Pejabat Publik Nyaleg, Netralitas Penyelenggara Negara Diuji
loading...
A
A
A
Nawang Mega Arum
Mahasiswi Program Pascasarjana Ilmu Administrasi Universitas Indonesia
DI TENGAH hiruk-pikuk isu capres-cawapres, sebetulnya kita juga perlu menyadari bahwa bulan ini merupakan tahapan partai politik peserta Pemilu 2024 mengajukan bakal calon anggota legislatif DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sibuk menjadi tuan rumah dari lalu-lalang politisi yang hendak maju nyaleg.
Kita melihat parpol mendaftarkan para bakal caleg dari beragam latar belakang. Dari mulai politikus senior, artis, pengusaha, dan aktivis buruh. Menariknya ada pula pejabat publik yang masih aktif di posisinya ikut maju menjadi caleg. Sebut saja Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah dan Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani.
Lalu bagaimana aturan bagi pejabat publik yang nyaleg? Apakah mereka harus mengundurkan diri? Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) Pasal 240 memang mensyaratkan seorang caleg mundur dari jabatannya. Namun terbatas pada jabatan kepala daerah; wakil kepala daerah; aparatur sipil negara; anggota Tentara Nasional Indonesia; anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia; direksi, komisaris, dewan pengawas, dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara.
Selain itu, kepala desa (kades) dan perangkat desa juga diwajibkan mundur jika nyaleg. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan KPU (PKPU) Pasal 11 Ayat (2) huruf b Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Aturan kades mundur merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 29 huruf yang melarang kepala desa rangkap jabatan sebagai anggota legislatif.
UU Pemilu juga mengatur para caleg dilarang berpraktik sebagai akuntan publik, advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, atau melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara.
Sesuai Pasal 14 Ayat (1) dan Pasal 15 Ayat (1) UU Pemilu, surat pengunduran diri yang diterbitkan oleh pejabat berwenang dilampirkan saat pengajuan diri sebagai bakal calon anggota legislatif (caleg).
Ketentuan mundur dari jabatan publik seperti tertulis di atas merupakan bagian dari menjaga netralitas dalam pemilu. Netralitas pemerintah sebagai pembuat dan eksekusi kebijakan menjadi titik yang ideal ketika dihadapkan pada suatu kondisi, sebagaimana menurut Goodnow (1900), bahwa negara memiliki fungsi untuk mengekspresikan kehendak rakyat dan menjalankan kehendak itu. Fungsi pertama yaitu politik, sementara esensi yang kedua adalah administrasi.
Max Weber menyetujui bahwa esensi action atas birokrat yang menjalankan titah atas konstitusi yang telah ditetapkan, lebih lanjut vocation (panggilan) merupakan peran dari politisi dari sebuah pengaturan relasi kekuasaan. Tujuan birokrasi dan politik dapat tercapai secara penuh jika patuh terhadap netralitas. Netralitas dalam birokrasi dalam aliran Weber secara esensi tidak dapat memaksakan kepentingan parpol dan kelompok dalam lembaga negara.
Implementasi berbirokrasi Weber yaitu dengan melakukan penerapan aturan sekaligus pengendalian yang tidak didasarkan pada kepentingan pribadi atau kepentingan politis. Hal ini cukup menjadi dasar kebijakan pemerintah terhadap fenomena pejabat publik yang mencadi bacalon.
Pada saat pengajuan bacalon anggota DPR, Bawaslu mengalami kendala dalam mengakses data bakal calon karena Sistem Informasi Pencalonan (Silon) sebagai viewer masih dalam proses pengembangan. Silon baru dapat diakses saat masuk sub tahapan verifikasi administrasi.
Akibatnya pengawas pemilu memerlukan waktu terbatas dalam mencermati dan mengidentifikasi pejabat publik yang diajukan sebagai bakal calon anggota DPR. Sementara sub tahapan verifikasi administrasi merupakan momentum bagi Bawaslu mengawasi keabsahan syarat administrasi bakal calon anggota DPR.
