Pajak Netflix dan Kontrol Konten
loading...
A
A
A
PENIKMAT hiburan, terutama masyarakat penonton film, semakin termanjakan lewat Netflix yang kini bisa dinikmati kapan saja. Sebaliknya, Netflix perusahaan yang berasal dari Amerika Serikat (AS) itu telah memasuki pasar empuk yang bisa semakin memperbesar pundi-pundinya. Karena itu, Pemerintah Indonesia memandang Netflix sebagai penyedia layanan media streaming tidak adil bila hanya meraih keuntungan sepihak. Biar adil, pemerintah telah menetapkan semua perusahaan digital dari luar negeri yang mengeruk pendapatan dalam negeri wajib membayar pajak, tak terkecuali Netflix. Setelah melalui pembicaraan yang melelahkan, pihak Netflix pun tunduk pada peraturan pajak di Indonesia. Dan, Netflix resmi dikenai pajak terhitung pada 1 Agustus mendatang.
Sayang, Pemerintah Indonesia rupanya masih harus bersabar untuk mendapatkan bagian pajak dari Netflix. Presiden AS Donald Trump menolak kebijakan pajak yang dikenakan pada perusahaan digital dari AS yang sudah beroperasi secara global. Dalam pembahasan soal pajak perusahaan digital pada pertemuan kelompok 20 negara ekonomi utama (The Group of Twenty/G20) belum lama ini, sebagaimana dibeberkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, pihak AS tidak menyetujui sejumlah aturan. Padahal, beberapa perusahaan digital besar asal Negeri Paman Sam sudah tidak keberatan, seperti Netflix, Spotify, hingga Google. Karena itu, terkait perpajakan internasional, pihak G20 mendorong terealisasinya konsensus global menghadapi tantangan perpajakan digital, mulai dari review atas implementasi global prinsip-prinsip Base Erosion and Profit Shifting (BEFS).
Masuknya Netflix ke pasar Indonesia menyusul sejumlah perusahaan digital raksasa asal AS lainnya memang wajib mendapat perhatian dari pemerintah, terkait dengan perpajakan. Untuk memajaki perusahaan digital seperti Netflix, Google, hingga Sportify bukan persoalan gampang karena statusnya perusahaan asing dan aturan boleh dikata masih meraba-raba. Persoalan penarikan pajak pada perusahaan digital raksasa tidak hanya terkendala di Indonesia, tetapi juga dirasakan negara lainnya. Sekadar informasi, Netflix adalah penyedia layanan streaming digital. Perusahaan yang didirikan pada 1997 oleh Reed Hasting and Marc Randolph, model bisnisnya diawali sebagai penjualan DVD dan rental melalui pengiriman. Dan, 10 tahun kemudian Netflix mengenalkan media streaming. Kini, Netflix yang berkantor pusat di Los Gatos, California, telah beroperasi di 190 negara.
Kembali kepada persoalan pengenaan pajak pada perusahaan digital asing, pemerintah sudah menyiapkan payung hukumnya melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 20/2020. Merujuk pada regulasi yang dikeluarkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) itu, pemerintah akan menarik pajak pertambahan nilai (PPN) untuk aplikasi digital luar negeri yang menjual produk di Indonesia sebesar 10% dari total nilai barang. Sebanyak enam perusahaan digital raksasa itu mulai dari Netflix International B.V, Amazon Web Services Inc, Google Asia Pacific Pte.Ltd, Google Ireland Ltd, Google LLC, hingga Spotify AB, resmi ditunjuk sebagai pemungut, pelapor, dan penyetor PPN terhadap barang dan jasa digital yang dijual di Indonesia. Langkah pemerintah memajaki perusahaan digital internasional mendapat apresiasi dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sebagai bagian dari upaya menciptakan kesetaraan berusaha bagi semua pelaku usaha.
Meski perangkat hukumnya sudah siap untuk penarikan pajak perusahaan digital yang beroperasi di Indonesia, pandangan akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Adrianto Dwi Nugroho rada pesimistis untuk membuahkan hasil. Pasalnya, perusahaan digital yang dikenai pajak tidak berada di Indonesia. Selain itu, masih menurut Adrianto, skema penarikan pajak yang diterapkan termasuk baru di mana perusahaan digital dari luar negeri menjadi pemungut, penyetor, dan pelapor PPN atas barang dan jasa yang dijualnya, ini sebuah persoalan tersendiri. Kendala lainnya adalah kesepakatan antarnegara untuk menarik pajak perusahaan digital asing belum ada. Kini, persoalan tersebut menjadi agenda tersendiri negara yang tergabung dalam G20 untuk mencari kesepakatan.
