Demi Pilkada Bebas Corona, KPU Disarankan Desain Ulang Aturan Kampanye
loading...
A
A
A
JAKARTA - Aturan kampanye Pilkada 2020 yang dibuat Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai masih memiliki banyak kelemahan. Karena itu aturan yang ada perlu diubah atau dibuat peraturan lain yang lebih detail demi melindungi masyarakat dari paparan Covid-19.
Sejumlah turan kampanye pilkada dimaksud tercantum pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 6/2020 tentang Penyelenggaraan Pilkada Dalam Kondisi Non Bencana Alam/Covid-19. Regulasi yang juga dikenal dengan PKPU Sapu Jagat ini memuat protokol kesehatan untuk merespons pandemi Covid-19.
Salah satu kelemahan paling mendasar yakni masih dibukanya kesempatan bagi peserta pilkada menggelar rapat umum. Meski jumlah peserta rapat umum dibatasi, namun itu dinilai sebagai celah yang rawan untuk terjadinya penularan Covid-19.
Pada PKPU 6 tahun 2020 ini diatur bahwa partai politik, pasangan calon dan tim kampanye masih dipebolehkan menggelar rapat umum, baik di ruang terbuka maupun tertutup, namun dengan berbagai ketentuan, di antaranya jumlah peserta maksimal 40% dari kapasitas ruang yang ada. (Baca: Bawaslu Berharap Pilkda 2020 Tak Jadi Klaster Baru Pandemi Covid-19)
Ketentuan ini dinilai menyulitkan. Jika kampanyenya di dalam ruangan, mengukur kapasitas 40% masih memungkinkan untuk dilakukan. Namun, kondisinya berbeda jika kampanyenya di luar ruangan seperti di lapangan terbuka. Mengetahui secara pas kapasitas 40% di lapangan bukan hal yang mudah.
“Bawaslu akan kesulitan melakukan pengawasan kampanye nanti, khususnya bagaimana misalnya dalam mengukur 50% dari kapasitas lapangan,” ujar Ketua Badan Pengawas Pemilu Abhan pada diskusi Fokus SINDO bertajuk “Kampanye di Masa Pandemi” yang digelar secara virtual di akun YouTube SINDOnews, Rabu (22/7/2020).
Abhan juga secara khusus menyoroti ketentuan di PKPU Nomor 6 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa KPU harus berkoordinasi dengan lembaga lain, yakni Gugus Tugas Covid-19 di daerah sebelum mengizinkan pasangan calon berkampanye di daerah yang masuk zona rawan Covid-19. Hal tersebut menurut dia melemahkan kemandirian KPU. Pasalnya, bisa terjadi konflik kepentingan. Kepala daerah petahana umumnya juga kepala Gugus Tugas di daerahnya. “Kalau yang minta izin kampanye itu pihak lawan dari petahana, bisa saja izin kampanye diberikan. Ini potensi conflict of interest,” ujarnya.
Berhubung masa kampanye pilkada baru akan digelar pada 23 September 2020, masih ada kesempatan bagi KPU untuk mendesain ulang aturan yang ada. Lembaga penyelenggara pemilu ini juga bisa membuat aturan lain yang khusus mengatur kampanye secara detil.
“Saya katakan ini PKPU sapu jagat, sehingga ini harus direvisi lagi, harus ada aturan lebih detail,” ujarnya mengingatkan. (Baca juga: Pengamat Nilai Penyelenggaraan Pilkada 2020 Sangat Beresiko)
Menggelar pilkada di tengah pandemi memang menantang risiko. Namun, bukan tidak mungkin pilkada bisa terlaksana dengan aman tanpa ada penularan Covid-19. Hal ini sudah dibuktikan oleh Korea Selatan. Pemilu legislatif yang digelar di Negeri Ginseng pada Juni lalu itu bisa berjalan aman dan lancar dengan angka partisipasi mencapai 66,2%.
Pakar komunikasi politik dari UIN Syarif Hidayutllah Jakarta Gun Gun Heryanto berharap Indonesia bisa meniru beberapa hal positif yang dilakukan Korsel. Menurut dia, dua pekan setelah pemilu digelar di negara itu tidak ditemukan ada kluster korona. Salah satu strategi kampanye pemilu Korsel adalah meniadakan rapat umum. Kegiatan kampanye justru diperbanyak melalui sarana digital.