Hingga saat ini, KPU juga belum membuka kepada publik, bacaleg di tingkat pusat maupun daerah yang berstatus sebagai pejabat publik. Dengan wewenang yang dimiliki pengawas pemilu yaitu dapat memberikan rekomendasi atas adanya dugaan pelanggaran, maka Bawaslu memiliki momentum yang baik untuk memberikan kritik konstruktif pada tahapan penyelenggaraan pemilu, khususnya pencalonan. Rekomendasi yang dikeluarkan oleh Bawaslu kepada KPU dijamin oleh undang undang, sehingga seluruh pemangku kepentingan pemilu dan masyarakat dapat mengadvokasi kebijakan tersebut.
Langkah pertama yang dapat dilakukan Bawaslu yaitu melakukan konsolidasi dengan pemantau pemilu dengan masyarakat untuk memiliki persepsi yang sama dalam memahami permasalahan ini. Beberapa poin yang dapat menjadi masukan dilakukan oleh Bawaslu dalam rekomendasi yang perlu diberikan kepada KPU di antaranya:
1. Meminta KPU membuka akses Silon seluas-luasnya bagi pengawas pemilu agar dapat membaca seluruh elemen data sebagai persyaratan verifikasi administrasi. Dengan begitu, pengawas pemilu dapat mencermati dan melakukan pencegahan terhadap pelanggaran dan potensi sengketa proses pemilu selama proses pencalonan berlangsung.
2. KPU membuka daftar bakal caleg yang mengemban jabatan publik atau profesi yang diwajibkan mengundurkan diri sesuai undang-undang. Pembukaan profesi bakal caleg dilakukan saat dan setelah masa pengajuan hingga sebelum penetapan Daftar Calon Sementara (DCS).
Bawaslu juga perlu mengajak pemantau dan masyarakat agar dapat melapor apabila mendapati bakal caleg yang memiliki jabatan, pekerjaan, profesi yang diwajibkan mengundurkan diri. Selain itu, pemerintah secara serius juga perlu segera mengeluarkan kebijakan terkait kewajiban cuti dan/atau pengunduran diri oleh seluruh pejabat publik yang diajukan sebagai bacalon berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
Mahasiswi Program Pascasarjana Ilmu Administrasi Universitas Indonesia
DI TENGAH hiruk-pikuk isu capres-cawapres, sebetulnya kita juga perlu menyadari bahwa bulan ini merupakan tahapan partai politik peserta Pemilu 2024 mengajukan bakal calon anggota legislatif DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sibuk menjadi tuan rumah dari lalu-lalang politisi yang hendak maju nyaleg.
Kita melihat parpol mendaftarkan para bakal caleg dari beragam latar belakang. Dari mulai politikus senior, artis, pengusaha, dan aktivis buruh. Menariknya ada pula pejabat publik yang masih aktif di posisinya ikut maju menjadi caleg. Sebut saja Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah dan Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani.
Lalu bagaimana aturan bagi pejabat publik yang nyaleg? Apakah mereka harus mengundurkan diri? Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) Pasal 240 memang mensyaratkan seorang caleg mundur dari jabatannya. Namun terbatas pada jabatan kepala daerah; wakil kepala daerah; aparatur sipil negara; anggota Tentara Nasional Indonesia; anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia; direksi, komisaris, dewan pengawas, dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara.
Selain itu, kepala desa (kades) dan perangkat desa juga diwajibkan mundur jika nyaleg. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan KPU (PKPU) Pasal 11 Ayat (2) huruf b Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Aturan kades mundur merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 29 huruf yang melarang kepala desa rangkap jabatan sebagai anggota legislatif.
UU Pemilu juga mengatur para caleg dilarang berpraktik sebagai akuntan publik, advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, atau melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara.
Sesuai Pasal 14 Ayat (1) dan Pasal 15 Ayat (1) UU Pemilu, surat pengunduran diri yang diterbitkan oleh pejabat berwenang dilampirkan saat pengajuan diri sebagai bakal calon anggota legislatif (caleg).
Ketentuan mundur dari jabatan publik seperti tertulis di atas merupakan bagian dari menjaga netralitas dalam pemilu. Netralitas pemerintah sebagai pembuat dan eksekusi kebijakan menjadi titik yang ideal ketika dihadapkan pada suatu kondisi, sebagaimana menurut Goodnow (1900), bahwa negara memiliki fungsi untuk mengekspresikan kehendak rakyat dan menjalankan kehendak itu. Fungsi pertama yaitu politik, sementara esensi yang kedua adalah administrasi.
