Jarang Orang Tahu, Ternyata Jenderal AD Ini yang Populerkan Istilah Post Power Syndrome
loading...
A
A
A
JAKARTA - Istilah post power syndrome tidak asing bagi telinga banyak orang. Tapi, tahukah Anda ternyata yang memopulerkan kata-kata itu di Indonesia ternyata seorang jenderal top TNI Angkatan Darat ?
Sosok tersebut yakni mendiang Jenderal TNI Raden Widodo . Tentara lulusan pendikan Pembela Tanah Air atau Peta (Gunjin Kyoren) di Bogor tersebut pernah menjabat Pangdam VII/Diponegoro (1970-1973), Panglima Kowilhan I/Sumatera (1973-1974), Panglima Kowilhan II/Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara (1974-1977) dan puncaknya, sebagai Kepala Staf Angkatan Darat atau KSAD periode 1 Januari 1978-30 April 1980.
Lahir dari keturunan ningrat, tak banyak orang mengira Widodo bakal menembus jenderal bintang empat. Maklum, pernah satu masa kariernya berjalan sangat lambat. Tak kurang dari 11 tahun dari 1945 sampai 1956 dia harus menyandang pangkat kapten.
Pada 1957, anak kedua dari pasangan RM Taruno Hartono dan RAJ Rukmiati itu berkesempatan mengikuti pendidikan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat atau SSKD (kini lazim disebut Seskoad). Setelahnya dia didapuk sebagai instruktur di lembaga pendidikan bagi para perwira matra Darat itu.
“Posisi itu disandangnya 8 tahun dari 1957 sampai 1963. Di antara mereka yang dia ajar adalah bekas komandannya, Soeharto,” ujar David Jenkins dalam buku ’Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983’, dikutip Rabu (24/5/2023).
Dari situ perlahan kariernya terus merambat naik. Serdadu yang pernah mengenyam keras dan disiplinnya pendidikan di Fort Benning, Amerika Serikat itu berturut-turut dipercaya sebagai Pangdam III/17 Agustus, Pangdam Diponegoro, Pangkowilhan I, dan Pangkowilhan II. Setelah itu dia dipercaya Presiden Soeharto menjabat KSAD menggantikan Jenderal TNI Makmun Murod.
“Dengan telah diangkatnya sebagai KSAD, berarti perjalanan karier Letjen TNI Widodo meningkat pada jenjang tertinggi di lingkungan TNI AD. Sebagai konsekuensi logis, tanggung jawabnya pun semakin berat,” tulis Dinas Sejarah Angkatan Darat dalam buku biograf ‘Jenderal TNI R Widodo, Potret Dedikasi Seorang Prajurit kepada Bangsa’.
Jenderal TNI Widodo mendapat ucapan Selamat saat dilantik sebagai KSAD. Foto/Khastara Perpusnas
Post Power Syndrome
Dikenal sebagai jenderal lincah dengan keberanian dan intelektual, salah satu hal paling mencolok yang dilakukan KSAD R Widodo yakni pembentukan Forum Komunikasi (Fosko) TNI AD. Forum ini sebenarnya ruang bagi para purnawirawan TNI AD untuk memberik masukan dan menyampaikan unek-unek mereka kepada pimpinan AD.
Menjadi masalah lantaran anggota Fosko TNI AD kebanyakan purnawirawan jenderal yang selama ini sangat galak terhadap Soeharto. Sebut saja misalnya Letjen TNI (Purn) GPH Djatikoesoemo, Letjen TNI (Purn) M Jassin, Mayjen TNI (Purn) Achmad Sukendro, hingga Letjen TNI (Purn) HR Dharsono.
Namun di luar itu ada catatan menarik mengenai sosok Widodo. Panglima ABRI Jenderal TNI M Jusuf (menjabat 29 Maret 1978-19 Maret 1983) mendefinisikan mantan anak buahnya itu sebagai orang yang memopulerkan istilah post power syndrome.
Menurut penulis Atmadji Sumarkidjo, media massa kerap mengutip imbauan Widodo kepada para anggota TNI yang hendak pensiun agar tidak dihinggapi gejala post power syindrome. Nyatanya, istilah itu kemudian terus berguli dan akrab di telinga masyarakat luas.
“Istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh Jenderal Widodo itu masih populer dipergunakan sampai sekarang,” kata Atmadji dalam buku biografi setebal 458 berjudul “Jenderal M Jusuf, Panglima Para Prajurit’ tersebut.
Mengutip laman resmi Kementerian Kesehatan, post power syndrome adalah gejala yang terjadi ketika seseorang yang hidup dalam bayang-bayang kebesarannya di masa lalu seakan-akan belum mampu menerima perubahan yang terjadi dalam dirinya.
Gejalan post power syndrome antara lain meliputi: rasa kurang bergairah, sakit-sakitan, mudah tersinggung, murung, tidak suka dibantah, banyak bicara tentang kehebatannya di masa lalu, senang menyerang pendapat orang lain serta mengkritik/mencela, dan tidak mau kalah.
Meski pernah dekat dengan Soeharto, umur jabatan Widodo sebagai orang nomor satu di TNI AD tak sampai dua tahun. Keberadaan Fosko membuat penguasa Orde Baru tak nyaman. Alhasil, Widodo pun diganti.
