Belajar dari Hijrah Rasulullah sebagai Momentum Persatuan Bangsa
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun Baru Islam merupakan refleksi hijrahnya Rasulullah SAW dari Makkah menuju Madinah. Peristiwa ini merupakan salah satu momentum penting Nabi Muhammad dalam perjuangan dakwah agama Islam. Momentum ini juga menjadi titik balik perubahan besar dari kondisi penuh penindasan di Madinah menjadi umat membangun peradaban yang mengagumkan dalam sejarah Islam.
Guru Besar Tasawuf Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Hamid Nasuhi menuturkan, awalnya Madinah merupakan penduduk heterogen, yang terdiri dari kelompok-kelompok kerap berselisih, seperti ada Bani Aus, Bani Khazraj, Yahudi, dan lainnya.
"Singkatnya, kedatangan Nabi Muhammad SAW mampu meredam konflik dan politik adu domba yang terjadi di Madinah. Maka peristiwa Hijrah Nabi juga dikenal dengan istilah Ummatan Wahidah yang mempersatukan antarimigran (Muhajirin) dan pribumi (Anshar) yang memiliki perbedaan suku dan agama yang berbeda," kata Prof Hamid di Jakarta, Rabu (26/7/2023).
Jika ditelisik, kata Hamid, Islam sesungguhnya kalangan minoritas di Madinah. Namun dengan kepiawaian dan kepemimpinan Nabi Muhammad, kelompok kelompok besar yang ada di Madinah dapat disatukan.
"Mereka disatukan oleh Nabi karena mereka sebelumnya itu suka berperang dan sebagainya, maka Nabi diundang ke Madinah. Jadi Nabi itu menjadi pemersatu, jadi imam untuk satu komunitas besar yang terdiri dari bermacam-macam komunitas kecil sebelumnya," tutur Hamid.
Dalam peristiwa di Madinah kala itu, yang dimaksud umat (ummatan wahidah) adalah kesatuan dari berbagai kelompok di bawah satu imam, satu pemimpin untuk menghadapi ancaman dari luar Madinah. Jika dalam konteks kenegaraan, pemimpin yang dimaksud juga bisa disebut presiden atau pemimpin tertinggi dalam sebuah negara, karena dapat menyatukan atau mempertahankan berbagai entitas menjadi satu kesatuan.
Karena itu, Direktur Advokasi dan Knowledge Management Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah ini mengatakan, momentum Tahun Baru Hijriyah juga harus diilhami dengan semangat persatuan bangsa. Mempererat persatuan untuk mencegah terjadinya perpecahan dan masuknya ideologi asing yang tidak sejalan dengan kesepakatan para pendiri bangsa.
Selain itu, Hamid juga mendorong agar menjaga tradisi perayaan Tahun Baru Islam dirayakan dengan kontemplatif maupun dipadukan kreativitas atau dikolaborasikan dengan kearifan budaya lokal seperti pawai obor, Zikir 1 Muharram atau muhasabah. Selain membangkitkan dakwah Islam, hal ini juga bertujuan untuk berkontemplasi agar menjadi Insan yang lebih baik di tahun mendatang.
Di sisi lain, Hamid juga menyinggung terkait adanya oknum yang melakukan pembubaran terhadap acara bertemakan Hijrah. Menurutnya, hal ini kontra produktif dan dapat menimbulkan perpecahan di masyarakat. Apalagi animo masyarakat untuk hadir dalam acara tersebut cukup besar. Jangan sampai hal ini membuat perspektif Islam menjadi sempit.
Menurut Hamid, untuk membuat orang tertarik atau mengajak dalam jalan kebaikan itu tidak mudah, daripada generasi bangsa dirusak dengan aktivitas tidak bermanfaat seperti tawuran, narkoba dan sebagainya. Tinggal bagaimana pelaksanaanya diimplementasikan nilai nilai kebangsaan.
Pria kelahiran Demak, Jawa Tengah ini juga menambahkan pentingya literasi yang baik dalam berhijrah seperti mengedepankan persatuan, persaudaraan dan pemahaman yang moderat. Jangan sampai informasi yang diterima tidak utuh sehingga mudah untuk mengharamkan, atau mengkafirkan orang lain.
"Intinya dibutuhkan literasi, jangan sampai mereka itu langsung terima informasi yang kaget begitu, langsung mengklaim paling benar. Terus kemudian, jika dia beda, maka dia musuh," kata Hamid.
"Menurut saya, itu kurang gaul, kurang piknik, kurang baca," katanya.
Seperti Rasulullah menyatukan kaum Anshar dan Muhajirin, tentu prosesnya tidak mudah. Dibutuhkan kedewasaan dan mampu meredam ego untuk bisa berbaur dan bersatu dengan lainnya. Untuk itu, Hamid mengatakan, jangan cepat memvonis atau menjadikan orang atau kelompok lain hal yang tidak baik. Apalagi memusuhi, terus kemudian membenci. Ia berharap agar sesama anak bangsa bisa bersatu dan bersama membangun Indonesia yang lebih baik.
