Buang Stigma Negatif! Profesi Bidan Vital Bagi Kesehatan Ibu dan Anak

Sabtu, 23 September 2023 - 00:14 WIB
loading...
Buang Stigma Negatif! Profesi Bidan Vital Bagi Kesehatan Ibu dan Anak
Bidan memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus dalam merawat ibu hamil, persalinan, dan pascapersalinan. Foto: Ist
A A A
JAKARTA - Stigma negatif terhadap profesi bidan masih menjadi masalah serius yang mengancam sistem perawatan kesehatan di Indonesia, terutama dalam menjaga kesehatan ibu dan bayi .

Salah satu pandangan yang keliru adalah menganggap bidan kurang berkualifikasi dibandingkan dokter, padahal bidan memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus dalam merawat ibu hamil, persalinan, dan pascapersalinan.

Mitos-mitos seperti "bidan tidak kompeten" atau "praktik bidan tidak aman" kerap menghalangi masyarakat untuk mencari perawatan kesehatan dari bidan, padahal kenyataannya bidan adalah profesional yang berlatih dengan ketat untuk memberikan pelayanan aman dan berkualitas.



Stigma terhadap bidan juga memiliki dampak negatif pada kesejahteraan mental dan profesionalisme mereka. Mereka mungkin merasa tidak dihormati atau diabaikan atas pekerjaan mereka yang dapat mengganggu pelayanan kesehatan.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 336.984 bidan di Indonesia pada 2022. Jumlahnya naik 16,73 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 288.686 bidan. Di Jawa Barat, jumlah bidan sebanyak 33.046 orang.

Untuk Bandung Raya memiliki sekitar 1.500 bidan yang aktif dalam berbagai kapasitas. Meskipun jumlah ini cukup besar, masih diperlukan peningkatan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan yang terus berkembang.

Bidan Neng Ira, salah satu bidan di Kabupaten Bandung Barat menceritakan pengalaman saat dirinya bekerja sebagai bidan. “Amanah seorang bidan itu sangat berat, bukan hanya perkara dunia tapi juga akhirat. Bidan itu dekat dengan hal-hal yang sebenarnya sangat ingin dihindari seperti aborsi ataupun kematian ibu hamil dan bayi,” ujar Ira.

Bagi Neng Ira, hal-hal seperti itu juga yang menuntut bidan memiliki keimanan dan karakter kuat. Bukan hanya mental dan fisik yang dibutuhkan dalam proses persalinan, namun dari dalam diri seorang bidan harus tertanam nilai-nilai keagamaan sehingga jauh dari hal-hal yang menjerumuskan bidan dan pasien ke dalam dosa.

“Mendengar tangisan bayi saat lahiran adalah kebahagiaan saya. Tangisan bayi itu kebahagiaan. Saya merasa berguna sekali,” lanjutnya.

Menurut dia, jika memberikan pelayanan dengan berlandaskan cinta kasih merupakan hal yang ingin dilakukan oleh setiap bidan termasuk dirinya.

Ikatan Bidan Indonesia wilayah Jawa Barat, menjadi rumah yang mewadahi ribuan bidan di Bandung Raya telah berperan besar dalam membangun jaringan perawatan kesehatan yang kuat. Mereka memberikan dukungan, pelatihan, dan panduan kepada anggotanya untuk menjaga kualitas perawatan yang tinggi.

Hal ini menjadi sangat penting karena bidan kerap bekerja di daerah-daerah terpencil di mana akses ke layanan kesehatan mungkin terbatas.

Ketua Ikatan Bidan Jawa Barat Eva Riantini mengatakan, terus berjuang untuk mengakui peran penting bidan dalam sistem perawatan kesehatan dan memastikan bahwa bidan mendapatkan pengakuan yang pantas atas kontribusi mereka. Upaya ini mencakup peningkatan regulasi, standar, dan peluang karier bagi bidan.

“IBI Jabar menjadi tempat untuk para bidan berkesempatan berbagi pengalaman, belajar dari satu sama lain, dan mendukung dalam situasi yang mungkin sulit. Ini tidak hanya memperkuat persaudaraan antarbidan, tetapi juga meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap profesi mereka,” ungkap Eva.

IBI Jabar adalah sumber daya, penghubung, dan advokat bagi para profesional yang tak kenal lelah menjaga kesehatan ibu dan bayi di negeri ini. “Melalui kerja keras IBI, perawatan ibu dan bayi di Indonesia, terutama di Bandung Barat dapat terus meningkat dan berjalan menuju masa depan yang lebih cerah,” ujarnya.

Baginya, bidan mempunyai peran dalam membantu masyarakat mengenali masalah gizi dan kesehatan di wilayahnya serta menentukan prioritas intervensi gizi dan kesehatan, mendampingi masyarakat untuk mengenali potensi pendukung gizi dan kesehatan di wilayahnya, sehingga tercipta inovasi daerah yang memanfaatkan kearifan lokal.

“Selain memberikan pelayanan kebidanan, para bidan juga berperan dalam mengelola pelayanan, menjadi penyuluh dan konselor, pendidik, pembimbing dan fasilitator klinik, penggerak serta ikut serta dalam usaha pemberdayaan masyarakat," kata Eva.

Salah satu tantangan utama yang dihadapi bidan adalah menyampaikan edukasi dengan cara yang mudah dipahami dan dapat diterima oleh masyarakat. Menurut Eva, di wilayah Bandung Raya hingga saat ini masyarakatnya masih kurang menyadari dampak buruk dari konsumsi gula berlebihan terhadap kesehatan.

“Gula tambahan dalam makanan dan minuman, seperti kental manis yang diseduh, minuman boba, donut gula, dan masih banyak lainnya kerap tidak terlihat oleh mata telanjang. Inilah yang membuatnya semakin sulit untuk disadari individu,” ujarnya.

Ketua Bidang Advokasi Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia Yuli Supriati menambahkan upaya mengatasi masalah konsumsi kental manis yang berlebih memerlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan pemerintah, produsen, dan masyarakat umum.

“Pemerintah harus mengadopsi regulasi yang lebih ketat terkait pelabelan nutrisi dan iklan mengenai kental manis yang tidak seharusnya dikonsumsi sebagai pengganti susu bagi anak. Produsen juga perlu berperan aktif dalam mengurangi gula tambahan dalam produk mereka dan mengedukasi konsumen tentang pentingnya mengurangi konsumsi gula,” katanya.

Dengan upaya bersama dari berbagai pihak, dia berharap sulitnya edukasi terkait konsumsi kental manis di masyarakat dapat diatasi. Ini akan menjadi langkah penting menuju masyarakat yang lebih sehat dan sadar akan pentingnya mengendalikan konsumsi gula dalam upaya menjaga kesehatan mereka.
(jon)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1418 seconds (0.1#10.140)