sosial terhadap anak agar lebih sukses, kurang perhatian dan arahan dalam fase tumbuh kembang, dan kehadiran media sosial.

"Kurangnya empati orang tua yang tidak tertarik pada kehidupan anak-anaknya menyebabkan mereka berlebih pada media sosial," katanya.

Psikolog asal Semarang, Probowatie Tjondronegoro membenarkan bahwa kondisi tersebut banyak dialami oleh anak-anak yang berasal dari keluarga berada. Tidak hanya di Jakarta, tapi juga kota-kota lain di Indonesia. Menurutnya, ada salah persepsi orang tua bahwa sekolah bertanggung jawab menjadikan anaknya pintar dan berlaku baik karena telah membayar mahal. Padahal untuk membentuk mental anak dibutuhkan peran orang tua dari kecil hingga besar. "Harus terjadi segi tiga komunikasi antara orang tua, sekolah, dan anak itu sendiri," katanya.

Sesibuk apapun orang tua, mereka tidak boleh putus komunikasi dengan anak. Peran ibu dan ayah di rumah tetap harus dilakukan meski waktunya terbatas. Sebab, tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan sosok orang tua bagi anak. "Yang penting kualitas, ajak anak-anak ngobrol, anggap mereka sebagai teman," tutur Probowatie.

Sudah saat orang tua menyadari bahwa mereka lah yang membentuk karakter anaknya sendiri. Jangan pernah bosan untuk berkomunikasi dengan mereka, ajari mereka sopan santun dan disiplin sejak dini, dan terus arahkan mereka ke hal-hal yang baik. Sekolah juga harus bersikap tegas terhadap anak-anak yang melanggar aturan sebagai bagian dari bimbingan terhadap anak didik. "Kalau memang harus tidak naik kelas ya, harus dilakukan," katanya.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5103 seconds (0.1#10.140)