RUU Cipta Kerja Dikebut, Demokrat Curiga Banyak Kepentingan Gelap
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah dan DPR terus mengebut pembahasan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law tentang Cipta Kerja ( RUU Cipta Kerja ) walaupun saat ini DPR tengah reses. Karena itu, Fraksi Partai Demokrat mencurigai kepentingan di balik RUU yang menjadi primadona Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu karena pembahasannya seperti diburu waktu.
“Lahirnya RUU Cipta Kerja ini sejak awal sudah menimbulkan kecurigaan publik yang cukup luas, diantaranya terkait dengan pandangan bahwa RUU Ciptaker cacat sejak lahir atau Inkonstitusional, karena memberikan kewenangan kepada Presiden yang nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945,” kata Anggota Fraksi Partai Demokrat Didik Mukrianto kepada wartawan, Selasa (28/7/2020).
(Baca: Rektor UI: Preteli Isi RUU Cipta Kerja Akan Bikin Masyarakat Setuju)
Didik menjelaskan, sejak awal pemerintah kurang transparan dan tidak memberikan ruang partisipasi public yang cukup, khususnya dalam penyusunan Naskah Akademik (NA) dan draf RUU sebagaimana dimaksud Pasal 88 UU 12/2011 tentang Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan (P3).
RUU ini juga dianggap sangat pragmatis. Sebab konsekuensi logis dari metode Omnibus Law dalam RUU Ciptaker ini telah menimbulkan pergeseran paradigma dan politik hukum dari berbagai berbagai isu dan UU dalam satu RUU.
“Karena tidak transapran dan kurang melibatkan partisipasi publik dalam penyusunan naskah akademik dan RUU-nya, serta terkesan pembahasan dan kebutuhannya terburu-buru, saya kawatir ada banyak penumpang gelapnya,” ucapnya.
(Baca: 31 Pasal Dianggap Inkonstitusional, RUU Cipta Kerja Runtuhkan Wibawa Hukum)
Kemudian, anggota Komisi III DPR ini melanjutkan, RUU Ciptaker ini sangat tidak demokratis karena atas nama target yang cepat dan atas nama investasi bisa menafikkan kepentingan, partisipasi dan masukan publik.
Karena itu, dia mendesak pemerintah dan DPR agar kekawatiran dan pandangan publik tersebut harus dikelola dengan baik, dengan memberikan waktu yang lebih banyak lagi untuk mendapatkan masukan dari masyarakat luas secara utuh dalam pembahasannya. Pemerintah dan DPR tidak boleh abai dengan aspirasi masyarakat atau meninggalkan partisipasi publik.
“Harus diingat bahwa kepentingan pembuatan UU tumpuan utamanya adalah kepentingan rakyat, melindungi hak-hak masyarakat, dan bukan sebaliknya untuk keuntungan segelitir atau sekelompok orang,” ujar Didik.
“Dengan dalih kepentingan apapun, pemerintah dan DPR harus memastikan bahwa kepentingan masyarakat diatas segala-galanya,” tegasnya.
(Baca: Jadi Celah Tarif Naik, SP Ketenagalistrikan Minta RUU Ciptaker Distop)
Untuk menjawab kekawatiran publik, dia menambahkan, pemerintah dan DPR harus transparan dan melibatkan publik sebanyak mungkin. UU harus dibahas dalam dengan suasana yang tenang, tanpa harus diburu-buru oleh waktu, apalagi kepentingan. Karena, UU harus dipastikan menjadi payung hukum dan melindungi kepentingan masyarakat.
Terlebih, sambung Ketua Departemen Hukum dan HAM Partai Demokrat ini, untuk kepentingan yang sangat mendesak dengan kategori kegentingan yang memaksa, sistem hukum dan ketatanegaraan Indonesia sudah memberikan hak istimewa kepada presiden untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Sehingga, tidak boleh DPR dan pemerintah dalam membahas UU mendasarkan kepada basis ukuran waktu dan kepentingan sebagaimana menjadi alasan Perppu.
“Hati-hati! UU yang dibahas secara tidak terbuka, terkesan tertutup dan diburu-buru waktu bisa melahirkan UU yang tidak pro kepentingan rakyat dan berakhir kepada penolakan. Lantas Presiden dan DPR yang dipilih oleh rakyat menjadi representasi kepentingan siapa? Kepentingan pemilik modal? Kepentingan asing? Mudah-mudahan pemerintah dan DPR tetap memegang teguh nuraninya,” pungkasnya.
