Sebelum Dimutasi Panglima TNI, Putra Try Sutrisno Bikin Tulisan Opini Terkait Pemilu 2024
loading...
A
A
A
JAKARTA - Putra Mantan Wakil Presiden Try Sutrisno , Mayjen Kunto Arief Wibowo menjadi satu dari 96 Pewira tinggi (Pati) TNI yang dimutasi Panglima TNI Laksamana Yudo Margono . Mayjen Kunto dimutasi dari Pangdam Siliwangi menjadi Wakil Komandan Komando Pendidikan dan Latihan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (Wadankodiklatad).
Mutasi TNI itu berdasarkan Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/779/VII/2023 tanggal 17 Juli 2023 tentang pemberhentian dari dan pengangkatan dalam jabatan di lingkungan TNI. Nah, sebelum dimutasi, Kunto Arief Wibowo selaku Panglima Kodam (Pangdam) III/Siliwangi membuat tulisan opini berjudul “Etika Menuju 2024”.
Bahkan, tulisan opini yang ditayangkan di beberapa media pada 10 April 2023 dikritik oleh Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pemilu Demokratis. Mereka menilai pernyataan Kunto bersifat politis dan harus dikoreksi.
“Pada tanggal 10 April 2023, Mayor Jenderal TNI Kunto Arief Wibowo selaku Panglima Kodam (Pangdam) III/Siliwangi, membuat tulisan opini berjudul ‘Etika Menuju 2024’. Dalam tulisan tersebut, Pangdam memaparkan tentang persoalan kondisi kebangsaan, khususnya terkait dengan pemilu yang akan diselenggarakan pada tahun 2024 mendatang,” bunyi pernyataan bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Demokratis pada 2 Mei 2023.
Mereka menilai pernyataan Kunto Arief Wibowo dalam tulisan tersebut sangat berdimensi dan bernuansa politis. “Substansi tulisan tersebut sesungguhnya merupakan bentuk pernyataan politik, yang dibuat oleh prajurit militer aktif, yang tentunya berbahaya bagi kehidupan demokrasi dan supremasi politik sipil di Indonesia,” kata koalisi masyarakat yang terdiri dari Imparsial, ELSAM, PBHI Nasional, HRWG, Centra Initiative, Forum de Facto, WALHI, dan Setara Institute ini.
Koalisi Masyarakat Sipil berpendapat, pernyataan Kunto yang menyebut demi alasan pertahanan dan keamanan, TNI agaknya harus sedikit maju mengambil posisi dalam menyikapi situasi tertentu, merupakan pernyatan politik yang tidak dapat dibenarkan secara aturan hukum perundang-undangan, dalam konteks negara hukum yang demokratis.
“Sebagai prajurit TNI, tidak boleh dan tidak bisa satu pernyataan atau tulisan yang di dalamnya mengandung unsur ancaman dalam menghadapi situsi dan kondisi kebangsaan terkait kehidupan politik sipil, dalam hal ini pemilu,” ujar Koalisi Masyarakat Sipil ini.
Mereka mengingatkan bahwa TNI merupakan alat pertahanan negara yang bertugas menjalankan fungsi pertahanan negara, sehingga mereka terutama dalam hal ini adalah Pangdam III/Siliwangi, tidak diperkenankan menilai kehidupan politik sipil ke depan, apalagi sembari memberikan ancaman perihal upaya memperbesar ruang bagi militer dalam politik. “Langkah tersebut tentunya sangat berbahaya bagi kehidupan dan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia,” tuturnya.
Mereka juga mengingatkan bahwa Pasal 39 Ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, setiap prajurit TNI dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis, sehingga dengan demikian pernyataan dan tulisan Pangdam III/Siliwangi tersebut seharusnya tidak boleh terjadi, karena telah melanggar aturan dalam UU tersebut. Koalisi menilai larangan bagi TNI untuk berpolitik praktis, sesungguhnya merupakan upaya serius dari bangsa ini, untuk menjaga netralitas dan profesionalisme, sebagai alat pertahanan negara.
“Kami menilai, DPR, para Pemimpin Sipil, Panglima TNI dan Kasad, harus mengoreksi kebijakan dan sikap prajurit TNI yang demikian, dalam hal ini Pangdam Siliwangi, yang menunjukkan sikap politiknya dalam ruang publik tersebut. Demi tegaknya supremasi sipil, DPR semestinya secara tegas menjalankan fungsi kontrol sipil demokratis terhadap militer, untuk memastikan tidak lagi terlibatnya militer dalam ruang politik sipil,” katanya.
Sementara itu, Pengamat Militer Universitas Kristen Indonesia (UKI) Sidratahta Mukhtar menilai pandangan Mayjen Kunto memang sangat menarik ketika menulis pemikirannya soal etika politik. “Saya menyaksikan berbagai kalangan mengapresiasi keberaniannya bersikap. Seakan Jenderal Kunto mendengar langsung suara-suara rakyat yang membutuhkan etika politik atau etika negara dalam bernegara,” kata Sidratahta kepada SINDOnews, Senin (24/7/2023).
Sidratahta mengakui pandangan Jenderal Kunto terkesan kurang sesuai dengan posisinya sebagai Pangdam saat itu. Namun, dia menuturkan, bila memahami pandangan tradisional bahwa politik tentara adalah politik negara, maka keberanian Jenderal Kunto mengemukakan pandangan dan kritisnya menunjukkan satu hal.
