Aktivis Hak Asasi Manusia Sebut Vonis Mati Ferdy Sambo Salahi Konvensi HAM Internasional
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J dengan terdakwa Ferdy Sambo memasuki babak baru di tingkat peradilan. Sambo yang sebelumnya telah divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta.
Sidang pembacaan banding akan digelar di PT DKI Jakarta pada Rabu (12/4/2023) mendatang. Sambo meminta hakim agar memberikan hukum yang lebih ringan dibandingkan vonis sebelumnya.
Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai tak sependapat dengan vonis mati Ferdy Sambo. Menurut Pigai, Indonesia sudah meratifikasi berbagai kovenan dan konvensi HAM yang sudah menjadi hukuman nasional.
"Dalam konteks vonis terhadap Pak FS (Ferdy Sambo), saya tegaskan menolak hukuman mati tersebut sekali pun diterapkan dalam proses peradilan," kata Pigai kepada wartawan, Rabu (5/4/2023).
Menurutnya, Indonesia sudah meratifikasi berbagai kovenan dan konvensi HAM internasional dan telah menjadi hukum nasional. Karena itu, kata Pigai, criminal justice system atau peradilan di Indonesia tidak bisa serta merta menerapkan hukuman mati sekalipun telah diatur dalam hukum pidana.
Indonesia, kata Komisioner Komnas HAM periode 2012-2017 ini, sudah mengalami kemajuan dan perkembangan bidang hukum dengan nilai-nilai demokrasi serta hak asasi manusia.
"Maka demikian fakta itu tidak bisa dinafikan hanya atas dasar proses hukum yang menggunakan kaca mata kuda. Hakim harusnya pertimbangkan aspek ini dengan memberikan hukuman maksimal atau maximum penalty, bukan hukuman mati," kata Pigai.
Untuk diketahui, Ferdy Sambo divonis pidana mati dalam sidang vonis yang digelar di PN Jakarta Selatan, Senin (13/2/2023). Majelis Hakim memutuskan Sambo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana secara bersama-sama melanggar Pasal 340 KUHP Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Sambo juga diputus melanggar Pasal 49 Juncto Pasal 33 UU 19/2016 tentang Perubahan Atas UU 11/2008 tentang ITE Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP sebagaimana dakwaan kesatu primer dan dakwaan kedua pertama primer.
Sidang pembacaan banding akan digelar di PT DKI Jakarta pada Rabu (12/4/2023) mendatang. Sambo meminta hakim agar memberikan hukum yang lebih ringan dibandingkan vonis sebelumnya.
Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai tak sependapat dengan vonis mati Ferdy Sambo. Menurut Pigai, Indonesia sudah meratifikasi berbagai kovenan dan konvensi HAM yang sudah menjadi hukuman nasional.
"Dalam konteks vonis terhadap Pak FS (Ferdy Sambo), saya tegaskan menolak hukuman mati tersebut sekali pun diterapkan dalam proses peradilan," kata Pigai kepada wartawan, Rabu (5/4/2023).
Menurutnya, Indonesia sudah meratifikasi berbagai kovenan dan konvensi HAM internasional dan telah menjadi hukum nasional. Karena itu, kata Pigai, criminal justice system atau peradilan di Indonesia tidak bisa serta merta menerapkan hukuman mati sekalipun telah diatur dalam hukum pidana.
Indonesia, kata Komisioner Komnas HAM periode 2012-2017 ini, sudah mengalami kemajuan dan perkembangan bidang hukum dengan nilai-nilai demokrasi serta hak asasi manusia.
"Maka demikian fakta itu tidak bisa dinafikan hanya atas dasar proses hukum yang menggunakan kaca mata kuda. Hakim harusnya pertimbangkan aspek ini dengan memberikan hukuman maksimal atau maximum penalty, bukan hukuman mati," kata Pigai.
Untuk diketahui, Ferdy Sambo divonis pidana mati dalam sidang vonis yang digelar di PN Jakarta Selatan, Senin (13/2/2023). Majelis Hakim memutuskan Sambo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana secara bersama-sama melanggar Pasal 340 KUHP Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Sambo juga diputus melanggar Pasal 49 Juncto Pasal 33 UU 19/2016 tentang Perubahan Atas UU 11/2008 tentang ITE Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP sebagaimana dakwaan kesatu primer dan dakwaan kedua pertama primer.
(abd)