Max Weber menyetujui bahwa esensi action atas birokrat yang menjalankan titah atas konstitusi yang telah ditetapkan, lebih lanjut vocation (panggilan) merupakan peran dari politisi dari sebuah pengaturan relasi kekuasaan. Tujuan birokrasi dan politik dapat tercapai secara penuh jika patuh terhadap netralitas. Netralitas dalam birokrasi dalam aliran Weber secara esensi tidak dapat memaksakan kepentingan parpol dan kelompok dalam lembaga negara.
Implementasi berbirokrasi Weber yaitu dengan melakukan penerapan aturan sekaligus pengendalian yang tidak didasarkan pada kepentingan pribadi atau kepentingan politis. Hal ini cukup menjadi dasar kebijakan pemerintah terhadap fenomena pejabat publik yang mencadi bacalon.
Peran Bawaslu dan Masyarakat
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) berdasarkan amanat Undang-Undang Pemilu menjalankan tugas dalam mengawasi tahapan pencalonan sebagai pengejawantahan pencegahan terhadap pelanggaran dan sengketa proses pemilu.Pada saat pengajuan bacalon anggota DPR, Bawaslu mengalami kendala dalam mengakses data bakal calon karena Sistem Informasi Pencalonan (Silon) sebagai viewer masih dalam proses pengembangan. Silon baru dapat diakses saat masuk sub tahapan verifikasi administrasi.
Akibatnya pengawas pemilu memerlukan waktu terbatas dalam mencermati dan mengidentifikasi pejabat publik yang diajukan sebagai bakal calon anggota DPR. Sementara sub tahapan verifikasi administrasi merupakan momentum bagi Bawaslu mengawasi keabsahan syarat administrasi bakal calon anggota DPR.
Hingga saat ini, KPU juga belum membuka kepada publik, bacaleg di tingkat pusat maupun daerah yang berstatus sebagai pejabat publik. Dengan wewenang yang dimiliki pengawas pemilu yaitu dapat memberikan rekomendasi atas adanya dugaan pelanggaran, maka Bawaslu memiliki momentum yang baik untuk memberikan kritik konstruktif pada tahapan penyelenggaraan pemilu, khususnya pencalonan. Rekomendasi yang dikeluarkan oleh Bawaslu kepada KPU dijamin oleh undang undang, sehingga seluruh pemangku kepentingan pemilu dan masyarakat dapat mengadvokasi kebijakan tersebut.
Langkah pertama yang dapat dilakukan Bawaslu yaitu melakukan konsolidasi dengan pemantau pemilu dengan masyarakat untuk memiliki persepsi yang sama dalam memahami permasalahan ini. Beberapa poin yang dapat menjadi masukan dilakukan oleh Bawaslu dalam rekomendasi yang perlu diberikan kepada KPU di antaranya:
1. Meminta KPU membuka akses Silon seluas-luasnya bagi pengawas pemilu agar dapat membaca seluruh elemen data sebagai persyaratan verifikasi administrasi. Dengan begitu, pengawas pemilu dapat mencermati dan melakukan pencegahan terhadap pelanggaran dan potensi sengketa proses pemilu selama proses pencalonan berlangsung.
2. KPU membuka daftar bakal caleg yang mengemban jabatan publik atau profesi yang diwajibkan mengundurkan diri sesuai undang-undang. Pembukaan profesi bakal caleg dilakukan saat dan setelah masa pengajuan hingga sebelum penetapan Daftar Calon Sementara (DCS).
Bawaslu juga perlu mengajak pemantau dan masyarakat agar dapat melapor apabila mendapati bakal caleg yang memiliki jabatan, pekerjaan, profesi yang diwajibkan mengundurkan diri. Selain itu, pemerintah secara serius juga perlu segera mengeluarkan kebijakan terkait kewajiban cuti dan/atau pengunduran diri oleh seluruh pejabat publik yang diajukan sebagai bacalon berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
(abd)