Selain persoalan pajak, pemerintah juga tidak boleh abai pada tayangan berbasis internet seperti bisnis Netflix terkait isi atau konten tayangan. Hal ini tidak bisa dihindari mengingat layanan tayangan berbasis internet menjadi model bisnis baru pada industri penyiaran. Sejumlah pihak menilai perusahaan digital dengan layanan tayangan berbasis internet harus tunduk pada Undang-Undang (UU) Penyiaran. Dengan catatan, UU Penyiaran harus diperbaharui yang bisa mengakomodasi platform baru itu. Dengan demikian, pemerintah bisa mengawasi dan mengontrol konten yang disuguhkan oleh perusahaan digital dengan baik. Sejumlah negara sudah melakukan kontrol, di antaranya Turki dan Singapura. Saat ini, beberapa lembaga sudah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait definisi penyiaran pada UU Penyiaran. Semoga pemerintah bijak menyikapinya.
Sayang, Pemerintah Indonesia rupanya masih harus bersabar untuk mendapatkan bagian pajak dari Netflix. Presiden AS Donald Trump menolak kebijakan pajak yang dikenakan pada perusahaan digital dari AS yang sudah beroperasi secara global. Dalam pembahasan soal pajak perusahaan digital pada pertemuan kelompok 20 negara ekonomi utama (The Group of Twenty/G20) belum lama ini, sebagaimana dibeberkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, pihak AS tidak menyetujui sejumlah aturan. Padahal, beberapa perusahaan digital besar asal Negeri Paman Sam sudah tidak keberatan, seperti Netflix, Spotify, hingga Google. Karena itu, terkait perpajakan internasional, pihak G20 mendorong terealisasinya konsensus global menghadapi tantangan perpajakan digital, mulai dari review atas implementasi global prinsip-prinsip Base Erosion and Profit Shifting (BEFS).
Masuknya Netflix ke pasar Indonesia menyusul sejumlah perusahaan digital raksasa asal AS lainnya memang wajib mendapat perhatian dari pemerintah, terkait dengan perpajakan. Untuk memajaki perusahaan digital seperti Netflix, Google, hingga Sportify bukan persoalan gampang karena statusnya perusahaan asing dan aturan boleh dikata masih meraba-raba. Persoalan penarikan pajak pada perusahaan digital raksasa tidak hanya terkendala di Indonesia, tetapi juga dirasakan negara lainnya. Sekadar informasi, Netflix adalah penyedia layanan streaming digital. Perusahaan yang didirikan pada 1997 oleh Reed Hasting and Marc Randolph, model bisnisnya diawali sebagai penjualan DVD dan rental melalui pengiriman. Dan, 10 tahun kemudian Netflix mengenalkan media streaming. Kini, Netflix yang berkantor pusat di Los Gatos, California, telah beroperasi di 190 negara.
Kembali kepada persoalan pengenaan pajak pada perusahaan digital asing, pemerintah sudah menyiapkan payung hukumnya melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 20/2020. Merujuk pada regulasi yang dikeluarkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) itu, pemerintah akan menarik pajak pertambahan nilai (PPN) untuk aplikasi digital luar negeri yang menjual produk di Indonesia sebesar 10% dari total nilai barang. Sebanyak enam perusahaan digital raksasa itu mulai dari Netflix International B.V, Amazon Web Services Inc, Google Asia Pacific Pte.Ltd, Google Ireland Ltd, Google LLC, hingga Spotify AB, resmi ditunjuk sebagai pemungut, pelapor, dan penyetor PPN terhadap barang dan jasa digital yang dijual di Indonesia. Langkah pemerintah memajaki perusahaan digital internasional mendapat apresiasi dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sebagai bagian dari upaya menciptakan kesetaraan berusaha bagi semua pelaku usaha.
Meski perangkat hukumnya sudah siap untuk penarikan pajak perusahaan digital yang beroperasi di Indonesia, pandangan akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Adrianto Dwi Nugroho rada pesimistis untuk membuahkan hasil. Pasalnya, perusahaan digital yang dikenai pajak tidak berada di Indonesia. Selain itu, masih menurut Adrianto, skema penarikan pajak yang diterapkan termasuk baru di mana perusahaan digital dari luar negeri menjadi pemungut, penyetor, dan pelapor PPN atas barang dan jasa yang dijualnya, ini sebuah persoalan tersendiri. Kendala lainnya adalah kesepakatan antarnegara untuk menarik pajak perusahaan digital asing belum ada. Kini, persoalan tersebut menjadi agenda tersendiri negara yang tergabung dalam G20 untuk mencari kesepakatan.
Selain persoalan pajak, pemerintah juga tidak boleh abai pada tayangan berbasis internet seperti bisnis Netflix terkait isi atau konten tayangan. Hal ini tidak bisa dihindari mengingat layanan tayangan berbasis internet menjadi model bisnis baru pada industri penyiaran. Sejumlah pihak menilai perusahaan digital dengan layanan tayangan berbasis internet harus tunduk pada Undang-Undang (UU) Penyiaran. Dengan catatan, UU Penyiaran harus diperbaharui yang bisa mengakomodasi platform baru itu. Dengan demikian, pemerintah bisa mengawasi dan mengontrol konten yang disuguhkan oleh perusahaan digital dengan baik. Sejumlah negara sudah melakukan kontrol, di antaranya Turki dan Singapura. Saat ini, beberapa lembaga sudah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait definisi penyiaran pada UU Penyiaran. Semoga pemerintah bijak menyikapinya.
(ras)