Koalisi Masyarakat Sipil Minta Revisi UU TNI Ditinjau Ulang

Rabu, 10 Mei 2023 - 10:28 WIB
loading...
A A A
"Dengan dihapusnya kewenangan pengerahan dan penggunaan TNI oleh Presiden di dalam UU TNI, hal ini menjadi berbahaya karena akan menempatkan pengerahan dan penggunaan TNI di luar persetujuan dan kontrol Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Hal ini tentu akan meletakkan fungsi TNI kembali seperti di masa lalu dimana TNI dapat bergerak dalam menghadapai masalah keamanan dalam negeri dengan dalih operasi militer selain perang tanpa mellaui keputusan presiden. Hal ini tentu melanggar prinsip supremasi sipil sebagai prinsip dasar dalam negara demokrasi dalam menata hubungan sipil-militer yang demokratis," papar Al Araf.

Lebih dalam, Al Araf menyatakan ada perluasan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Pasal 7 ayat 2 dan ayat 3 yang memperluas dan menambah cakupan OMSP menunjukkan paradigma dan keinginan politik untuk memperluas keterlibatan peran militer di luar sektor pertahanan negara.

Hal ini dapat dilihat dari penambahan 19 jenis OMSP dari yang sebelumnya berjumlah 14 jenis yang dapat dilakukan oleh TNI. Bahkan beberapa penambahan tersebut di antaranya tidak berkaitan dengan kompetensi militer, seperti penanggulangan narkotika, prekursor dan zat adiktif lainnya, serta dalam upaya mendukung pembangunan nasional.

"Adanya perluasan dan penambahan cakupan OMSP akan mendorong keterlibatan TNI yang semakin luas pada ranah sipil dan keamanan negeri, termasuk untuk mengamankan proyek-proyek pembangunan pemerintah," tuturnya.

Lebih dari itu, upaya perluasan keterlibatan peran TNI di luar sektor pertahanan negara dengan dalih OMSP juga dipermudah, mengingat adanya usulan perubahan bahwa dalam pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah (PP), tidak lagi berdasarkan keputusan politik negara, termasuk dalam hal ini otoritas DPR.

"Jika usulan perubahan ini diadopsi, hal ini menjadi berbahaya karena menempatkan pengerahan dan penggunaan pasukan TNI dalam konteks OMSP tidak bisa dikontrol dan diawasi oleh DPR," sebut Al Araf.

Di sisi lain, perluasan jabatan-jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif. Adanya usulan perubahan yang memberikan ruang bagi TNI untuk dapat menduduki jabatan sipil yang lebih banyak dan lebih luas sebagaimana tercantum dalam draft RUU Pasal 47 point 2 dapat membuka ruang kembalinya Dwi fungsi ABRI seperti yang pernah dipraktikan di era rezim otoritarian Orde Baru.

"Penting diingat, pada masa Orde baru, dengan dasar doktrin Dwifungsi ABRI, militer terlibat dalam politik praktis dimana salah satunya dengan menduduki jabatan-jabatan sipil di kementerian, lembaga negara, DPR, kepala daerah dan lainnya. Dengan demikian, upaya perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif dalam draft revisi UU TNI dapat membuka ruang baru bagi TNI untuk berpolitik. Hal ini tentunya menjadi kemunduran jalannya reformasi dan proses demokrasi tahun 1998 di Indonesia yang telah menempatkan militer sebagai alat pertahanan negara," tuturnya.

Kemudian, memperkuat impunitas anggota militer yang melakukan tindak pidana umum. Adanya usulan perubahan Pasal 65 ayat 2 UU TNI yang menyatakan bahwa prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan hukum pidana umum, bertentangan dengan semangat dan agenda reformasi TNI tahun 1998.

Reformasi sistem peradilan militer merupakan salah satu agenda reformasi TNI yang telah dimandatkan dalam Pasal 3 ayat (4) TAP MPR Nomor VII tahun 2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Kedua dasar hukum tersebut mengamanatkan bahwa prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3324 seconds (0.1#10.140)