Menggeser Paradigma Ambang Batas Parlemen

Senin, 20 Juli 2020 - 06:43 WIB
loading...
Menggeser Paradigma...
Fadli Ramadhanil
A A A
Fadli Ramadhanil
Peneliti Hukum Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

SEPERTI yang diperkirakan, isu ambang batas parlemen menjadi yang panjang diperdebatkan DPR dalam menyiapkan RUU Pemilu. Fraksi-fraksi partai di DPR belum juga mampu menyepakati berapa besaran ambang batas yang akan dimasukkan ke dalam RUU Pemilu sebagai inisiatif DPR sebelum nanti dibahas dengan pemerintah untuk mendapatkan persetujuan bersama.

Opsi yang muncul semakin beragam. Mulai pilihan tetap di angka 4%, naik menjadi 7%, 5%, hingga membuat ambang batas berjenjang hingga pemilu DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Sulitnya mencapai kompromi tentang ambang batas parlemen memang sangat beralasan. Besaran ambang batas parlemen akan berpengaruh terhadap masa depan partai untuk mendapatkan kursi di parlemen atau tidak.

Sebagai sebuah produk politik, tentu saja perdebatan adalah hal yang dapat diterima. Namun, perdebatan pembahasan ambang batas parlemen sebaiknya tidak hanya mempertimbangkan kepentingan kontestasi partai. Ada rasionalitas penentuan ambang batas parlemen, kedaulatan rakyat, dan hak politik warga negara yang perlu dihitung di dalam menentukan besaran ambang batas parlemen. Tiga instrumen itu paling tidak yang menjadi pertimbangan MK di dalam memutus konstitusionalitas ambang batas parlemen.

Proporsionalitas Hasil Pemilu
Melihat jejak sejarah di dalam penyusunan regulasi pemilu di Indonesia, hampir mustahil untuk berharap agar ambang batas parlemen dihapuskan. Pembentuk undang-undang, terutama partai politik di parlemen, telanjur yakin bahwa ambang batas parlemen adalah alat yang cukup efektif untuk menyederhanakan sistem kepartaian di Indonesia. Apalagi secara konstitusional, MK sudah lima kali memutus perkara tentang ambang batas parlemen, dan menyatakan pilihan kebijakan itu adalah konstitusional.

Oleh sebab itu, diskursus terhadap ketentuan ambang batas parlemen sebaiknya digeser. Materi perdebatan sebaiknya tidak lagi diarahkan untuk membahas apakah ambang parlemen dihapuskan atau tetap ada. Justru lebih penting saat ini adalah, ketika menentukan besaran ambang batas parlemen, penting untuk diingatkan kepada pembentuk undang-undang, bahwa pemilu legislatif di Indonesia menggunakan sistem proporsional. Aren Lijpart dalam studinya yang berjudul Degrees of Proportionality of Proportional Representation Formulas (2003) menyebutkan, pemilu proporsional memiliki dua elemen dasar. Pertama, persentase perolehan kursi sebuah partai politik di parlemen, mesti setimpal dengan perolehan suaranya di dalam pemilu. Artinya, jika partai politik memperoleh 10% suara sah secara nasional, partai tersebut idealnya mendapatkan 10% dari total kursi di parlemen. Kedua, partai besar dan partai kecil diperlakukan secara setara.

Andrew Reynolds dkk di dalam Electoral System Design: The New International IDEA Handbook (2005) juga menekankan satu aspek penting agar hasil pemilu dapat disebut proporsional. Ia menyebutkan bahwa salah satu hal penting dari sebuah pemilu proporsional adalah menghasilkan sangat sedikit suara pemilih yang terbuang. Artinya, semakin sedikit suara yang terbuang maka semakin proporsional hasil pemilunya. Penekanan ini tentu penting bagi negara seperti Indonesia yang meneguhkan diri sebagai negara yang menganut sistem pemilu proporsional, seperti yang dinukilkan dalam Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7/2017.

