Rawan Pencurian, Layanan Publik Harus Beri Jaminan Perlindungan Data Pribadi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kasus pencurian data pribadi hampir setiap saat terjadi. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pemerintah diminta memberikan perlindungan data pribadi dalam layanan publik.
Hal itu dibahas dalam webinar Ngobrol Bareng Legislator (Ngobras) yang digelar Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama Komisi I DPR RI dengan tema "Perlindungan Data pribadi dalam Layanan Publik" .
Anggota Komisi I DPR Fadhlullah mengatakan hampir setiap waktu pencurian data pribadi terjadi baik di dalam negeri maupun luar negeri, kebanyakan menyasar sektor perbankan seperti scamming, penipuan nomor rekening maupun ATM. Pencurian data pribadi tersebut merupakan suatu kelalaian.
“UU Data Pribadi juga sudah diresmikan, harapannya adalah dapat diimplementasikan dan selaras dengan kerja pihak berwajib,” ujarnya, Selasa (21/3/2023).
Berdasarkan survei hingga Februari 2022, kata dia, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 204,7 juta penduduk. Artinya, sebanyak 73,7% populasi sudah melek teknologi.
"Di sisi lain, jumlah pengguna media sosial mencapai 191,4 juta penduduk atau 68,9% populasi. Sementara itu pengguna handphone mencapai 370,1 juta 133,3% dari penduduk," ucapnya.
Dosen Universitas Agung Podomoro, Afdhal Mahatta menjelaskan pemanfaatan teknologi informasi seperti penyelenggaraan e-commerce, e-education, e-health, e-governance, dan lainnya seperti pedang bermata dua.
Pemanfaatan teknologi tersebut mengakibatkan data pribadi seseorang sangat mudah untuk dikumpulkan dan dipindahkan dari satu pihak ke pihak lain tanpa sepengetahuan subjek data pribadi sehingga mengancam hak konstitusional subjek.
“Selain merupakan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan data pribadi, masyarakat juga harus mampu menjaga data pribadi yang dimiliki seperti menjaga kerahasiaan dan selalu memproteksi data pribadi dengan pengamanan ganda,” katanya.
Pengamat Politik dan Akademisi Universitas Abulyatama Usman Larang mengatakan big data merupakan kekuatan bisnis dan politik. Big data terkumpul lewat teknologi aplikasi telah mengubah wajah kapitalisme tapi dengan karakter yang sama dengan tujuan berkuasa dan menguasai hidup manusia lain dengan cara lebih efektif.
"Beberapa tujuan peretasan antara lain menarik keuntungan pribadi, organisasi atau perusahaan, analisis data (data mining dan profiling), politik (persaingan antar kelompok), penipuan, dan telemarketing," katanya.
Usman memaparkan beberapa hal yang harus dilakukan masyarakat untuk menjaga keamanan informasi seperti, selalu mengganti password secara berkala dan tidak menggunakan password yang mudah ditebak
Kemudian jangan membuka email atau link yang mencurigakan atau yang tidak dikenal. Menggunakan software yang legal sehingga selalu ada update keamanan untuk OS yang dipakai.
"Pelajari semua aplikasi yang kita pakai dan selalu di update. Gunakan koneksi internet dan protokol yang aman, jangan di wifi sembarangan. Tidak menunjukkan data pribadi atau sisi privasi untuk umum serta pelajari hak hukum dan regulasi terkait keamanan data dan privasi," tutupnya.
Hal itu dibahas dalam webinar Ngobrol Bareng Legislator (Ngobras) yang digelar Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama Komisi I DPR RI dengan tema "Perlindungan Data pribadi dalam Layanan Publik" .
Anggota Komisi I DPR Fadhlullah mengatakan hampir setiap waktu pencurian data pribadi terjadi baik di dalam negeri maupun luar negeri, kebanyakan menyasar sektor perbankan seperti scamming, penipuan nomor rekening maupun ATM. Pencurian data pribadi tersebut merupakan suatu kelalaian.
“UU Data Pribadi juga sudah diresmikan, harapannya adalah dapat diimplementasikan dan selaras dengan kerja pihak berwajib,” ujarnya, Selasa (21/3/2023).
Berdasarkan survei hingga Februari 2022, kata dia, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 204,7 juta penduduk. Artinya, sebanyak 73,7% populasi sudah melek teknologi.
"Di sisi lain, jumlah pengguna media sosial mencapai 191,4 juta penduduk atau 68,9% populasi. Sementara itu pengguna handphone mencapai 370,1 juta 133,3% dari penduduk," ucapnya.
Dosen Universitas Agung Podomoro, Afdhal Mahatta menjelaskan pemanfaatan teknologi informasi seperti penyelenggaraan e-commerce, e-education, e-health, e-governance, dan lainnya seperti pedang bermata dua.
Pemanfaatan teknologi tersebut mengakibatkan data pribadi seseorang sangat mudah untuk dikumpulkan dan dipindahkan dari satu pihak ke pihak lain tanpa sepengetahuan subjek data pribadi sehingga mengancam hak konstitusional subjek.
“Selain merupakan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan data pribadi, masyarakat juga harus mampu menjaga data pribadi yang dimiliki seperti menjaga kerahasiaan dan selalu memproteksi data pribadi dengan pengamanan ganda,” katanya.
Pengamat Politik dan Akademisi Universitas Abulyatama Usman Larang mengatakan big data merupakan kekuatan bisnis dan politik. Big data terkumpul lewat teknologi aplikasi telah mengubah wajah kapitalisme tapi dengan karakter yang sama dengan tujuan berkuasa dan menguasai hidup manusia lain dengan cara lebih efektif.
"Beberapa tujuan peretasan antara lain menarik keuntungan pribadi, organisasi atau perusahaan, analisis data (data mining dan profiling), politik (persaingan antar kelompok), penipuan, dan telemarketing," katanya.
Usman memaparkan beberapa hal yang harus dilakukan masyarakat untuk menjaga keamanan informasi seperti, selalu mengganti password secara berkala dan tidak menggunakan password yang mudah ditebak
Kemudian jangan membuka email atau link yang mencurigakan atau yang tidak dikenal. Menggunakan software yang legal sehingga selalu ada update keamanan untuk OS yang dipakai.
"Pelajari semua aplikasi yang kita pakai dan selalu di update. Gunakan koneksi internet dan protokol yang aman, jangan di wifi sembarangan. Tidak menunjukkan data pribadi atau sisi privasi untuk umum serta pelajari hak hukum dan regulasi terkait keamanan data dan privasi," tutupnya.
(kri)