Cak Imin Usul Jabatan Gubernur Dihapus, Partai Garuda: Bisa Berantakan!
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Umum Partai Garuda Teddy Gusnaidi menilai jabatan gubernur masih diperlukan. Teddy menolak wacana penghapusan jabatan gubernur yang diusulkan oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar ( Cak Imin ).
“Jadi, apakah jabatan gubernur masih diperlukan? Jawabannya adalah tentu para negarawan, para pimpinan, dan para ahli tata negara kita dahulu tidak membuat hal ini dengan dengan cara asal-asalan,” kata Teddy dalam keterangan tertulisnya, Rabu (1/2/2023).
Adapun alasan Cak Imin mengusulkan hal itu karena jabatan gubernur dinilai tidak efektif karena sudah ada wali kota maupun bupati dalam suatu provinsi, sehingga peran gubernur tidak begitu signifikan. “Apakah benar seperti itu?” tutur Teddy yang juga sebagai juru bicara Partai Garuda ini.
Teddy menjelaskan, ibarat dalam sebuah perusahaan, Presiden itu direktur utama, direktur adalah menteri, manajer adalah gubernur, dan bupati/wali kota adalah para kepala divisi. “Jika peran manajer dihapus, apa yang akan terjadi? Setiap divisi akan bentrok, karena tidak ada peran manajer dalam me-manage antardivisi,” ungkapnya.
Menurut dia, dari sekian banyak bupati/wali kota tidak mungkin secara teknis langsung dikelola oleh Presiden melalui menterinya. “Karena, tugas Presiden dan menteri tidak hanya itu, tentu akan timpang, akan banyak tabrakan sana-sini, maka perlu adanya gubernur yang mengelola setiap provinsi,” jelasnya.
Dia mengakui hal tersebut tidak hanya berlaku di negara atau perusahaan, juga termasuk dalam organisasi seperti partai politik. “Tidak mungkin ketua umum partai politik langsung mengeloa DPC-DPC di seluruh Indonesia karena menghapus seluruh DPW di seluruh Indonesia. Bisa berantakan,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Cak Imin menilai sistem pemilihan kepala daerah perlu dievaluasi. Menurut dia, pemilihan tingkat provinsi atau pemilihan gubernur (Pilgub) lebih efektif ditiadakan.
"Makanya, PKB mengusulkan agar pilkada itu hanya pemilihan langsung untuk pilpres dan pilwalkot. Pemilihan gubernur tidak ada lagi karena melelahkan. Kalau perlu gubernur nanti tidak ada, karena tidak terlalu fungsional di dalam pemerintahan," jelas Cak Imin dalam acara yang digelar di Grand Sahid Jaya Hotel, Senin (30/1/2023).
Kendati demikian, Cak Imin menilai sistem pilkada di tingkat provinsi adalah bagian dari gerakan reformasi yang melibatkan kader-kader Nahdlatul Ulama (NU). Untuk itu, ia meminta sistem politik tersebut untuk disyukuri. "Bukti kemajuan reformasi itu adalah keberanian kader-kader politik NU di dalam merubah Amandemen UUD 1945," katanya.
Adapun masa jabatan gubernur diatur dalam Pasal 162 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemerintah Daerah. Pasal 162 ayat (1) itu menyebutkan bahwa gubernur dan wakil gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (1) memegang jabatan selama lima tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
“Jadi, apakah jabatan gubernur masih diperlukan? Jawabannya adalah tentu para negarawan, para pimpinan, dan para ahli tata negara kita dahulu tidak membuat hal ini dengan dengan cara asal-asalan,” kata Teddy dalam keterangan tertulisnya, Rabu (1/2/2023).
Adapun alasan Cak Imin mengusulkan hal itu karena jabatan gubernur dinilai tidak efektif karena sudah ada wali kota maupun bupati dalam suatu provinsi, sehingga peran gubernur tidak begitu signifikan. “Apakah benar seperti itu?” tutur Teddy yang juga sebagai juru bicara Partai Garuda ini.
Teddy menjelaskan, ibarat dalam sebuah perusahaan, Presiden itu direktur utama, direktur adalah menteri, manajer adalah gubernur, dan bupati/wali kota adalah para kepala divisi. “Jika peran manajer dihapus, apa yang akan terjadi? Setiap divisi akan bentrok, karena tidak ada peran manajer dalam me-manage antardivisi,” ungkapnya.
Menurut dia, dari sekian banyak bupati/wali kota tidak mungkin secara teknis langsung dikelola oleh Presiden melalui menterinya. “Karena, tugas Presiden dan menteri tidak hanya itu, tentu akan timpang, akan banyak tabrakan sana-sini, maka perlu adanya gubernur yang mengelola setiap provinsi,” jelasnya.
Dia mengakui hal tersebut tidak hanya berlaku di negara atau perusahaan, juga termasuk dalam organisasi seperti partai politik. “Tidak mungkin ketua umum partai politik langsung mengeloa DPC-DPC di seluruh Indonesia karena menghapus seluruh DPW di seluruh Indonesia. Bisa berantakan,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Cak Imin menilai sistem pemilihan kepala daerah perlu dievaluasi. Menurut dia, pemilihan tingkat provinsi atau pemilihan gubernur (Pilgub) lebih efektif ditiadakan.
"Makanya, PKB mengusulkan agar pilkada itu hanya pemilihan langsung untuk pilpres dan pilwalkot. Pemilihan gubernur tidak ada lagi karena melelahkan. Kalau perlu gubernur nanti tidak ada, karena tidak terlalu fungsional di dalam pemerintahan," jelas Cak Imin dalam acara yang digelar di Grand Sahid Jaya Hotel, Senin (30/1/2023).
Kendati demikian, Cak Imin menilai sistem pilkada di tingkat provinsi adalah bagian dari gerakan reformasi yang melibatkan kader-kader Nahdlatul Ulama (NU). Untuk itu, ia meminta sistem politik tersebut untuk disyukuri. "Bukti kemajuan reformasi itu adalah keberanian kader-kader politik NU di dalam merubah Amandemen UUD 1945," katanya.
Adapun masa jabatan gubernur diatur dalam Pasal 162 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemerintah Daerah. Pasal 162 ayat (1) itu menyebutkan bahwa gubernur dan wakil gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (1) memegang jabatan selama lima tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
(rca)