Menata Industri Penyiaran yang Sedang Berubah

Sabtu, 18 Maret 2017 - 09:40 WIB
Menata Industri Penyiaran yang Sedang Berubah
Menata Industri Penyiaran yang Sedang Berubah
A A A
Tomi Satryatomo
Praktisi Penyiaran

FAIZ (22), dengan bangga menyematkan sebutan sebagai: video content producer dalam curriculum vitae-nya. Meski masih kuliah, ia sudah punya sejumlah klien komersial, baik perusahaan maupun BUMN. Tiap hari ia menonton aneka video, untuk memperkaya referensi visualnya. Tapi kapan terakhir Faiz menonton siaran TV nasional? Ia tertegun sejenak. Lama ia tepekur. “Lupa,” katanya.

Nata (19), juga hampir tiap hari menonton video. Sumbernya bisa macam-macam. Favoritnya adalah Instagram stories, yang menyajikan rekaman maupun siaran langsung video dari pengguna situs berbagi foto dan video yang paling populer ini. Sering juga ia menonton YouTube, atau kadang video-video pendek dari messaging services seperti WhatsApp. Kapan Nata terakhir menyaksikan siaran TV nasional? Dahinya berkerut. “Kapan ya? Aku gak pernah nonton TV lagi semenjak bisa nonton apa aja dan bisa dapet info lebih banyak dari HP.”

Faiz dan Nata mencerminkan perilaku konsumsi konten video pemirsa di Indonesia yang berubah, terutama di kalangan remaja (8-15 tahun), anak muda (16-24 tahun), dan dewasa muda (25-35 tahun).

Di AS, riset Accenture Digital Consumer Survey (2015) menunjukkan kepenontonan (viewer­ship) kelompok umur tersebut di atas, terhadap siaran TV reguler (live TV) terus turun secara signifikan, dari tahun ke tahun. Di Indonesia belum ada riset serupa, tapi observasi di sekeliling kita mengisyaratkan gejala serupa.

Indikator sederhana, harga TV set berukuran 32-43 inci lebih murah daripada harga telepon seluler. Selain itu, di mana-mana kita melihat jauh lebih banyak orang menonton konten video sambil jalan (on the go) ketimbang duduk manis di depan layar televisi di rumah sebagaimana yang dilakukan keluarga-keluarga Indonesia 10-15 tahun yang lalu. Perkembangan teknologi telepon seluler, meledaknya penggunaan media sosial, kualitas jaringan seluler yang makin baik dan harga perangkat maupun konektivitas yang makin murah berkontribusi mengubah pola konsumsi konten video ini.

Dalam bahasa yang lebih teknis, reach (jangkauan) maupun stickiness (lama menonton) televisi terestrial nasional maupun lokal kini makin digantikan oleh penyiaran berbasis online maupun media sosial, baik siaran rekaman maupun siaran langsung. Jika dulu, broadcaster adalah profesi yang elite, kini praktis setiap orang yang memegang ponsel bisa menjadi produsen sekaligus konsumen konten video. Satu siaran bisa ditonton oleh banyak orang (one to many) atau oleh satu orang yang lain (one to one).

Dulu, menyelenggarakan siaran langsung membutuhkan peralatan seabreg, belum lagi perangkat siaran melalui satelit, orang-orang dengan keterampilan khusus dan tentu saja biaya yang sangat mahal per menit. Kini, siaran langsung dengan kualitas HD bisa dilaku­kan kapan pun, di mana pun, oleh siapapun asalkan ponsel dan jaringan selulernya memadai, semudah menekan tombol dengan ujung jari.

Pilihan tontonan menjadi luar biasa banyak. Mulai dari online TV yang jumlahnya beragam dan kualitasnya makin bagus, layanan video streaming berlangganan seperti NetFlix, iFlix, dan layanan sejenis, hingga layanan video media sosial seperti YouTube, Vimeo, Bligo, Facebook.

Dampaknya mulai terasa pada pendapatan iklan televisi. Jika pada tahun-tahun sebelumnya pendapatan iklan TV terestrial selalu menunjukkan tren tumbuh, mulai 2014 tingkat pertumbuhan tersebut sudah mulai turun dan pada tahun 2016 nilainya sama dengan pendapatan iklan tahun 2015 alias stagnan.

Di sisi lain, pertumbuhan iklan untuk media online maupun media sosial tumbuh pesat walaupun nilainya belum menyamai nilai iklan untuk TV. Salah satu pemilik TV bahkan menyatakan industri televisi di Indonesia khususnya terestrial, yang sepenuhnya mengandalkan pendapatan pada iklan, sudah memasuki masa senja (sunset). Ia memperkirakan dalam lima tahun pendapatan iklan online akan sudah melampaui pendapatan iklan TV.

Dalam situasi seperti ini, apakah stasiun TV terestrial masih punya masa depan dan masih relevan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia? Pada saat ini stasiun-stasiun TV swasta nasional maupun lokal tengah bersiap untuk bermigrasi dari siaran frekuensi analog menjadi digital. Tapi prosesnya masih terkendala oleh peraturan yang belum sepenuhnya bisa dilaksanakan. Ada juga faktor ketidaksiapan perangkat baik di sisi penyiaran maupun di sisi rumah-rumah tangga pemirsa televisi.

