Wabah Korona dan Ironi Pembelajaran Jarak Jauh

Kamis, 30 Juli 2020 - 06:05 WIB
loading...
Wabah Korona dan Ironi Pembelajaran Jarak Jauh
Tulus Abadi
A A A
Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI

WABAH virus korona atau Covid-19 di seluruh penjuru dunia belum juga usai. Bahkan kasusnya terus eskalatif, kini lebih dari 600 ribuan nyawa manusia terenggut. Obat dan atau vaksin juga belum ditemukan, masih dalam proses uji klinis. Di Indonesia, wabah Covid-19 tak kurang telah menjangkiti lebih dari 95 ribuan orang dengan korban meninggal lebih dari 4.700an orang. Dengan fenomena demikian, aktivitas masyarakat di sektor apapun sejatinya belum aman, karena potensi terjangkiti Covid-19 masih sangat besar. Terbukti kasus positif dari berbagai klaster justru bermunculan, bahkan di perkantoran sekalipun. Oleh karenanya, implementasi Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), khususnya di kalangan anak didik SD hingga SMA adalah hal mutlak. Upaya ini bukan saja untuk melindungi anak didik dari cengkeraman Covid-19, tetapi sebagai upaya pengendalian wabah secara keseluruhan.

Namun, dalam praktik implementasi PJJ tak semudah seperti membalik telapak tangan, mengingat PJJ adalah hal sangat baru dan tiba-tiba. Semua pihak mengalami ketergagapan, bukan hanya orang tua dan siswa, tetapi juga guru dan pihak sekolah, bahkan Kemendikbud sekalipun sebagai representasi negara. Dampaknya, PJJ boleh jadi tidak efektif untuk transfer of knowledge bagi anak didik. Terdapat keluhan/pengaduan konkret masyarakat sebagai pengguna jasa pendidikan, baik di kalangan sekolah negeri atau pun swasta. Keluhan utama orang tua, khususnya kalangan ibu rumah tangga adalah waktunya terkuras untuk mendampingi anaknya dalam proses PJJ tersebut. Jika tak didampingi, hasilnya tak akan optimal. Bahkan anaknya akan bermalas-malasan alias "mbalelo" tidak mau mengerjakan tugas dari sekolah sehingga proses PJJ menjadi mangkrak. Berkait dengan hal itu, banyak orang tua yang juga ngedumel (menuntut) agar besaran SPP siswa diturunkan karena aktivitas belajar mengajarnya berjalan tidak optimal, tapi SPP-nya penuh.

Selain permasalahan tersebut, persoalan yang lebih mengharu-biru adalah dampak ekonomi dari PJJ, khususnya bagi kalangan rumah tangga menengah ke bawah. Terhadap hal ini, setidaknya ada tiga keluhan utama dari orang tua demi terlaksananya PJJ tersebut. Pertama, tingginya belanja pulsa untuk membeli paket data internet. Karena orang tua harus merogoh kocek cukup dalam kisarannya minimal Rp50.000 untuk keperluan PJJ selama dua hari saja. Dalam seminggu, orang tua harus merogoh kocek Rp150.000 dan dalam sebulan bisa mencapai Rp600.000. Akibatnya, banyak anak didik yang terlambat menyerahkan tugas-tugasnya karena belum/tidak mempunyai uang untuk membeli paket data internet.

Kedua, ini lebih tragis, banyak anak didik yang tidak mampu mengikuti PJJ karena tidak mempunyai gawai (smartphone ). Kasus yang menimpa Dimas, seorang siswa Kelas VII SMP Negeri I Rembang adalah buktinya. Dimas tidak punya gawai sehingga dia harus datang ke sekolah untuk melakukan belajar tatap muka secara langsung, walau hanya seorang diri. Kasus yang menimpa Dimas hanyalah contoh kecil, di lapangan pasti banyak sekali Dimas-Dimas yang lain bernasib serupa. Ketiga, terkait akses dan keandalan internet, banyak daerah yang mengalami blank spot sehingga masyarakat harus bergerak ke lokasi tertentu (yang cukup jauh) agar mendapatkan akses/sinyal internet. Atau akses internet yang endut-endutan, bahkan mengalami diskoneksi sehingga sangat mengganggu proses PJJ dan atau praktik Work from Home bagi orang tuanya.

