Cerita Jenderal Besar TNI Menjaga Stabilitas ASEAN, Otak di Balik Perdamaian Filipina
loading...
A
A
A
Fidel Ramos ingin mengedepankan proses perdamaian dalam penyelesaian masalah tersebut, sehingga membutuhkan dukungan para pemimpin ASEAN. "Saya sampaikan hal itu kepada Pak Harto, Beliau mendukung isu perdamaian yang saya sampaikan," tuturnya.
Berbekal dukungan dari saudara tua, Fidel Ramos kemudian melakukan pendekatan dengan pemimpin Libya, Muammar Khadafi yang memiliki pengaruh kuat terhadap gerakan MNLF. Khadafi pun menyambut baik proses perdamaian di Filipina Selatan dan menyarankan agar pemerintah Filipina dan MNLF bertemu di tempat netral.
Dengan difasilitasi Soeharto, pertemuan pemerintah Filipina dan MNLF akhirnya dilaksanakan di Istana Cipanas, Jawa Barat, 14-17 April 1993. Perundingan yang dihadiri seluruh faksi yang bertikai itu membuahkan kesepakatan damai.
"Perundingan itu membuahkan sejarah besar bagi kami bangsa Filipina. Mempersatukan kembali bangsa kami yang beragam dalam naungan kesatuan nasional Filipina," kata Fidel Ramos.
Presiden Soeharto menerima kunjungan PM Singapura Lee Kuan Yew di Istana Negara Jakarta pada 25 Mei 1973. FOTO REPRO/KOLEKSI MUSEUM PURNA BHAKTI PERTIWI
Cerita lain dituturkan Perdana Menteri Singapura (periode 1959–1990), Lee Kuan Yew. Ketika Phnom Penh (Ibu Kota Kamboja) dan Saigon (sekarang bernama Ho Chi Minh City, ibu kota Vietnam) jatuh pada 1975, beberapa negara regional buru-buru mengakui Indochina (pemerintah komunis Vietnam dan Khmer Merah di Kamboja). Namun Soeharto menyampaikan kepada Lee Kuan Yew bahwa ASEAN melanjutkan kebijakan yang berbeda terhadap persoalan Indochina.
Menurut Lee Kuan Yew, Soeharto menciptakan suatu era stabilitas yang membangkitkan keyakinan internasional di wilayah ASEAN dan membuatnya atraktif untuk investasi asing serta mendorong kegiatan ekonomi.
"Pada saat itu, perkembangan ekonomi penting untuk menjaga wilayah ini dari ketidakpuasan dalam negeri yang dapat mendorong terciptanya pro-komunis," katanya.
Sebagai negara besar di kawasan, kata Lee Kuan Yew, Indonesia di bawah Presiden Soeharto, tidak menjadi negara hegemoni, tidak bersikeras terhadap pandangan sendiri, dan mempertimbangkan kepentingan negara lain di ASEAN.
"Sikap ini membuat Indonesia diterima oleh anggota ASEAN lain sebagai the first among equals atau yang terutama di antara yang sederajat, dan memungkinkan ASEAN berkonsolidasi di tengah saat-saat tidak menentu dan bergejolak," katanya.
Berbekal dukungan dari saudara tua, Fidel Ramos kemudian melakukan pendekatan dengan pemimpin Libya, Muammar Khadafi yang memiliki pengaruh kuat terhadap gerakan MNLF. Khadafi pun menyambut baik proses perdamaian di Filipina Selatan dan menyarankan agar pemerintah Filipina dan MNLF bertemu di tempat netral.
Dengan difasilitasi Soeharto, pertemuan pemerintah Filipina dan MNLF akhirnya dilaksanakan di Istana Cipanas, Jawa Barat, 14-17 April 1993. Perundingan yang dihadiri seluruh faksi yang bertikai itu membuahkan kesepakatan damai.
"Perundingan itu membuahkan sejarah besar bagi kami bangsa Filipina. Mempersatukan kembali bangsa kami yang beragam dalam naungan kesatuan nasional Filipina," kata Fidel Ramos.
Presiden Soeharto menerima kunjungan PM Singapura Lee Kuan Yew di Istana Negara Jakarta pada 25 Mei 1973. FOTO REPRO/KOLEKSI MUSEUM PURNA BHAKTI PERTIWI
Cerita lain dituturkan Perdana Menteri Singapura (periode 1959–1990), Lee Kuan Yew. Ketika Phnom Penh (Ibu Kota Kamboja) dan Saigon (sekarang bernama Ho Chi Minh City, ibu kota Vietnam) jatuh pada 1975, beberapa negara regional buru-buru mengakui Indochina (pemerintah komunis Vietnam dan Khmer Merah di Kamboja). Namun Soeharto menyampaikan kepada Lee Kuan Yew bahwa ASEAN melanjutkan kebijakan yang berbeda terhadap persoalan Indochina.
Menurut Lee Kuan Yew, Soeharto menciptakan suatu era stabilitas yang membangkitkan keyakinan internasional di wilayah ASEAN dan membuatnya atraktif untuk investasi asing serta mendorong kegiatan ekonomi.
"Pada saat itu, perkembangan ekonomi penting untuk menjaga wilayah ini dari ketidakpuasan dalam negeri yang dapat mendorong terciptanya pro-komunis," katanya.
Sebagai negara besar di kawasan, kata Lee Kuan Yew, Indonesia di bawah Presiden Soeharto, tidak menjadi negara hegemoni, tidak bersikeras terhadap pandangan sendiri, dan mempertimbangkan kepentingan negara lain di ASEAN.
"Sikap ini membuat Indonesia diterima oleh anggota ASEAN lain sebagai the first among equals atau yang terutama di antara yang sederajat, dan memungkinkan ASEAN berkonsolidasi di tengah saat-saat tidak menentu dan bergejolak," katanya.