"Karena siapa tahu orang yang Anda benci sekarang itu bisa menjadi kekasih di waktu yang lain dan orang yang sangat Anda kasihi bisa besok menjadi musuh. Nah ini perlu menjadikan momentum untuk selalu introspeksi yang diharapkan bisa berubah dari yang kurang baik menjadi lebih baik," kata Hamid.
Guru Besar Tasawuf Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Hamid Nasuhi menuturkan, awalnya Madinah merupakan penduduk heterogen, yang terdiri dari kelompok-kelompok kerap berselisih, seperti ada Bani Aus, Bani Khazraj, Yahudi, dan lainnya.
"Singkatnya, kedatangan Nabi Muhammad SAW mampu meredam konflik dan politik adu domba yang terjadi di Madinah. Maka peristiwa Hijrah Nabi juga dikenal dengan istilah Ummatan Wahidah yang mempersatukan antarimigran (Muhajirin) dan pribumi (Anshar) yang memiliki perbedaan suku dan agama yang berbeda," kata Prof Hamid di Jakarta, Rabu (26/7/2023).
Jika ditelisik, kata Hamid, Islam sesungguhnya kalangan minoritas di Madinah. Namun dengan kepiawaian dan kepemimpinan Nabi Muhammad, kelompok kelompok besar yang ada di Madinah dapat disatukan.
"Mereka disatukan oleh Nabi karena mereka sebelumnya itu suka berperang dan sebagainya, maka Nabi diundang ke Madinah. Jadi Nabi itu menjadi pemersatu, jadi imam untuk satu komunitas besar yang terdiri dari bermacam-macam komunitas kecil sebelumnya," tutur Hamid.
Dalam peristiwa di Madinah kala itu, yang dimaksud umat (ummatan wahidah) adalah kesatuan dari berbagai kelompok di bawah satu imam, satu pemimpin untuk menghadapi ancaman dari luar Madinah. Jika dalam konteks kenegaraan, pemimpin yang dimaksud juga bisa disebut presiden atau pemimpin tertinggi dalam sebuah negara, karena dapat menyatukan atau mempertahankan berbagai entitas menjadi satu kesatuan.
Karena itu, Direktur Advokasi dan Knowledge Management Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah ini mengatakan, momentum Tahun Baru Hijriyah juga harus diilhami dengan semangat persatuan bangsa. Mempererat persatuan untuk mencegah terjadinya perpecahan dan masuknya ideologi asing yang tidak sejalan dengan kesepakatan para pendiri bangsa.
Selain itu, Hamid juga mendorong agar menjaga tradisi perayaan Tahun Baru Islam dirayakan dengan kontemplatif maupun dipadukan kreativitas atau dikolaborasikan dengan kearifan budaya lokal seperti pawai obor, Zikir 1 Muharram atau muhasabah. Selain membangkitkan dakwah Islam, hal ini juga bertujuan untuk berkontemplasi agar menjadi Insan yang lebih baik di tahun mendatang.
Di sisi lain, Hamid juga menyinggung terkait adanya oknum yang melakukan pembubaran terhadap acara bertemakan Hijrah. Menurutnya, hal ini kontra produktif dan dapat menimbulkan perpecahan di masyarakat. Apalagi animo masyarakat untuk hadir dalam acara tersebut cukup besar. Jangan sampai hal ini membuat perspektif Islam menjadi sempit.
Menurut Hamid, untuk membuat orang tertarik atau mengajak dalam jalan kebaikan itu tidak mudah, daripada generasi bangsa dirusak dengan aktivitas tidak bermanfaat seperti tawuran, narkoba dan sebagainya. Tinggal bagaimana pelaksanaanya diimplementasikan nilai nilai kebangsaan.
Pria kelahiran Demak, Jawa Tengah ini juga menambahkan pentingya literasi yang baik dalam berhijrah seperti mengedepankan persatuan, persaudaraan dan pemahaman yang moderat. Jangan sampai informasi yang diterima tidak utuh sehingga mudah untuk mengharamkan, atau mengkafirkan orang lain.
"Intinya dibutuhkan literasi, jangan sampai mereka itu langsung terima informasi yang kaget begitu, langsung mengklaim paling benar. Terus kemudian, jika dia beda, maka dia musuh," kata Hamid.
"Menurut saya, itu kurang gaul, kurang piknik, kurang baca," katanya.
Seperti Rasulullah menyatukan kaum Anshar dan Muhajirin, tentu prosesnya tidak mudah. Dibutuhkan kedewasaan dan mampu meredam ego untuk bisa berbaur dan bersatu dengan lainnya. Untuk itu, Hamid mengatakan, jangan cepat memvonis atau menjadikan orang atau kelompok lain hal yang tidak baik. Apalagi memusuhi, terus kemudian membenci. Ia berharap agar sesama anak bangsa bisa bersatu dan bersama membangun Indonesia yang lebih baik.
"Karena siapa tahu orang yang Anda benci sekarang itu bisa menjadi kekasih di waktu yang lain dan orang yang sangat Anda kasihi bisa besok menjadi musuh. Nah ini perlu menjadikan momentum untuk selalu introspeksi yang diharapkan bisa berubah dari yang kurang baik menjadi lebih baik," kata Hamid.
(abd)