Menyikapi hal tersebut, ada beberapa langkah mendesak yang harus dilakukan, baik oleh pemerintah, operator telekomunikasi, pihak sekolah maupun orang tua. Pertama, pemerintah harus mengalokasikan/memberikan subsidi pulsa/internet untuk orang tua yang berasal dari kalangan rumah tangga tidak mampu/miskin. Jika tanpa subsidi, anak didik dari rumah tangga miskin akan tertinggal untuk mengikuti PJJ, bahkan tidak bisa mengikutinya. Demikian juga dengan orang tua, jika tanpa subsidi, klimaksnya orang tua akan menekan kebutuhan rumah tangganya, termasuk mengurangi kualitas belanja dapurnya demi sekolah anaknya. Jika hal ini terjadi, kualitas gizi anak dan rumah tangga tersebut akan menurun sehingga potensi malnutrisi anak terbuka lebar. Mengingat aktivitas PJJ akan berlangsung kasih lama, setidaknya sampai akhir 2020 atau sampai wabah Covid-19 dinyatakan aman dan terkendali. Dana subsidi listrik di kalangan rumah tangga 450 VA bisa dimigrasikan ke subsidi pulsa. Pihak sekolah juga bisa turut meringankan beban orang tua dengan cara tidak memberikan tugas-tugas pada siswa yang banyak menyedot paket data, misalnya meng-upload video.

Kedua, untuk mewujudkan hal itu, pemerintah juga bisa bekerja sama dengan industri telekomunikasi dan provider internet. Wujud konkret kerja sama itu adalah agar industri telekomunikasi/provider internet memberikan berbagai tarif promosi untuk meringankan beban masyarakat atau bahkan sektor industri telekomunikasi/provider internet tersebut diminta menurunkan struktur biaya pokoknya. Tentu dalam batas yang rasional dan terukur. Sebab faktanya, manakala sektor lain terpukul oleh Covid-19, tetapi justru sektor telko "panen raya" karena penggunaan internet masyarakat meningkat tajam. Bahkan permintaan sambung baru terhadap akses internet berbasis fiber optik (seperti Indihome, Telkom) pun melonjak drastis. Artinya, itu semua adalah peningkatan revenue /profit bagi industri telko. Atau pemerintah, baik itu pemerintah pusat maupun daerah membuat/membangun spot akses free wifi yang didedikasikan untuk aktivitas PJJ. Dengan catatan, kontrol terhadap pelaksanaan tersebut harus kuat agar akses free wifi itu tidak disalahgunakan, misalnya untuk main game online .

Ketiga, relevan dengan itu, terkait keandalan internet, maka operator harus menambah keandalan infrastrukturnya, seperti memperkuat jaringan dan atau menambah jumlah BTS-nya. Sebab, kualitas internet yang endut-endutan bahkan mengalami diskoneksi sangat mengganggu kenyamanan dalam menggunakan internet, baik untuk PJJ ataupun WFH. Pemerintah juga harus konsisten membangun infrastruktur telekomunikasi di daerah terpencil, tertinggal, dan terluar Indonesia, dengan menggunakan dana USO (Universal Service Obligation), kalau perlu meningkatkan besaran dana USO tersebut. Sebab, untuk daerah T3 (terpencil, terdepan, dan terluar) adalah menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan tanggung jawab operator telekomunikasi.

Keempat, dalam hal ini masyarakat juga harus kreatif menggunakan alokasi uangnya. Harus ada skala prioritas, mana yang lebih urgensi, mana yang tidak penting, dan bahkan mana yang tidak perlu. Seperti misalnya, banyak rumah tangga miskin mengalokasikan pendapatannya untuk membeli rokok. Menurut data BPS dan survei ekonomi nasional (Susenas) di setiap periode, membuktikan bahwa share pendapatan di rumah tangga miskin untuk membeli rokok sebesar 12,4% alias nomor dua setelah konsumsi beras. Jika satu bungkus rokok adalah Rp20.000, maka dalam satu bulan (20 bungkus x 30 hari) keperluan untuk membeli rokok sebesar Rp600 ribu. Dana sebesar itu sangat cukup untuk membeli atau berlangganan paket internet paskabayar dengan keandalan tinggi.

Sekali lagi, aspek pengendalian wabah Covid-19 harus menjadi prioritas utama demi keselamatan dan keamanan warga secara keseluruhan. Oleh karenanya, implementasi PJJ masih sangat relevan. Jangan ada upaya melonggarkannya sebelum wabah Covid-19 benar-benar aman dan terkendali. Sementara itu, mendapatkan pelayanan pendidikan yang andal adalah hak asasi warga negara, sebagaimana dijamin oleh konstitusi. Jangan hanya karena PJJ dan ketiadaan/keandalan internet, hak asasi warga untuk mendapatkan akses pendidikan menjadi tergadaikan.
(ras)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1469 seconds (0.1#10.140)