Industri Hukum Suatu Kenyataan Pahit Penegakan Keadilan di Masyarakat
loading...
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
FENOMENA terjadinya peristiwa “jual-beli perkara”, menjamurnya mafia dalam penegakan hukum, baik dalam bidang pertanahan, pertambangan, maupun dalam bidang perikanan dan perkebunan serta keterlibatan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam perkara korupsi menjadi kenyataan pahit. Badan usaha negara yang diharapkan menjadi salah satu sumber penerimaan negara akan tetapi selalu menelan kerugian keuangannya setiap tahun mencerminkan bahwa sistem manajemen pengelolaan lembaga negara dalam peyelenggaran pemerintahan di Indonesia sangat buruk.
Sekalipun tidak semua BUMN sedemikian, akan tetapi BUMN tidak terbebas dari mafia hukum. Peristiwa hukum yang terjadi dalam enam bulan terakhir seperti kasus narkoba yang melibatkan seorang jenderal polisi dan bawahannya serta suap yang terjadi di Mahkamah Agung (MA) saat ini merupakan puncak gunung es yang telah lama terjadi tanpa koreksi dan hukuman yang tegas terhadap para pelakunya.
Sehingga keadaan sedemikian tampak belum memunculkan perubahan mendasar terutama dari segi etika, sikap moral aparatur hukumnya, dan ASN yang diisi oleh norma agama dan kesusilaan tentang baik dan buruk, tercela dan tidak tercela. Kelemahan utama di dalam penegakan hukum tidak terletak pada norma UU yang menjadi landasannya melainkan terletak pada moralitas dan etika aparatur penegak hukumnya termasuk hakim.
Peristiwa demi peristiwa sebagaimana digambarkan di atas menceminkan telah terjadi kemandulan rasa malu (feeling ashamed) dan rasa bersalah (feeling guilty) pada beberapa oknum penyelenggara negara terutama pada aktor-aktor penegakan hukum. Karakter buruk tersebut merupakan embrio yang sudah membusuk yang harus segera diaborsi agar tidak menumbuhkan generasi bangsa dengan etika dan moralitas agama serta moralitas sosial yang mencapai titik nadir.
Buah dari embrio tersebut telah terbukti selain dari berbagai kasus korupsi di atas juga diperparah adanya percaloan dalam berperkara yang diinisiasi oleh oknum penasihat hukum bekerja sama dengan oknum panitera majelis hakim sehingga terbentuk suatu jaringan terorganisasi yang secara sistematis telah menarik keuntungan (financial benefit) yang diisap dari orang yang berperkara.
Pihak yang seharusnya menang dikalahkan atau sebalinya pihak yang seharusnya kalah berperkara, dimenangkan. Betapa kecewa dan sedih para pencari keadilan jika terjebak ke dan di dalam jaringan mafia peradilan ini dan ke mana lagi harus mengadukan nasibnya yang tidak menentu termasuk masa depannya.
Pemeo bahwa pengadilan adalah bentengnya keadilan telah runtuh. Pemerasan yang terjadi oleh oknum-oknum Apgakum dalam proyek-proyek pembangunan infrastruktur membuktikan bahwa dalam pemberantasan korupsi telah digunakan “sapu-sapu kotor”.
Temuan BPK dalam praktik masih dapat dinegosiasi dalam dua jenis pilihan, disclaimer atau WTP, dan negosiasi tersebut dipastikan diimbali dengan sejumlah dana. Berkaca pada peristiwa-peristiwa hukum tersebut, kondisi kekinian hukum dan penegakannya telah memasuki suatu dunia “industri hukum” (Mahfud MD).
Hal ini berjalan mulus sejak lama disebabkan sistem peradilan pidana yang dibangun terbukti keliru memahmi hukum hanya dari sisi kebenaran formil semata, tidak dari yang seharusnya kebenaran materil; apa yang tampak secara formal benar, dalam hukum pidana tidak serta benar secara materil. Parasit ketidakadilan yang telah lama bercokol di dalam sistem peradilan pidana di Indonesia layaknya kanker ganas yang sulit diobati; jika tidak pada UU-nya pada aparatur hukumnya.
Fakta telanjang yang menggambarkan kebobrokan kinerja penyelenggara negara dalam bidang hukum sampai saat ini belum ditemukan solusi yang tepat, sistematis, terorganisasi, dan berdaya guna. Solusi dari kemelut tersebut terpulang kepada para ahli hukum pidana dan petinggi hukum yang bertanggung jawab atas masalah ini dan semua terpulang kepada keterpanggilan nurani Apgakum untuk berbenah diri secara aktif tanpa pamrih, tanpa harus ada tekanan publik (LSM).