Dalam masa transisi ini, kita melihat TV online justru tumbuh subur, dalam pengertian jumlah penyelenggara siaran walaupun belum diketahui bagaimana pendapatan iklan dan kesehatan keuangannya. Muncul juga siaran-siaran TV berbasis media sosial seperti YouTube yang diselenggarakan oleh individu-individu atau tim kecil dengan peralatan relatif sederhana, tapi menarik jumlah pemirsa yang cukup besar sehingga bisa menghasilkan pendapatan iklan yang lumayan besar bagi produser-produser perorangan ini. Saking menariknya, praktis sekarang hampir semua brand komersial punya kanal khusus di YouTube. Kualitas produksi mereka sering tak kalah atau bahkan lebih baik dibanding kualitas produksi stasiun televisi swasta.

Ini memperkuat pertanyaan tentang apakah stasiun TV swasta nasional maupun lokal masih relevan? Secara statistik maupun secara kasat mata kita bisa melihat jumlah pemirsa televisi masih sangat besar dengan tingkat penetrasi di atas 90% di seluruh Indonesia. Tapi kalau kita selisik lebih dalam, kita menemukan bahwa sebagian besar penonton berasal dari kelas menengah ke bawah yang relatif tidak punya alternatif hiburan lain. Sedangkan kelompok menengah ke atas dan berpendidikan cenderung mencari hiburan lain termasuk dari perangkat seluler.

Kalaupun mereka menonton siaran TV nasional, mereka menontonnya dari perangkat bergerak mereka, sehingga mereka bisa menonton siaran TV kapan pun, di mana pun. Media terkemuka di Inggris The Guardian menyebut fenomena ini sebagai place shifting dan menjulukinya sebagai fase ke enam perkembangan industri TV.

Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Dr Ishadi SK mengatakan dalam wawancara dengan American Chamber of Commerce (AmCham) Indonesia, Agustus 2016, “Melihat lanskap televisi di Indonesia, tak satupun ingin berinvestasi dalam stasiun televisi. Ini diperumit oleh aturan yang mengharuskan stasiun-stasiun televisi dievaluasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan jika mereka menemukan adanya pelanggaran izin stasiun-stasiun ini bisa dicabut. Harus diingat tidak ada yang mau menginvestasikan satu miliar dolar dalam perusahaan yang usianya hanya 10 tahun. Sebagian besar investasi mereka baru akan meraih keuntungan setelah 15 tahun.”

Di bagian lain dalam wawancara yang sama, Ishadi menyatakan, “Di negeri kita bisnis TV free to air sangat diatur sementara TV kabel dan digital tidak diatur.”

Tentu saja pemerintah dan DPR tetap harus meregulasi bisnis televisi termasuk penyelenggara siaran online maupun media sosial. Pertanyaannya bagaimana mengatur kanal-kanal distribusi video baru yang terus bermunculan berkat perkembangan teknologi maupun kebutuhan pasar? Lalu bagaimana juga meregulasi konten-konten video yang sekarang bebas diproduksi oleh individu manapun di kota maupun di desa di Jawa maupun di luar Pulau Jawa, dari Sabang sampai Merauke?

Hampir tidak mungkin pemerintah maupun DPR mengontrol kemajuan teknologi maupun kreativitas produksi konten. Yang perlu dilakukan adalah membuat koridor yang memungkinkan perkembangan teknologi dan kreativitas ini tumbuh ke arah yang sehat, menjadi produktif dan konstruktif sehingga bisa membuat bangsa ini maju. Di sisi lain, pemerintah dan DPR juga perlu membantu masyarakat menyaring konten-konten yang negatif, bersifat destruktif dan tidak memberi sumbangan bagi kemajuan bangsa.

Dalam konteks ini, gagasan untuk membuat Radio dan Televisi Republik Indonesia (RTRI) menjadi relevan sebagai inisiator maupun fasilitator bagi produksi konten-konten yang sehat. RTRI juga harus berperan mengisi kekosongan konten untuk segmen masyarakat maupun wilayah yang dianggap tidak cukup komersial oleh lembaga-lembaga penyiaran swasta.

Dengan demikian, harusnya RTRI pertama-tama tidak dipandang sebagai proyek membangun fasilitas penyiaran radio dan televisi yang cocok dengan perkembangan abad ini tapi harus diposisikan sebagai upaya pemerintah untuk mengembangkan industri kreatif konten yang sehat, baik isi maupun kesinambungan bisnisnya serta untuk memeratakan akses informasi bagi berbagai segmen masyarakat maupun wilayah di Indonesia.

Bagaimana model bisnisnya? Sebagai lembaga yang bertanggung jawab untuk memeratakan akses informasi, RTRI tentu harus didukung oleh pembiayaan dari anggaran pemerintah baik nasional maupun daerah. Namun, terbuka peluang bagi RTRI untuk mengomersialisasikan sebagian aset kontennya, misalnya dengan menghimpun, mematenkan dan kemudian melisensikan atau menjual IP Rights dari konten-konten yang diproduksi publik dan disiarkan oleh RTRI. Saya yakin masih banyak peluang untuk melakukan komersialisasi secara terbatas saat RTRI mendudukkan diri sebagai lembaga produksi dan distribusi konten.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5150 seconds (0.1#10.140)