Didominasi Hidrometeorologi, BNPB Sebut Terjadi 1.675 Bencana Sejak Awal 2023
loading...
A
A
A
JAKARTA - Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( BNPB ) melaporkan pada lima bulan di awal tahun 2023 ini, sudah terjadi 1.675 kejadian bencana. Hal ini dikatakan oleh Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto.
"Didominasi oleh bencana hidrometeorologi sebesar 99,1 persen, dengan rincian 92, persen adalah bencana hidrometeorologi basah dan 6,6 persen merupakan bencana hidrometeorologi kering, sisanya merupakan bencana geologi dan vulkanologi," kata Suharyanto dalam keterangan resminya, Minggu (4/6/2023).
Lebih lanjut, Suharyanto mengatakan, saat ini perubahan iklim yang terjadi di dunia secara nyata telah meningkatkan potensi kejadian bencana.
Hal itu diungkapkan saat memberikan sambutan pada Rapat Koordinasi Nasional Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU) yang dihelat di Pondok Pesantren Alhamidiah, Depok, Jawa Barat, kemarin.
"Perubahan iklim terbukti meningkatkan frekuensi kejadian bencana dengan sangat drastis dan lebih ekstrim," ujar Suharyanto.
Suharyanto menjelaskan, jika melihat data bencana terkait iklim dengan dampak signifikan, di tingkat global khususnya sejak tahun 1961, tren kenaikan anomali suhu rata-rata global berbanding lurus dengan peningkatan frekuensi kejadian bencana.
"Hal yang sama dengan data bencana di Indonesia, tren kenaikan jumlah kejadian bencana alam dalam mengalami kenaikan hingga 82 persen jika dilihat dari tahun 2010 hingga 2022," ucap Suharyanto.
Sehingga kata Suharyanto, benar adanya bahwa peningkatan anomali suhu rata-rata baik di tingkat global maupun nasional menyebabkan meningkatnya frekuensi kejadian bencana, terutama bencana hidrometeorologi.
"Untuk bencana hidrometeorologi basah, akar permasalahan yang utama adalah urbanisasi yang memberikan tekanan pada lingkungan di hilir, dan alih fungsi lahan baik secara sistematis maupun ilegal, yang mengurangi kapasitas daya serap, baik karbon maupun air mulai dari hulu hingga hilir," tutupnya.
"Didominasi oleh bencana hidrometeorologi sebesar 99,1 persen, dengan rincian 92, persen adalah bencana hidrometeorologi basah dan 6,6 persen merupakan bencana hidrometeorologi kering, sisanya merupakan bencana geologi dan vulkanologi," kata Suharyanto dalam keterangan resminya, Minggu (4/6/2023).
Lebih lanjut, Suharyanto mengatakan, saat ini perubahan iklim yang terjadi di dunia secara nyata telah meningkatkan potensi kejadian bencana.
Hal itu diungkapkan saat memberikan sambutan pada Rapat Koordinasi Nasional Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU) yang dihelat di Pondok Pesantren Alhamidiah, Depok, Jawa Barat, kemarin.
"Perubahan iklim terbukti meningkatkan frekuensi kejadian bencana dengan sangat drastis dan lebih ekstrim," ujar Suharyanto.
Suharyanto menjelaskan, jika melihat data bencana terkait iklim dengan dampak signifikan, di tingkat global khususnya sejak tahun 1961, tren kenaikan anomali suhu rata-rata global berbanding lurus dengan peningkatan frekuensi kejadian bencana.
"Hal yang sama dengan data bencana di Indonesia, tren kenaikan jumlah kejadian bencana alam dalam mengalami kenaikan hingga 82 persen jika dilihat dari tahun 2010 hingga 2022," ucap Suharyanto.
Sehingga kata Suharyanto, benar adanya bahwa peningkatan anomali suhu rata-rata baik di tingkat global maupun nasional menyebabkan meningkatnya frekuensi kejadian bencana, terutama bencana hidrometeorologi.
"Untuk bencana hidrometeorologi basah, akar permasalahan yang utama adalah urbanisasi yang memberikan tekanan pada lingkungan di hilir, dan alih fungsi lahan baik secara sistematis maupun ilegal, yang mengurangi kapasitas daya serap, baik karbon maupun air mulai dari hulu hingga hilir," tutupnya.
(maf)