Mantan Danrem 072/Pamungkas Kodam VII /Diponegoro (1965) tersebut meninggal dunia di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat pada 19 Februari 1993. Tentara yang dikenal dengan berbagai pemikiran dan terobosan itu dimakamkan dengan upacara militer di Pakuncen, Yogyakarta.
Sosok tersebut yakni mendiang Jenderal TNI Raden Widodo . Tentara lulusan pendikan Pembela Tanah Air atau Peta (Gunjin Kyoren) di Bogor tersebut pernah menjabat Pangdam VII/Diponegoro (1970-1973), Panglima Kowilhan I/Sumatera (1973-1974), Panglima Kowilhan II/Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara (1974-1977) dan puncaknya, sebagai Kepala Staf Angkatan Darat atau KSAD periode 1 Januari 1978-30 April 1980.
Lahir dari keturunan ningrat, tak banyak orang mengira Widodo bakal menembus jenderal bintang empat. Maklum, pernah satu masa kariernya berjalan sangat lambat. Tak kurang dari 11 tahun dari 1945 sampai 1956 dia harus menyandang pangkat kapten.
Pada 1957, anak kedua dari pasangan RM Taruno Hartono dan RAJ Rukmiati itu berkesempatan mengikuti pendidikan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat atau SSKD (kini lazim disebut Seskoad). Setelahnya dia didapuk sebagai instruktur di lembaga pendidikan bagi para perwira matra Darat itu.
“Posisi itu disandangnya 8 tahun dari 1957 sampai 1963. Di antara mereka yang dia ajar adalah bekas komandannya, Soeharto,” ujar David Jenkins dalam buku ’Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983’, dikutip Rabu (24/5/2023).
Dari situ perlahan kariernya terus merambat naik. Serdadu yang pernah mengenyam keras dan disiplinnya pendidikan di Fort Benning, Amerika Serikat itu berturut-turut dipercaya sebagai Pangdam III/17 Agustus, Pangdam Diponegoro, Pangkowilhan I, dan Pangkowilhan II. Setelah itu dia dipercaya Presiden Soeharto menjabat KSAD menggantikan Jenderal TNI Makmun Murod.
“Dengan telah diangkatnya sebagai KSAD, berarti perjalanan karier Letjen TNI Widodo meningkat pada jenjang tertinggi di lingkungan TNI AD. Sebagai konsekuensi logis, tanggung jawabnya pun semakin berat,” tulis Dinas Sejarah Angkatan Darat dalam buku biograf ‘Jenderal TNI R Widodo, Potret Dedikasi Seorang Prajurit kepada Bangsa’.
Jenderal TNI Widodo mendapat ucapan Selamat saat dilantik sebagai KSAD. Foto/Khastara Perpusnas
Post Power Syndrome
Dikenal sebagai jenderal lincah dengan keberanian dan intelektual, salah satu hal paling mencolok yang dilakukan KSAD R Widodo yakni pembentukan Forum Komunikasi (Fosko) TNI AD. Forum ini sebenarnya ruang bagi para purnawirawan TNI AD untuk memberik masukan dan menyampaikan unek-unek mereka kepada pimpinan AD.
Menjadi masalah lantaran anggota Fosko TNI AD kebanyakan purnawirawan jenderal yang selama ini sangat galak terhadap Soeharto. Sebut saja misalnya Letjen TNI (Purn) GPH Djatikoesoemo, Letjen TNI (Purn) M Jassin, Mayjen TNI (Purn) Achmad Sukendro, hingga Letjen TNI (Purn) HR Dharsono.
Namun di luar itu ada catatan menarik mengenai sosok Widodo. Panglima ABRI Jenderal TNI M Jusuf (menjabat 29 Maret 1978-19 Maret 1983) mendefinisikan mantan anak buahnya itu sebagai orang yang memopulerkan istilah post power syndrome.
Menurut penulis Atmadji Sumarkidjo, media massa kerap mengutip imbauan Widodo kepada para anggota TNI yang hendak pensiun agar tidak dihinggapi gejala post power syindrome. Nyatanya, istilah itu kemudian terus berguli dan akrab di telinga masyarakat luas.
“Istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh Jenderal Widodo itu masih populer dipergunakan sampai sekarang,” kata Atmadji dalam buku biografi setebal 458 berjudul “Jenderal M Jusuf, Panglima Para Prajurit’ tersebut.
Mengutip laman resmi Kementerian Kesehatan, post power syndrome adalah gejala yang terjadi ketika seseorang yang hidup dalam bayang-bayang kebesarannya di masa lalu seakan-akan belum mampu menerima perubahan yang terjadi dalam dirinya.
Gejalan post power syndrome antara lain meliputi: rasa kurang bergairah, sakit-sakitan, mudah tersinggung, murung, tidak suka dibantah, banyak bicara tentang kehebatannya di masa lalu, senang menyerang pendapat orang lain serta mengkritik/mencela, dan tidak mau kalah.
Meski pernah dekat dengan Soeharto, umur jabatan Widodo sebagai orang nomor satu di TNI AD tak sampai dua tahun. Keberadaan Fosko membuat penguasa Orde Baru tak nyaman. Alhasil, Widodo pun diganti.
Mantan Danrem 072/Pamungkas Kodam VII /Diponegoro (1965) tersebut meninggal dunia di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat pada 19 Februari 1993. Tentara yang dikenal dengan berbagai pemikiran dan terobosan itu dimakamkan dengan upacara militer di Pakuncen, Yogyakarta.
(kri)