Sepakat dengan Megawati, Bamsoet Ingin MPR Dikembalikan Jadi Lembaga Tertinggi Negara
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR ) Bambang Soesatyo (Bamsoet) menilai, MPR perlu dikembalikan menjadi lembaga tertinggi di negara ini.
Hal itu disampaikan Bamsoet dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR DPR DPD 2023 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat Rabu (16/8/2023).
Mulanya, Bamsoet menyinggung pelaksanaan pemilu dilakukan seiring dengan habisnya masa jabatan presiden, wakil presiden dan jajaran menteri. Hanya saja, Bamsoet merasa ada masalah bila terjadi keadaan darurat menjelang pemilu.
"Yang menjadi persoalan adalah, bagaimana sekiranya menjelang Pemilihan Umum terjadi sesuatu yang di luar dugaan kita bersama, seperti bencana alam yang dahsyat berskala besar, peperangan, pemberontakan, atau pandemi yang tidak segera dapat diatasi, atau keadaan darurat negara yang menyebabkan pelaksanaan pemilu tidak dapat diselenggarakan sebagaimana mestinya, tepat pada waktunya, sesuai perintah konstitusi? Maka secara hukum, tentunya tidak ada presiden dan/atau wakil presiden yang terpilih sebagai produk Pemilu," tutur Bamsoet.
Dalam keadaan itu akan timbul pertanyaan lembaga yang memiliki kewajiban mengatasi masalah itu. Bamsoet juga menyebut, tak ada aturan yang memberi kewenangan untuk menunda pelaksanaan pemilu.
"Bagaimana pengaturan konstitusionalnya jika pemilihan umum tertunda, sedangkan masa jabatan presiden, wakil presiden, anggota-anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta para menteri anggota kabinet telah habis?" ucap Bamsoet.
"Masalah-masalah seperti di atas belum ada jalan keluar konstitusionalnya setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Hal itu memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh dari kita semua sebagai warga bangsa," tambahnya.
Dalam kesempatan itu, Bamsoet menyinggung peran MPR di amendemen UUD 1945 sebelumnya. Saat itu MPR masih dapat menetapkan berbagai ketetapan yang bersifat pengaturan, untuk melengkapi kevakuman pengaturan di dalam konstitusi kita.
"Apakah setelah perubahan Undang-Undang Dasar, MPR masih memiliki kewenangan untuk melahirkan ketetapan-ketetapan yang bersifat pengaturan? Hal ini penting untuk kita pikirkan dan diskusikan bersama, demi menjaga keselamatan dan keutuhan kita sebagai bangsa dan negara," ucap Bamsoet.
Merujuk Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar, kata Bamsoet, MPR dapat diatribusikan dengan kewenangan subjektif superlatif dan kewajiban hukum, untuk mengambil keputusan atau penetapan-penetapan yang bersifat pengaturan guna mengatasi dampak dari suatu keadaan yang tidak dapat diantisipasi dan tidak bisa dikendalikan secara wajar.
"Idealnya memang, MPR RI dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana disampaikan Presiden ke-5 Republik Indonesia, Ibu Megawati Soekarnoputri saat Hari Jadi ke-58 Lemhannas tanggal 23 Mei 2023 yang lalu," tutur Bamsoet.
Hal itu disampaikan Bamsoet dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR DPR DPD 2023 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat Rabu (16/8/2023).
Mulanya, Bamsoet menyinggung pelaksanaan pemilu dilakukan seiring dengan habisnya masa jabatan presiden, wakil presiden dan jajaran menteri. Hanya saja, Bamsoet merasa ada masalah bila terjadi keadaan darurat menjelang pemilu.
"Yang menjadi persoalan adalah, bagaimana sekiranya menjelang Pemilihan Umum terjadi sesuatu yang di luar dugaan kita bersama, seperti bencana alam yang dahsyat berskala besar, peperangan, pemberontakan, atau pandemi yang tidak segera dapat diatasi, atau keadaan darurat negara yang menyebabkan pelaksanaan pemilu tidak dapat diselenggarakan sebagaimana mestinya, tepat pada waktunya, sesuai perintah konstitusi? Maka secara hukum, tentunya tidak ada presiden dan/atau wakil presiden yang terpilih sebagai produk Pemilu," tutur Bamsoet.
Dalam keadaan itu akan timbul pertanyaan lembaga yang memiliki kewajiban mengatasi masalah itu. Bamsoet juga menyebut, tak ada aturan yang memberi kewenangan untuk menunda pelaksanaan pemilu.
"Bagaimana pengaturan konstitusionalnya jika pemilihan umum tertunda, sedangkan masa jabatan presiden, wakil presiden, anggota-anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta para menteri anggota kabinet telah habis?" ucap Bamsoet.
"Masalah-masalah seperti di atas belum ada jalan keluar konstitusionalnya setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Hal itu memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh dari kita semua sebagai warga bangsa," tambahnya.
Dalam kesempatan itu, Bamsoet menyinggung peran MPR di amendemen UUD 1945 sebelumnya. Saat itu MPR masih dapat menetapkan berbagai ketetapan yang bersifat pengaturan, untuk melengkapi kevakuman pengaturan di dalam konstitusi kita.
"Apakah setelah perubahan Undang-Undang Dasar, MPR masih memiliki kewenangan untuk melahirkan ketetapan-ketetapan yang bersifat pengaturan? Hal ini penting untuk kita pikirkan dan diskusikan bersama, demi menjaga keselamatan dan keutuhan kita sebagai bangsa dan negara," ucap Bamsoet.
Merujuk Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar, kata Bamsoet, MPR dapat diatribusikan dengan kewenangan subjektif superlatif dan kewajiban hukum, untuk mengambil keputusan atau penetapan-penetapan yang bersifat pengaturan guna mengatasi dampak dari suatu keadaan yang tidak dapat diantisipasi dan tidak bisa dikendalikan secara wajar.
"Idealnya memang, MPR RI dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana disampaikan Presiden ke-5 Republik Indonesia, Ibu Megawati Soekarnoputri saat Hari Jadi ke-58 Lemhannas tanggal 23 Mei 2023 yang lalu," tutur Bamsoet.
(cip)