“Korsel tidak mengenal sama sekali kampanye kerumunan, tapi di televisi dan koran iklan kampanye waktunya diperpanjang,” ujar Gun Gun yang juga pembicara pada diskusi yang sama.
Gun Gun setuju dengan Abhan bahwa menggelar kampanye rapat umum justru menyulitkan dan berisiko penularan virus. Pencantuman model kampanye rapat umum di PKPU Sapu Jagat menurt dia cerminan penyelenggara pemilu yang tidak sensitif Covid-19. (Baca juga: 3 Dosa yang Paling Dimurkai Allah Ta'ala, Apa Saja?)
“Pak Abhan sudah menyebut secara implisit bahwa kalau kampanye rapat umum, bagaimana mengukur 50% dari kapasitas ruangan? Itu sudah contoh bahwa praktik di lapangan akan ada problem-problem seperti itu,” ujar Gun Gun yang juga Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute.
Gun Gun mengatakan, di masa pandemi yang mengharuskan interaksi masyarakat terbatas, kampanye melalui media, terutama cetak dan daring harus dioptimalkan. Tidak perlu membatasi hanya 21 hari. Kalau perlu durasinya selama 71 hari sebagaimana jadwal kampanye yang ada.
“Media cetak dan media online misalnya website tidak perlu dibatasi 21 hari karena mereka tidak menggunakan frekuensi milik publik sebagaimana TV dan radio,” ujar Gun Gun.
Kalaupun pemberitaan di media cetak dan daring dinilai terlalu masif dan berlebihan frekuensinya, Gun Gun mengatakan biar pembaca yang menilai. Mereka akan jenuh sendiri sehingga mengabaikan iklan tersebut.
Anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera siap menampung masukan terkait perlunya revisi aturan kampanye pilkada. Dia menyebut itu sebagai masukan yang berharga. Setiap PKPU, kata Mardani, secara aturan memang harus dikonsultasikan dengan Komisi II DPR. Pada saat itu pihaknya akan mencermati jika PKPU soal kampanye ini dibawa KPU ke parlemen.
“Kami akan cermati, titip apa saja masukannya karena (aturan kampanye) ini memang tidak boleh ambigu,” kata Mardani pada diskusi yang sama. (Baca juga: Buronan FBI Diyakini Bersembunyi di Konsulat China)
Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera ini menegaskan bahwa memang di masa krisis seperti ini harus jelas aturan tentang apa yang diperbolehkan. Sehingga dengan itu jelas bahwa hal lainnya tidak diberbolehkan. Itu salah satu cara menutup ruang bagi pihak-pihak yang ingin “bermain” dalam celah aturan yang ambigu.
“Jangan terbalik, jangan ini yang dilarang berarti yang lain boleh. Sehingga tidak ada peluang untuk bermain di ruang yang remang-remang, yang justru berbahaya bagi situasi Covid-19,” tandasnya.
Komisoner KPU Dewa Wiarsa Raka Sandi mengaku mendapatkan banyak masukan mengenai kampanye rapat umum yang diperbolehkan dalam PKPU. Namun, dia menjelaskan bahwa pihaknya tidak bisa begitu saja menghilangkan itu karena Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada masih mengatur soal varian kampanye itu. Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 2/2020 hanya memperluas makna bencana nonalam.
“Kecuali jika nanti ada perppu baru, tentu KPU punya dasar hukum untuk mengubah bentuk-bentuk kampanye. Maka itu masalahnya. Namun KPU berterima kasih atas masukan berbagai pihak,” kata Raka saat dihubungi kemarin.
KPU sudah bersurat kepada Komisi II DPR dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) yang menyampaikan perubahan PKPU Nomor 4/2017 tentang Kampanye Pilkada. Rancangan PKPU baru ini nanti dikonsultasikan kepada kedua lembaga. (Lihat videonya: Untuk Kedua Kalinya, Seorang Ibu Muda Tega Menjual Bayinya)
“Ini akan menjadi pedoman bagi KPU provinsi dan kabupaten dankota beserta jajaran untuk mengatur penyelenggaraan kampanye nanti,” katanya.
