Menteri Bahlil Bilang Approval Jokowi Tertinggi di Antara Pemimpin Dunia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tingkat kepuasan publik atau approval rating terhadap kerja Presiden Joko Widodo ( Jokowi ) berada di level tertinggi sepanjang 9 tahun terakhir berdasarkan temuan Indikator Politik Indonesia. Bahkan, tingkat kepuasan publik itu dinilai paling tinggi jika dibandingkan dengan pemimpin negara di dunia lainnya.
Dalam survei yang dilakukan pada 11-17 April 2023 dengan 1.220 responden dan tingkat kepercayaan mencapai 95 persen itu, approval rating Jokowi kini berada di angka 78,5 persen. Salah satu alasan tingginya tingkat kepuasan publik terhadap kerja Jokowi dinilai dilatari oleh keberhasilan menekan inflasi.
"Angka 78,5 persen ini tertinggi dibandingkan pemimpin dunia yang lain. (Narendra) Modi itu 78 persen yang terakhir, Perdana Menteri India, sekarang Bapak Jokowi 78,5 persen," kata Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia saat mengikuti pemaparan hasil survei Indikator bertajuk Korelasi antara Approval Rating Presiden dan Dukungan atas Capres dan Partai Jelang 2024 secara virtual, Minggu (30/4/2023).
Menurutnya, rumus menekan inflasi ala Jokowi tidak ada dalam buku, termasuk literatur ekonomi biasa. Dia berpendapat bahwa diperlukan instrumen khusus, yakni instrumen moneter di Bank Indonesia (BI), dan diterapkan melalui kebijakan pengetatan moneter, seperti menahan peredaran rupiah.
"Kebetulan ini cara pengelolaan inflasi Pak Jokowi beda dengan umumnya, di luar kelaziman. Dulu lewat kebijakan fiskal, naikkan suku bunga atau turunkan BI rate. Ini ala Jokowi, di luar kelaziman,” katanya.
Dia mengatakan, Presiden Jokowi sangat detail sekali. “Dulu waktu 6 persen, kita rapat kabinet, Pak Jokowi minta kita detailkan sumber-sumber kontribusi inflasi. Waktu itu termasuk minyak. Ternyata setelah dicek adalah bahan pokok. Lalu, Presiden Jokowi buat formulasi bahwa pengendalian inflasi tidak hanya mengandalkan regulasi di BI," tuturnya.
Adapun cara Jokowi dalam mengendalikan harga adalah meminta pemerintah daerah (pemda) turut berperan dalam mengendalikan inflasi yang dipengaruhi melonjaknya harga bahan pangan. Dia memberikan contoh dengan menyubsidi ongkos logistik agar harga bawang merah di sentra produksi Brebes sama dengan di Lampung yang sedang melonjak.
"Dengan begitu, harga yang didapatkan di satu daerah relatif sama dengan daerah asal kebutuhan pokok tersebut. Harga menjadi terkendali dan stabil," imbuhnya.
Kemudian, yang menarik bahwa biaya subsidi transportasi angkutan bahan pokok nilainya kecil. Namun, kata Bahlil, dampaknya sangat besar dan meluas. Diketahui, selama Jokowi menjadi presiden, dibentuk Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) di bawah komando Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian.
Instrumen ini yang memonitor inflasi di daerah-daerah, sehingga begitu terdeteksi potensi inflasi, maka subsidi transportasi mampu mengendalikannya. "Inilah yang menjelaskan kenapa inflasi relatif terkendali, harga-harga kebutuhan pokok terkendali dan disebut sebagai tekan inflasi ala Jokowi. Karena ini yang telah dilakukan presiden, bekerja sama dengan jajarannya bahkan sampai di daerah-daerah," pungkasnya.
Lihat Juga: Bahlil Pamer Kontribusi Minerba ke PNBP Sektor ESDM: Dulu Rp29 T, Sekarang Rp170 Triliun
Dalam survei yang dilakukan pada 11-17 April 2023 dengan 1.220 responden dan tingkat kepercayaan mencapai 95 persen itu, approval rating Jokowi kini berada di angka 78,5 persen. Salah satu alasan tingginya tingkat kepuasan publik terhadap kerja Jokowi dinilai dilatari oleh keberhasilan menekan inflasi.
"Angka 78,5 persen ini tertinggi dibandingkan pemimpin dunia yang lain. (Narendra) Modi itu 78 persen yang terakhir, Perdana Menteri India, sekarang Bapak Jokowi 78,5 persen," kata Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia saat mengikuti pemaparan hasil survei Indikator bertajuk Korelasi antara Approval Rating Presiden dan Dukungan atas Capres dan Partai Jelang 2024 secara virtual, Minggu (30/4/2023).
Menurutnya, rumus menekan inflasi ala Jokowi tidak ada dalam buku, termasuk literatur ekonomi biasa. Dia berpendapat bahwa diperlukan instrumen khusus, yakni instrumen moneter di Bank Indonesia (BI), dan diterapkan melalui kebijakan pengetatan moneter, seperti menahan peredaran rupiah.
"Kebetulan ini cara pengelolaan inflasi Pak Jokowi beda dengan umumnya, di luar kelaziman. Dulu lewat kebijakan fiskal, naikkan suku bunga atau turunkan BI rate. Ini ala Jokowi, di luar kelaziman,” katanya.
Dia mengatakan, Presiden Jokowi sangat detail sekali. “Dulu waktu 6 persen, kita rapat kabinet, Pak Jokowi minta kita detailkan sumber-sumber kontribusi inflasi. Waktu itu termasuk minyak. Ternyata setelah dicek adalah bahan pokok. Lalu, Presiden Jokowi buat formulasi bahwa pengendalian inflasi tidak hanya mengandalkan regulasi di BI," tuturnya.
Adapun cara Jokowi dalam mengendalikan harga adalah meminta pemerintah daerah (pemda) turut berperan dalam mengendalikan inflasi yang dipengaruhi melonjaknya harga bahan pangan. Dia memberikan contoh dengan menyubsidi ongkos logistik agar harga bawang merah di sentra produksi Brebes sama dengan di Lampung yang sedang melonjak.
"Dengan begitu, harga yang didapatkan di satu daerah relatif sama dengan daerah asal kebutuhan pokok tersebut. Harga menjadi terkendali dan stabil," imbuhnya.
Kemudian, yang menarik bahwa biaya subsidi transportasi angkutan bahan pokok nilainya kecil. Namun, kata Bahlil, dampaknya sangat besar dan meluas. Diketahui, selama Jokowi menjadi presiden, dibentuk Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) di bawah komando Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian.
Instrumen ini yang memonitor inflasi di daerah-daerah, sehingga begitu terdeteksi potensi inflasi, maka subsidi transportasi mampu mengendalikannya. "Inilah yang menjelaskan kenapa inflasi relatif terkendali, harga-harga kebutuhan pokok terkendali dan disebut sebagai tekan inflasi ala Jokowi. Karena ini yang telah dilakukan presiden, bekerja sama dengan jajarannya bahkan sampai di daerah-daerah," pungkasnya.
Lihat Juga: Bahlil Pamer Kontribusi Minerba ke PNBP Sektor ESDM: Dulu Rp29 T, Sekarang Rp170 Triliun
(rca)