Ketersediaan Pangan Kunci Ketahanan Nasional di Masa Pandemi Covid-19

Kamis, 23 Juli 2020 - 11:19 WIB
loading...
Ketersediaan Pangan...
Presiden Jokowi bersama dengan Menhan Prabowo Subianto saat meninjau food estate atau lumbung pangan di Kalimantan Tengah. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pemerintah Indonesia mencanangkan pembangunan food estate atau lumbung pangan di Kalimantan Tengah. Langkah tersebut dilakukan sebagai upaya mengantisi krisis pangan dalam negeri akibat pandemi Covid-19. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjuk Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto sebagai penanggung jawab untuk menyukseskan program tersebut.

Sejumlah pakar sepakat ketersediaan dan keterjangkauan pangan menjadi faktor kunci sukses ketahanan nasional di masa dan pascapandemi Covid-19. Pemerhati ekonomi lokal Marcelino Pandin mengingatkan resesi dan ketahanan pangan berkelindan, karena dengan adanya resesi akan banyak PHK, perekonomian yang akan terpuruk, daya beli masayarakat menurun, harga-harga akan meningkat. Apabila pasokan kurang dan daya beli masayarakat menurun, maka akan memengaruhi stabilitas sosial ekonomi dan politik. (Baca juga infografis: Pemerintah Kembangkan Food Estate untuk Ketahanan Pangan)

Adanya pandemic Covid-19 juga berpengaruh terhadap produksi pangan dalam negeri. Di sisi lain negara-negara yang selama ini sumber impor pangan Indonesia, khususnya beras juga mengalami hal yang sama sehingga negara-negara tersebut tentunya akan mementingkan kebutuhan pangan dalam negeri mereka sendiri. Di sisi lain impor pangan juga akan menguras devisa. Pada lima tahun terakhir untuk mengimpor beras dan gandum saja telah merogoh devisa negara sebesar antara USD1,5 sampai USD2,8 miliar.

Untuk pemenuhan pasokan pangan dalam rangka ketahanan pangan, pemerintah merencanakan membangun food estate di Kalimantan Tengah yang terdiri atas lahan intensifikasi seluas 85.456 ha dan lahan ekstensifikasi seluas 79.142 ha, termasuk dari lahan gambut. (Baca juga: Atasi Masalah Pangan, Duet Prabowo-Trenggono Garap Food Estate Sudah Tepat)

Seperti diketahui, pandemi Covid-19 telah berdampak besar pada berbagai pilar kehidupan di hampir seluruh dunia. Selain aspek kesehatan, masalah besar yang akan dihadapi akibat Covid-19 adalah resesi ekonomi dan kekurangan pangan. IMF bahkan telah merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia hanya dalam waktu dua bulan. Sebagai contoh pada April 2020 memproyeksikan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,5 %, tapi pada Juni 2020 IMF memproyeksikan -0,3 %.

Skema pemulihan ekonomi nasional rentan terhadap inflasi termasuk di komoditas pangan. FAO pada April 2020 sudah memperingatkan akan terjadi kekurangan di berbagai belahan dunia. Presiden Jokowi merspons hal itu dengan memerintahkan menteri-menterinya untuk mengelola pasokan pangan agar jangan sampai kekurangan pangan.

Pakar bidang pengembangan wilayah perdesaan Sugeng Budiraharsono mencatat ide food estate bukan hal baru, pada 1970- an PT. Patra Tani telah melakukan hal tersebut di Sumatera Selatan. Kemudian pada 1995 juga telah dilakukan proyek Pengembangan Lahan gambut satu juta hektare.

Selain itu, pada 2010 juga direncanakan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) seluas 1,2 juta hektare. Namun ketiga proyek pengembangan food estate tersebut saat ini nyaris tak terdengar. Barangkali sebelum melaksanakan proyek food estate lagi, perlu memahami pembelajaran yang baik dan jelek dari ketiga proyek food estate tersebut.