Dalam PKPU Kampanye Pilkada yang baru nanti akan ada pengaturan teknis pelaksanaan kampanye. Termasuk mendorong kampanye melalui media daring. (Kiswondari)
Sejumlah turan kampanye pilkada dimaksud tercantum pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 6/2020 tentang Penyelenggaraan Pilkada Dalam Kondisi Non Bencana Alam/Covid-19. Regulasi yang juga dikenal dengan PKPU Sapu Jagat ini memuat protokol kesehatan untuk merespons pandemi Covid-19.
Salah satu kelemahan paling mendasar yakni masih dibukanya kesempatan bagi peserta pilkada menggelar rapat umum. Meski jumlah peserta rapat umum dibatasi, namun itu dinilai sebagai celah yang rawan untuk terjadinya penularan Covid-19.
Pada PKPU 6 tahun 2020 ini diatur bahwa partai politik, pasangan calon dan tim kampanye masih dipebolehkan menggelar rapat umum, baik di ruang terbuka maupun tertutup, namun dengan berbagai ketentuan, di antaranya jumlah peserta maksimal 40% dari kapasitas ruang yang ada. (Baca: Bawaslu Berharap Pilkda 2020 Tak Jadi Klaster Baru Pandemi Covid-19)
Ketentuan ini dinilai menyulitkan. Jika kampanyenya di dalam ruangan, mengukur kapasitas 40% masih memungkinkan untuk dilakukan. Namun, kondisinya berbeda jika kampanyenya di luar ruangan seperti di lapangan terbuka. Mengetahui secara pas kapasitas 40% di lapangan bukan hal yang mudah.
“Bawaslu akan kesulitan melakukan pengawasan kampanye nanti, khususnya bagaimana misalnya dalam mengukur 50% dari kapasitas lapangan,” ujar Ketua Badan Pengawas Pemilu Abhan pada diskusi Fokus SINDO bertajuk “Kampanye di Masa Pandemi” yang digelar secara virtual di akun YouTube SINDOnews, Rabu (22/7/2020).
Abhan juga secara khusus menyoroti ketentuan di PKPU Nomor 6 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa KPU harus berkoordinasi dengan lembaga lain, yakni Gugus Tugas Covid-19 di daerah sebelum mengizinkan pasangan calon berkampanye di daerah yang masuk zona rawan Covid-19. Hal tersebut menurut dia melemahkan kemandirian KPU. Pasalnya, bisa terjadi konflik kepentingan. Kepala daerah petahana umumnya juga kepala Gugus Tugas di daerahnya. “Kalau yang minta izin kampanye itu pihak lawan dari petahana, bisa saja izin kampanye diberikan. Ini potensi conflict of interest,” ujarnya.
Berhubung masa kampanye pilkada baru akan digelar pada 23 September 2020, masih ada kesempatan bagi KPU untuk mendesain ulang aturan yang ada. Lembaga penyelenggara pemilu ini juga bisa membuat aturan lain yang khusus mengatur kampanye secara detil.
“Saya katakan ini PKPU sapu jagat, sehingga ini harus direvisi lagi, harus ada aturan lebih detail,” ujarnya mengingatkan. (Baca juga: Pengamat Nilai Penyelenggaraan Pilkada 2020 Sangat Beresiko)
Menggelar pilkada di tengah pandemi memang menantang risiko. Namun, bukan tidak mungkin pilkada bisa terlaksana dengan aman tanpa ada penularan Covid-19. Hal ini sudah dibuktikan oleh Korea Selatan. Pemilu legislatif yang digelar di Negeri Ginseng pada Juni lalu itu bisa berjalan aman dan lancar dengan angka partisipasi mencapai 66,2%.
Pakar komunikasi politik dari UIN Syarif Hidayutllah Jakarta Gun Gun Heryanto berharap Indonesia bisa meniru beberapa hal positif yang dilakukan Korsel. Menurut dia, dua pekan setelah pemilu digelar di negara itu tidak ditemukan ada kluster korona. Salah satu strategi kampanye pemilu Korsel adalah meniadakan rapat umum. Kegiatan kampanye justru diperbanyak melalui sarana digital.
