BNPB Beberkan Penyebab Banjir hingga Longsor di Pulau Jawa, Kalimantan, dan Sumatera
loading...
A
A
A
JAKARTA - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) membeberkan penyebab utama bencana banjir hingga longsor di wilayah Pulau Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Terdapat perbedaan mencolok penyebab banjir dan longsor di tiga wilayah.
“Sebenarnya kalau kita bicara banjir dan longsor, paling banyak ini perbedaan sebenarnya antara Jawa dan Kalimantan,” ujar Pelaksana tugas (Plt) Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari, Senin (27/3/2023).
Pria yang akrab disapa Aam ini menjelaskan, di wilayah Jawa, meskipun alih fungsi lahan sangat dominan, namun tekanan urbanisasi sangat memengaruhi terjadinya bencana banjir dan longsor.
Pertumbuhan penduduk yang semakin padat mempersempit daerah aliran sungai. Hal ini mengurangi fungsi optimal sungai untuk menampung air.
“Ini akan meningkatkan tekanan pada lingkungan. Misalkan, ketika kita berbicara pada urban area, daerah-daerah padat penduduk secara otomatis masyarakatnya akan lebih banyak mengepung (menempati) daerah aliran sungai sehingga akan mempersempit badan sungai. Kemudian sampah, sedimentasi, dan lain-lainnya, akan mengurangi optimalisasi dari sungai dalam menampung air,” jelasnya.
Sementara untuk wilayah Kalimantan maupun Sumatera,kata dia, alih fungsi lingkungan lebih banyak digunakan untuk pembukaan lahan, seperti hutan menjadi kebun, dan hutan ke tambang. Hal ini akan mengurangi daya dukung lingkungan, khususnya daerah aliran sungai (DAS) untuk menampung air.
“Biasanya banjir di kawasan Kalimantan dan Sumatera pada umumnya berbeda dengan Jawa. Di Jawa itu urbanisasi karakteristiknya, sedangkan Kalimantan dan Sumatera, lebih banyak pada alih fungsi lahan,” tandasnya.
Dari 47 kejadian bencana tersebut, tercatat 4 orang meninggal dunia, enam luka-luka, serta 36.058 orang terdampak dan mengungsi.
Total kejadian tersebut tersebar di 18 provinsi dan 36 kabupaten/kota. Bencana hidrometeorologi basah masih mendominasi, seperti banjir maupun cuaca ekstrem.
“Sebenarnya dari awal Maret lalu, frekuensi kejadian bencana mingguan kita sudah agak turun. Jadi kalau misalkan di puncak musim hujan di Januari-Februari itu frekuensi kejadian bencana kita itu ada di 60-70 kejadian per minggu,” katanya.
Kejadian bencana yang terjadi pada bulan Januari hingga Februari ditandai dengan intensitas hujan yang berulang dan terjadi cukup lama. Berbeda ketika pada musim peralihan di bulan Maret ini.
“Ketika banjir terjadi, hujan biasanya sore sampai malam hari. Banjir pada pagi hari ini sampai pada siang hari. Sore mau surut, sore hujan lagi, sehingga durasi genangannya sangat lama,” tandasnya.
“Sebenarnya kalau kita bicara banjir dan longsor, paling banyak ini perbedaan sebenarnya antara Jawa dan Kalimantan,” ujar Pelaksana tugas (Plt) Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari, Senin (27/3/2023).
Pria yang akrab disapa Aam ini menjelaskan, di wilayah Jawa, meskipun alih fungsi lahan sangat dominan, namun tekanan urbanisasi sangat memengaruhi terjadinya bencana banjir dan longsor.
Pertumbuhan penduduk yang semakin padat mempersempit daerah aliran sungai. Hal ini mengurangi fungsi optimal sungai untuk menampung air.
“Ini akan meningkatkan tekanan pada lingkungan. Misalkan, ketika kita berbicara pada urban area, daerah-daerah padat penduduk secara otomatis masyarakatnya akan lebih banyak mengepung (menempati) daerah aliran sungai sehingga akan mempersempit badan sungai. Kemudian sampah, sedimentasi, dan lain-lainnya, akan mengurangi optimalisasi dari sungai dalam menampung air,” jelasnya.
Sementara untuk wilayah Kalimantan maupun Sumatera,kata dia, alih fungsi lingkungan lebih banyak digunakan untuk pembukaan lahan, seperti hutan menjadi kebun, dan hutan ke tambang. Hal ini akan mengurangi daya dukung lingkungan, khususnya daerah aliran sungai (DAS) untuk menampung air.
“Biasanya banjir di kawasan Kalimantan dan Sumatera pada umumnya berbeda dengan Jawa. Di Jawa itu urbanisasi karakteristiknya, sedangkan Kalimantan dan Sumatera, lebih banyak pada alih fungsi lahan,” tandasnya.
Sepekan 47 Kejadian Bencana
Dalam sepekan terakhir, BNPB mencatat sebanyak 47 kejadian bencana di berbagai wilayah Indonesia.Dari 47 kejadian bencana tersebut, tercatat 4 orang meninggal dunia, enam luka-luka, serta 36.058 orang terdampak dan mengungsi.
Total kejadian tersebut tersebar di 18 provinsi dan 36 kabupaten/kota. Bencana hidrometeorologi basah masih mendominasi, seperti banjir maupun cuaca ekstrem.
“Sebenarnya dari awal Maret lalu, frekuensi kejadian bencana mingguan kita sudah agak turun. Jadi kalau misalkan di puncak musim hujan di Januari-Februari itu frekuensi kejadian bencana kita itu ada di 60-70 kejadian per minggu,” katanya.
Kejadian bencana yang terjadi pada bulan Januari hingga Februari ditandai dengan intensitas hujan yang berulang dan terjadi cukup lama. Berbeda ketika pada musim peralihan di bulan Maret ini.
“Ketika banjir terjadi, hujan biasanya sore sampai malam hari. Banjir pada pagi hari ini sampai pada siang hari. Sore mau surut, sore hujan lagi, sehingga durasi genangannya sangat lama,” tandasnya.
(thm)