Pedoman penyelenggaraan negara yang bersih dan berwibawa telah dikeluarkan atau good governance, serta juga bagi pihak swasta atau good corporate governance atau business judgment rule (BJR). Namun tetap saja stagnan tidak menunjukkan perubahan dan kemajuan yang berarti dan memberikan nilai tambah dalam kehidupan masyarakat.
Kesungguhan nurani yang dilandasi nilai agama, moralitas dan etika seharusnya menjadi panduan --internal guiding principles-- melekat pada masing-masing pribadi aparatur penyelenggara negara khusus di bidang Hukum. Berbagai perannya mengenai inter-relasi antara hukum dan moralitas di kalangan akademisi hukum terutama di dunia barat merupakan contoh baik bahwa di dalam lingkungan liberalisme yang penuh kebebasan dan persaingan sehat pun masih dipersoalkan masalah hubungan kesusilaan dan hukum serta pengaruh etika, moral, dan nilai-nilai agama ke dalam proses pembentukan suatu UU.
Keadaan berbeda di masyarakat timur khususnya Indonesia, dimana nilai-nilai adat dan nilai agama terbenam kuat dan berakar kuat yang secara turun-temurun diwariskan oleh nenek moyang kita sampai saat ini. Indonesia adalah negara hukum yang dilandaskan Pancasila jelas tercantum di dalam Konstitusi UUD 45 yang menunjukkan bahwa karakter musyawarah dan mufakat serta hidup dalam damai merupakan cita kepastian hukum dalam keadilan dan bahwa hukum harus diperlakukan sama terhadap setiap orang terlepas dari status sosial dalam masyarakat.
Solusi dari masalah industri hukum di negri ini sangat dipengaruhi oleh seberapa dalam pemahaman pimpinan nasional dan jajaran pejabat tinggi dalam memandang hukum sebagai suatu nilai (values) dalam pergaulan sosial dan praktik ketatanegaraan kita. Jika jawabannya belum sama sekali maka semakin jauh cita-cita kepastian hukum yang adil dapat diraih bangsa ini. Begitupula sebaliknya.
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
FENOMENA terjadinya peristiwa “jual-beli perkara”, menjamurnya mafia dalam penegakan hukum, baik dalam bidang pertanahan, pertambangan, maupun dalam bidang perikanan dan perkebunan serta keterlibatan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam perkara korupsi menjadi kenyataan pahit. Badan usaha negara yang diharapkan menjadi salah satu sumber penerimaan negara akan tetapi selalu menelan kerugian keuangannya setiap tahun mencerminkan bahwa sistem manajemen pengelolaan lembaga negara dalam peyelenggaran pemerintahan di Indonesia sangat buruk.
Sekalipun tidak semua BUMN sedemikian, akan tetapi BUMN tidak terbebas dari mafia hukum. Peristiwa hukum yang terjadi dalam enam bulan terakhir seperti kasus narkoba yang melibatkan seorang jenderal polisi dan bawahannya serta suap yang terjadi di Mahkamah Agung (MA) saat ini merupakan puncak gunung es yang telah lama terjadi tanpa koreksi dan hukuman yang tegas terhadap para pelakunya.
Sehingga keadaan sedemikian tampak belum memunculkan perubahan mendasar terutama dari segi etika, sikap moral aparatur hukumnya, dan ASN yang diisi oleh norma agama dan kesusilaan tentang baik dan buruk, tercela dan tidak tercela. Kelemahan utama di dalam penegakan hukum tidak terletak pada norma UU yang menjadi landasannya melainkan terletak pada moralitas dan etika aparatur penegak hukumnya termasuk hakim.
Peristiwa demi peristiwa sebagaimana digambarkan di atas menceminkan telah terjadi kemandulan rasa malu (feeling ashamed) dan rasa bersalah (feeling guilty) pada beberapa oknum penyelenggara negara terutama pada aktor-aktor penegakan hukum. Karakter buruk tersebut merupakan embrio yang sudah membusuk yang harus segera diaborsi agar tidak menumbuhkan generasi bangsa dengan etika dan moralitas agama serta moralitas sosial yang mencapai titik nadir.