Tiga aspek yang menentukan proporsionalitas pemilu seperti yang disebutkan tadi, sangatlah memiliki hubungan erat dengan ketentuan ambang batas parlemen. Dua hal yang paling utama tentu saja tentang perlakuan yang setara antara partai besar dan partai kecil, dan terkait suara pemilih yang terbuang sebagai akibat dari adanya ambang batas parlemen.

Ketentuan ambang batas parlemen bertujuan menyaring terlebih dahulu partai politik yang sudah mendapatkan suara dari pemilu untuk bisa diikutkan di dalam perhitungan kursi parlemen. Namun, tesis ini juga diimbangi dengan kewajiban bagi partai politik untuk serius menggalang dukungan pemilih, guna membuktikan partai tersebut dapat memenuhi ambang batas tertentu, sehingga layak mendapatkan kursi parlemen.

Untuk menengahi dua hal yang sama pentingnya ini, penentuan besaran ambang batas parlemen perlu dibuka secara transparan. Artinya, atas dasar apa pembentuk undang-undang mengusulkan ambang batas parlemen naik menjadi 7%? Formula hitung mana yang digunakan hingga besaran yang dipilih dapat mencapai dua tujuan tadi: menjaga proporsionalitas hasil pemilu, sekaligus menyeleksi partai-partai yang tidak memiliki dukungan signifikan untuk tidak diikutkan di dalam perhitungan kursi di parlemen.

Opsi Rumusan
Agar perdebatan ambang batas parlemen lebih fair, pembentuk undang-undang perlu terbuka membuka dasar penetapan besaran ambang batas parlemen. Ada beberapa variabel penting dari sebuah sistem pemilu yang bisa dijadikan basis perhitungan untuk mencari ambang batas parlemen yang dapat menjaga proporsionalitas pemilu. Ada tiga variabel utama di dalam menghitung ambang batas parlemen efektif. Pertama, rata-rata besaran daerah pemilihan. Kedua, jumlah kursi parlemen; dan ketiga, jumlah daerah pemilihan.

Di dalam menggambarkan hubungan ketiganya, Taagepera sebagaimana disampaikan oleh Gallagher (2004) membuat tiga alternatif rumusan untuk menentukan ambang batas parlemen efektif di sebuah negara. Pertama, 75% dibagi dengan rata-rata besaran daerah pemilihan, ditambah bilangan 1, kemudian dikali akar dari jumlah total daerah pemilihan di suatu negara. Alternatif kedua, 75% dibagi jumlah kursi parlemen, dibagi jumlah total daerah pemilihan di suatu negara, ditambah bilangan 1, kemudian dikalikan akar dari jumlah total daerah pemilihan dari suatu negara. Dan alternatif ketiga, 75% dibagi dengan jumlah kursi parlemen, ditambah jumlah daerah pemilihan, lalu dibagi dengan jumlah daerah pemilihan, kemudian dikalikan dengan akar dari total jumlah daerah pemilihan.

Sebagai opsi, pembentuk undang-undang dapat memilih dari rumusan-rumusan yang disebutkan tadi. Pilihan terhadap rumusan yang bisa diketahui dan diakses semua pihak, tentu akan membuat besaran ambang batas parlemen menjadi lebih rasional. Rasionalitas ini menjadi sangat penting, agar sesuai pula dengan amanat putusan MK, bahwa rasionalitas adalah salah satu syarat penting di dalam menentukan ambang batas parlemen. Dengan begitu, perdebatan penentuan ambang batas parlemen juga akan bergeser menjadi lebih produktif, dan sedapat mungkin mendapatkan dua tujuan utamanya: menyeleksi partai politik untuk diikutkan dalam perhitungan kursi parlemen, sekaligus juga menjaga proporsionalitas hasil pemilu.
(ras)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0816 seconds (0.1#10.140)