“Korsel tidak mengenal sama sekali kampanye kerumunan, tapi di televisi dan koran iklan kampanye waktunya diperpanjang,” ujar Gun Gun yang juga pembicara pada diskusi yang sama.
Gun Gun setuju dengan Abhan bahwa menggelar kampanye rapat umum justru menyulitkan dan berisiko penularan virus. Pencantuman model kampanye rapat umum di PKPU Sapu Jagat menurt dia cerminan penyelenggara pemilu yang tidak sensitif Covid-19. (Baca juga: 3 Dosa yang Paling Dimurkai Allah Ta'ala, Apa Saja?)
“Pak Abhan sudah menyebut secara implisit bahwa kalau kampanye rapat umum, bagaimana mengukur 50% dari kapasitas ruangan? Itu sudah contoh bahwa praktik di lapangan akan ada problem-problem seperti itu,” ujar Gun Gun yang juga Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute.
Gun Gun mengatakan, di masa pandemi yang mengharuskan interaksi masyarakat terbatas, kampanye melalui media, terutama cetak dan daring harus dioptimalkan. Tidak perlu membatasi hanya 21 hari. Kalau perlu durasinya selama 71 hari sebagaimana jadwal kampanye yang ada.
“Media cetak dan media online misalnya website tidak perlu dibatasi 21 hari karena mereka tidak menggunakan frekuensi milik publik sebagaimana TV dan radio,” ujar Gun Gun.
Kalaupun pemberitaan di media cetak dan daring dinilai terlalu masif dan berlebihan frekuensinya, Gun Gun mengatakan biar pembaca yang menilai. Mereka akan jenuh sendiri sehingga mengabaikan iklan tersebut.
Anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera siap menampung masukan terkait perlunya revisi aturan kampanye pilkada. Dia menyebut itu sebagai masukan yang berharga. Setiap PKPU, kata Mardani, secara aturan memang harus dikonsultasikan dengan Komisi II DPR. Pada saat itu pihaknya akan mencermati jika PKPU soal kampanye ini dibawa KPU ke parlemen.
“Kami akan cermati, titip apa saja masukannya karena (aturan kampanye) ini memang tidak boleh ambigu,” kata Mardani pada diskusi yang sama. (Baca juga: Buronan FBI Diyakini Bersembunyi di Konsulat China)
Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera ini menegaskan bahwa memang di masa krisis seperti ini harus jelas aturan tentang apa yang diperbolehkan. Sehingga dengan itu jelas bahwa hal lainnya tidak diberbolehkan. Itu salah satu cara menutup ruang bagi pihak-pihak yang ingin “bermain” dalam celah aturan yang ambigu.
“Jangan terbalik, jangan ini yang dilarang berarti yang lain boleh. Sehingga tidak ada peluang untuk bermain di ruang yang remang-remang, yang justru berbahaya bagi situasi Covid-19,” tandasnya.
Komisoner KPU Dewa Wiarsa Raka Sandi mengaku mendapatkan banyak masukan mengenai kampanye rapat umum yang diperbolehkan dalam PKPU. Namun, dia menjelaskan bahwa pihaknya tidak bisa begitu saja menghilangkan itu karena Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada masih mengatur soal varian kampanye itu. Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 2/2020 hanya memperluas makna bencana nonalam.
“Kecuali jika nanti ada perppu baru, tentu KPU punya dasar hukum untuk mengubah bentuk-bentuk kampanye. Maka itu masalahnya. Namun KPU berterima kasih atas masukan berbagai pihak,” kata Raka saat dihubungi kemarin.
KPU sudah bersurat kepada Komisi II DPR dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) yang menyampaikan perubahan PKPU Nomor 4/2017 tentang Kampanye Pilkada. Rancangan PKPU baru ini nanti dikonsultasikan kepada kedua lembaga. (Lihat videonya: Untuk Kedua Kalinya, Seorang Ibu Muda Tega Menjual Bayinya)
“Ini akan menjadi pedoman bagi KPU provinsi dan kabupaten dankota beserta jajaran untuk mengatur penyelenggaraan kampanye nanti,” katanya.
Dalam PKPU Kampanye Pilkada yang baru nanti akan ada pengaturan teknis pelaksanaan kampanye. Termasuk mendorong kampanye melalui media daring. (Kiswondari)
(ysw)