Buah dari embrio tersebut telah terbukti selain dari berbagai kasus korupsi di atas juga diperparah adanya percaloan dalam berperkara yang diinisiasi oleh oknum penasihat hukum bekerja sama dengan oknum panitera majelis hakim sehingga terbentuk suatu jaringan terorganisasi yang secara sistematis telah menarik keuntungan (financial benefit) yang diisap dari orang yang berperkara.
Pihak yang seharusnya menang dikalahkan atau sebalinya pihak yang seharusnya kalah berperkara, dimenangkan. Betapa kecewa dan sedih para pencari keadilan jika terjebak ke dan di dalam jaringan mafia peradilan ini dan ke mana lagi harus mengadukan nasibnya yang tidak menentu termasuk masa depannya.
Pemeo bahwa pengadilan adalah bentengnya keadilan telah runtuh. Pemerasan yang terjadi oleh oknum-oknum Apgakum dalam proyek-proyek pembangunan infrastruktur membuktikan bahwa dalam pemberantasan korupsi telah digunakan “sapu-sapu kotor”.
Temuan BPK dalam praktik masih dapat dinegosiasi dalam dua jenis pilihan, disclaimer atau WTP, dan negosiasi tersebut dipastikan diimbali dengan sejumlah dana. Berkaca pada peristiwa-peristiwa hukum tersebut, kondisi kekinian hukum dan penegakannya telah memasuki suatu dunia “industri hukum” (Mahfud MD).
Hal ini berjalan mulus sejak lama disebabkan sistem peradilan pidana yang dibangun terbukti keliru memahmi hukum hanya dari sisi kebenaran formil semata, tidak dari yang seharusnya kebenaran materil; apa yang tampak secara formal benar, dalam hukum pidana tidak serta benar secara materil. Parasit ketidakadilan yang telah lama bercokol di dalam sistem peradilan pidana di Indonesia layaknya kanker ganas yang sulit diobati; jika tidak pada UU-nya pada aparatur hukumnya.
Fakta telanjang yang menggambarkan kebobrokan kinerja penyelenggara negara dalam bidang hukum sampai saat ini belum ditemukan solusi yang tepat, sistematis, terorganisasi, dan berdaya guna. Solusi dari kemelut tersebut terpulang kepada para ahli hukum pidana dan petinggi hukum yang bertanggung jawab atas masalah ini dan semua terpulang kepada keterpanggilan nurani Apgakum untuk berbenah diri secara aktif tanpa pamrih, tanpa harus ada tekanan publik (LSM).
Pedoman penyelenggaraan negara yang bersih dan berwibawa telah dikeluarkan atau good governance, serta juga bagi pihak swasta atau good corporate governance atau business judgment rule (BJR). Namun tetap saja stagnan tidak menunjukkan perubahan dan kemajuan yang berarti dan memberikan nilai tambah dalam kehidupan masyarakat.
Kesungguhan nurani yang dilandasi nilai agama, moralitas dan etika seharusnya menjadi panduan --internal guiding principles-- melekat pada masing-masing pribadi aparatur penyelenggara negara khusus di bidang Hukum. Berbagai perannya mengenai inter-relasi antara hukum dan moralitas di kalangan akademisi hukum terutama di dunia barat merupakan contoh baik bahwa di dalam lingkungan liberalisme yang penuh kebebasan dan persaingan sehat pun masih dipersoalkan masalah hubungan kesusilaan dan hukum serta pengaruh etika, moral, dan nilai-nilai agama ke dalam proses pembentukan suatu UU.
Keadaan berbeda di masyarakat timur khususnya Indonesia, dimana nilai-nilai adat dan nilai agama terbenam kuat dan berakar kuat yang secara turun-temurun diwariskan oleh nenek moyang kita sampai saat ini. Indonesia adalah negara hukum yang dilandaskan Pancasila jelas tercantum di dalam Konstitusi UUD 45 yang menunjukkan bahwa karakter musyawarah dan mufakat serta hidup dalam damai merupakan cita kepastian hukum dalam keadilan dan bahwa hukum harus diperlakukan sama terhadap setiap orang terlepas dari status sosial dalam masyarakat.
Solusi dari masalah industri hukum di negri ini sangat dipengaruhi oleh seberapa dalam pemahaman pimpinan nasional dan jajaran pejabat tinggi dalam memandang hukum sebagai suatu nilai (values) dalam pergaulan sosial dan praktik ketatanegaraan kita. Jika jawabannya belum sama sekali maka semakin jauh cita-cita kepastian hukum yang adil dapat diraih bangsa ini. Begitupula sebaliknya.
(kri)