Sugeng Budiharsono menyarakan ada beberapa hal sebagai penentu keberhasilan food estate. Apalagi food estate modern antara lain hardware, orgware, brainware dan software. Hardware berkaitan dengan ketersediaan infrastruktur dan teknologi budiaya, pengolahan, sampai rekayasa kesesuaian lahan dan iklim mikro.

Orgware berkaitan dengan rekayasa sosial budaya dan kelembagaan masyarakat yang bermitra dengan dunia usaha dengan dukungan dari lembaga pemerintah. Software berkaitan dengan lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi, pendidikan dan pelatihan dan pengetahuan masyarakat. Sedangkan brainware berkaitan dengan sumber daya manusia untuk menghasilkan kreativitas dan inovasi.

Kempat hal ini saling terkait dan akan meningkatkan daya saing dari produk-produk yang dihasilkan oleh food estate tersebut. Namun dari keempat hal tersebut pakar yang malang melintang di dunia pengembangan organisasi masyarakat perdesaan Mirwanto Manuwiyoto mengingatkan hal tersebut memerlukan waktu lama dan ketekunan adalah untuk mempersiapkan orgware dan brainware. Padahal masalah kekurangan pangan sudah menghadang di depan mata.

Demikian pula Oon Kurniaputra dan Arsyad Nurdin ahli tanah dan transmigrasi daerah 3T (terluar, terdepan dan tertinggal) menganalisis pemetaan kabupaten/kota yang rentan pangan yang dilakukan oleh Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, bahkan daerah rawan pangan (kategori 1, 2 dan 3) sebagian besar bukan berada di Kalimantan Tengah, namun di Papua dan Papua Barat. Jarak yang jauh dari kedua daerah tersebut tentu akan berpengaruh terhadap rantai pasoknya. Apalagi barang-barang pertanian memiliki sifat mudah rusak, volumeous dan bulky dan ini akan membawa konsekuensi terhadap tingginya biaya transportasi.

Kelima pakar tersebut sepakat bahwa dalam menghadapi masalah kekurangan pangan ada strategi jangka pendek dan jangka panjang. Strategi jangka pendek antara lain pertama, rumah tangga agar menyimpan bahan pangan untuk jangka waktu dua tiga bulan ke depan, atau bagi masyarakat yang mengonsumsi beras, sampai panen musim gadu. Hal ini sesuai dengan paradigma baru bahwa ketahanan pangan titik beratnya bukan kepada ketahanan pangan nasional tapi lebih kepada ketahanan pangan rumah tangga.

Kedua, memanfaatkan instrumen Dana Desa untuk membeli gabah yang masih ada pada akhir musim panen ini dan panen musim gadu pada beberapa bulan mendatang, merevitalisasi bangunan yang tidak digunakan untuk lumbung desa ataupun lumbung komunitas.

Pengelolaan mulai dari pembeliaan gabah, pengolahan menjadi beras, sampai pemasaran berasnya diserahkan kepada BUMDES. Ketiga, pemanfaatan lahan pekarangan untuk penyediaan pangan.

Sedangkan strategi jangka panjang dalam rangka ketahanan pangan adalah, pengembangan food estate pada lahan sawah yang sudah ada yang berbasis klaster dan inovasi untuk dapat meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing produk dan wilayah; Pengembangan food estate ini tentunya diutamakan pada daerah-daerah yang rawan pangan dan daerah sekitarnya;

Kemudian, mengurangi konsumsi beras, dimana masyarakat didorong untuk memakan sayuran. Selain itu, mengurangi impor gandum maka pemerintah agar memberikan afirmasi kebijakan untuk penggunaan Modified Cassava Flour (MOCAF) yang berbasis bahan baku singkong, sebagai campuran terigu.

Terakhir adalah meningkatkan daya coping mechanism masyarakat dalam ketahanan pangan. Disamping itu gagasan tentang Metropolitan Food Cluster juga patut untuk dikembangkan khususnya mengantisipasi krisis pangan di perkotaan yang memiliki keunggulan pada rantai pasok yang efisien dan produktif.
(cip)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1080 seconds (0.1#10.140)