“Lahirnya RUU Cipta Kerja ini sejak awal sudah menimbulkan kecurigaan publik yang cukup luas, diantaranya terkait dengan pandangan bahwa RUU Ciptaker cacat sejak lahir atau Inkonstitusional, karena memberikan kewenangan kepada Presiden yang nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945,” kata Anggota Fraksi Partai Demokrat Didik Mukrianto kepada wartawan, Selasa (28/7/2020).
(Baca: Rektor UI: Preteli Isi RUU Cipta Kerja Akan Bikin Masyarakat Setuju)
Didik menjelaskan, sejak awal pemerintah kurang transparan dan tidak memberikan ruang partisipasi public yang cukup, khususnya dalam penyusunan Naskah Akademik (NA) dan draf RUU sebagaimana dimaksud Pasal 88 UU 12/2011 tentang Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan (P3).
RUU ini juga dianggap sangat pragmatis. Sebab konsekuensi logis dari metode Omnibus Law dalam RUU Ciptaker ini telah menimbulkan pergeseran paradigma dan politik hukum dari berbagai berbagai isu dan UU dalam satu RUU.
“Karena tidak transapran dan kurang melibatkan partisipasi publik dalam penyusunan naskah akademik dan RUU-nya, serta terkesan pembahasan dan kebutuhannya terburu-buru, saya kawatir ada banyak penumpang gelapnya,” ucapnya.
(Baca: 31 Pasal Dianggap Inkonstitusional, RUU Cipta Kerja Runtuhkan Wibawa Hukum)
Kemudian, anggota Komisi III DPR ini melanjutkan, RUU Ciptaker ini sangat tidak demokratis karena atas nama target yang cepat dan atas nama investasi bisa menafikkan kepentingan, partisipasi dan masukan publik.
Karena itu, dia mendesak pemerintah dan DPR agar kekawatiran dan pandangan publik tersebut harus dikelola dengan baik, dengan memberikan waktu yang lebih banyak lagi untuk mendapatkan masukan dari masyarakat luas secara utuh dalam pembahasannya. Pemerintah dan DPR tidak boleh abai dengan aspirasi masyarakat atau meninggalkan partisipasi publik.
“Harus diingat bahwa kepentingan pembuatan UU tumpuan utamanya adalah kepentingan rakyat, melindungi hak-hak masyarakat, dan bukan sebaliknya untuk keuntungan segelitir atau sekelompok orang,” ujar Didik.
“Dengan dalih kepentingan apapun, pemerintah dan DPR harus memastikan bahwa kepentingan masyarakat diatas segala-galanya,” tegasnya.
(Baca: Jadi Celah Tarif Naik, SP Ketenagalistrikan Minta RUU Ciptaker Distop)
Untuk menjawab kekawatiran publik, dia menambahkan, pemerintah dan DPR harus transparan dan melibatkan publik sebanyak mungkin. UU harus dibahas dalam dengan suasana yang tenang, tanpa harus diburu-buru oleh waktu, apalagi kepentingan. Karena, UU harus dipastikan menjadi payung hukum dan melindungi kepentingan masyarakat.
Terlebih, sambung Ketua Departemen Hukum dan HAM Partai Demokrat ini, untuk kepentingan yang sangat mendesak dengan kategori kegentingan yang memaksa, sistem hukum dan ketatanegaraan Indonesia sudah memberikan hak istimewa kepada presiden untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Sehingga, tidak boleh DPR dan pemerintah dalam membahas UU mendasarkan kepada basis ukuran waktu dan kepentingan sebagaimana menjadi alasan Perppu.
“Hati-hati! UU yang dibahas secara tidak terbuka, terkesan tertutup dan diburu-buru waktu bisa melahirkan UU yang tidak pro kepentingan rakyat dan berakhir kepada penolakan. Lantas Presiden dan DPR yang dipilih oleh rakyat menjadi representasi kepentingan siapa? Kepentingan pemilik modal? Kepentingan asing? Mudah-mudahan pemerintah dan DPR tetap memegang teguh nuraninya,” pungkasnya.
(muh)