“Bahwa telah ada tanda-tanda situasi politik dan keamanan nasional yang makin tak kondusif, sehingga di antara banyak perwira ada yang berani mengungkapkan di khalayak publik. Kita perlu ambil aspek positifnya pandangan Jenderal Kunto ini, ia sosok jenderal tipe pretorian, dengan ciri nasionalis dan punya pandangan yang revolusioner,” pungkasnya.
Mutasi TNI itu berdasarkan Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/779/VII/2023 tanggal 17 Juli 2023 tentang pemberhentian dari dan pengangkatan dalam jabatan di lingkungan TNI. Nah, sebelum dimutasi, Kunto Arief Wibowo selaku Panglima Kodam (Pangdam) III/Siliwangi membuat tulisan opini berjudul “Etika Menuju 2024”.
Bahkan, tulisan opini yang ditayangkan di beberapa media pada 10 April 2023 dikritik oleh Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pemilu Demokratis. Mereka menilai pernyataan Kunto bersifat politis dan harus dikoreksi.
Baca Juga
“Pada tanggal 10 April 2023, Mayor Jenderal TNI Kunto Arief Wibowo selaku Panglima Kodam (Pangdam) III/Siliwangi, membuat tulisan opini berjudul ‘Etika Menuju 2024’. Dalam tulisan tersebut, Pangdam memaparkan tentang persoalan kondisi kebangsaan, khususnya terkait dengan pemilu yang akan diselenggarakan pada tahun 2024 mendatang,” bunyi pernyataan bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Demokratis pada 2 Mei 2023.
Mereka menilai pernyataan Kunto Arief Wibowo dalam tulisan tersebut sangat berdimensi dan bernuansa politis. “Substansi tulisan tersebut sesungguhnya merupakan bentuk pernyataan politik, yang dibuat oleh prajurit militer aktif, yang tentunya berbahaya bagi kehidupan demokrasi dan supremasi politik sipil di Indonesia,” kata koalisi masyarakat yang terdiri dari Imparsial, ELSAM, PBHI Nasional, HRWG, Centra Initiative, Forum de Facto, WALHI, dan Setara Institute ini.
Koalisi Masyarakat Sipil berpendapat, pernyataan Kunto yang menyebut demi alasan pertahanan dan keamanan, TNI agaknya harus sedikit maju mengambil posisi dalam menyikapi situasi tertentu, merupakan pernyatan politik yang tidak dapat dibenarkan secara aturan hukum perundang-undangan, dalam konteks negara hukum yang demokratis.
“Sebagai prajurit TNI, tidak boleh dan tidak bisa satu pernyataan atau tulisan yang di dalamnya mengandung unsur ancaman dalam menghadapi situsi dan kondisi kebangsaan terkait kehidupan politik sipil, dalam hal ini pemilu,” ujar Koalisi Masyarakat Sipil ini.
Mereka mengingatkan bahwa TNI merupakan alat pertahanan negara yang bertugas menjalankan fungsi pertahanan negara, sehingga mereka terutama dalam hal ini adalah Pangdam III/Siliwangi, tidak diperkenankan menilai kehidupan politik sipil ke depan, apalagi sembari memberikan ancaman perihal upaya memperbesar ruang bagi militer dalam politik. “Langkah tersebut tentunya sangat berbahaya bagi kehidupan dan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia,” tuturnya.
Mereka juga mengingatkan bahwa Pasal 39 Ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, setiap prajurit TNI dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis, sehingga dengan demikian pernyataan dan tulisan Pangdam III/Siliwangi tersebut seharusnya tidak boleh terjadi, karena telah melanggar aturan dalam UU tersebut. Koalisi menilai larangan bagi TNI untuk berpolitik praktis, sesungguhnya merupakan upaya serius dari bangsa ini, untuk menjaga netralitas dan profesionalisme, sebagai alat pertahanan negara.
“Kami menilai, DPR, para Pemimpin Sipil, Panglima TNI dan Kasad, harus mengoreksi kebijakan dan sikap prajurit TNI yang demikian, dalam hal ini Pangdam Siliwangi, yang menunjukkan sikap politiknya dalam ruang publik tersebut. Demi tegaknya supremasi sipil, DPR semestinya secara tegas menjalankan fungsi kontrol sipil demokratis terhadap militer, untuk memastikan tidak lagi terlibatnya militer dalam ruang politik sipil,” katanya.
Sementara itu, Pengamat Militer Universitas Kristen Indonesia (UKI) Sidratahta Mukhtar menilai pandangan Mayjen Kunto memang sangat menarik ketika menulis pemikirannya soal etika politik. “Saya menyaksikan berbagai kalangan mengapresiasi keberaniannya bersikap. Seakan Jenderal Kunto mendengar langsung suara-suara rakyat yang membutuhkan etika politik atau etika negara dalam bernegara,” kata Sidratahta kepada SINDOnews, Senin (24/7/2023).
Sidratahta mengakui pandangan Jenderal Kunto terkesan kurang sesuai dengan posisinya sebagai Pangdam saat itu. Namun, dia menuturkan, bila memahami pandangan tradisional bahwa politik tentara adalah politik negara, maka keberanian Jenderal Kunto mengemukakan pandangan dan kritisnya menunjukkan satu hal.
“Bahwa telah ada tanda-tanda situasi politik dan keamanan nasional yang makin tak kondusif, sehingga di antara banyak perwira ada yang berani mengungkapkan di khalayak publik. Kita perlu ambil aspek positifnya pandangan Jenderal Kunto ini, ia sosok jenderal tipe pretorian, dengan ciri nasionalis dan punya pandangan yang revolusioner,” pungkasnya.
(rca)