Manusia yang Makin Terdigital: Tantangan dalam Hidup Modern
loading...
A
A
A
Muhamad Ali
Pemerhati Human Capital
ADAPTASI kebiasaan baru sudah berlangsung beberapa minggu. Kantor-kantor mulai membuka lembaran baru setelah sempat menghentikan aktivitas selama beberapa waktu. Pandemi korona (Covid-19) yang belum juga berlalu memaksa orang untuk menjalani aktivitas di tengah-tengah masyarakat dengan cara-cara yang baru.
Beradaptasi dengan kebiasaan baru tidaklah mudah. Apalagi kalau kebiasaan itu sudah dijalani bertahun-tahun, tidak lagi perlu dipersiapkan dan direncanakan secara mendalam. Semua tindakan sudah seperti gerak refleks yang tidak memerlukan pemikiran dan permenungan. Sebab alarm dan sistem kesadaran kita sudah bergerak mekanis tanpa perlu pertimbangan ini dan itu.
Hidup mekanis adalah hidup yang tidak perlu direfleksikan dan direnungkan. Semuanya berjalan begitu saja. Pagi-pagi bangun tidur, bersiap-siap untuk bekerja atau menjalani hari, semua itu berlangsung secara cepat. Mereka yang bekerja di kantor atau menjalankan bisnis sendiri bekerja dengan tuntutan atau target tertentu. Dalam situasi seperti itu hidup menjadi seperti robot.
Beruntung teknologi menyediakan hiburan-hiburan sehingga selama menjalani waktu sehari-hari itu orang masih bisa tertawa, sedih, gembira, terharu. Semua itu dipicu oleh konten yang dihadirkan melalui perangkat teknologi digital yang selalu kita genggam ke mana-mana. Ponsel tidak lagi hanya alat komunikasi. Ia adalah teman dalam suka dan duka sekaligus. Dengan ponsel hidup kita terdigitalkan. Dibangunkan oleh alarm, diingatkan oleh kalender, dihibur oleh tayangan video atau gambar atau dibuat terharu atau sedih oleh cerita yang memenuhi layar.
Singkatnya manusia-ponsel adalah sudah seperti kepingan mata uang dengan dua sisi. Ia menjadi teman yang personal dan asisten sekaligus dalam aktivitas di tempat kerja. Sepanjang waktu. Jadi ketergantungan manusia terhadap ponsel sudah tak terelakkan lagi.
Di dalam dunia korporasi dan organisasi birokrasi, ponsel juga sudah menjadi instrumen untuk mengerjakan tugas-tugas rutin. Ia meringankan dan memberatkan sekaligus. Meringankan karena kemampuannya untuk mengerjakan tugas yang semakin "pintar". Memberatkan karena membuat hakikat manusia sebagai individu yang otonom tidak lagi berdaya tanpa ada ponsel di saku atau genggaman tangan.
Berbagai proyeksi tentang manusia di masa depan lalu dibuat. Orang berimajinasi bahwa di masa depan antara ponsel dan tubuh manusia tidak lagi ada jarak yang terpisah. Ia menyatu dalam tubuh fisik selama 24 jam sehingga orang tidak lagi perlu khawatir bahwa ponselnya ketinggalan di suatu tempat. Manusia yang terdigitalkan oleh situasi seperti itu sering disebut transhuman. Manusia yang melampaui fitrah manusia. Tantangan itu bukan lagi fiksi yang hidup di awang-awang atau dunia imajinasi. Berbagai perusahaan besar di dunia telah melakukan riset atau studi yang mengintegrasikan dua sisi itu dalam satu kepingan.
Tapi saya percaya bahwa kemampuan manusia yang akan terus bertambah, karena makin terintegrasi dengan segala hal berbau digital, belum akan menjadi soal yang besar sejauh perasaan sedih dan gembira, kecewa dan marah belum terdefinisikan secara digital. Secara teknis, instrumen digital tetap hanya merupakan peralatan yang bisa menghitung. To calculate atau to compute. Kata yang menjadi akar dari kalkulator atau komputer, yang hari ini menjelma dalam peranti yang beraneka ragam. Instrumen digital bukanlah sesuatu yang sudah mampu menjangkau ekspresi emosional manusia konvensional.
Survei yang dilakukan organisasi World Economic Forum (WEF) terhadap 800 eksekutif dan pemimpin bisnis di seluruh dunia pada 2016/2017 menghasilkan salah satu simpulan yang tidak terhindarkan. Apa itu? Terintegrasinya ponsel dengan kemampuan tinggi ke dalam tubuh manusia dan akan dipasarkan secara komersial. Kapan itu terjadi? Menurut para responden, implantable phone atau ponsel yang terimplan itu bisa dibeli pada 2024 mendatang.
Kita belum tahu, setelah itu, lompatan teknologi apa lagi yang akan ada di depan mata kita.
Pemerhati Human Capital
ADAPTASI kebiasaan baru sudah berlangsung beberapa minggu. Kantor-kantor mulai membuka lembaran baru setelah sempat menghentikan aktivitas selama beberapa waktu. Pandemi korona (Covid-19) yang belum juga berlalu memaksa orang untuk menjalani aktivitas di tengah-tengah masyarakat dengan cara-cara yang baru.
Beradaptasi dengan kebiasaan baru tidaklah mudah. Apalagi kalau kebiasaan itu sudah dijalani bertahun-tahun, tidak lagi perlu dipersiapkan dan direncanakan secara mendalam. Semua tindakan sudah seperti gerak refleks yang tidak memerlukan pemikiran dan permenungan. Sebab alarm dan sistem kesadaran kita sudah bergerak mekanis tanpa perlu pertimbangan ini dan itu.
Hidup mekanis adalah hidup yang tidak perlu direfleksikan dan direnungkan. Semuanya berjalan begitu saja. Pagi-pagi bangun tidur, bersiap-siap untuk bekerja atau menjalani hari, semua itu berlangsung secara cepat. Mereka yang bekerja di kantor atau menjalankan bisnis sendiri bekerja dengan tuntutan atau target tertentu. Dalam situasi seperti itu hidup menjadi seperti robot.
Beruntung teknologi menyediakan hiburan-hiburan sehingga selama menjalani waktu sehari-hari itu orang masih bisa tertawa, sedih, gembira, terharu. Semua itu dipicu oleh konten yang dihadirkan melalui perangkat teknologi digital yang selalu kita genggam ke mana-mana. Ponsel tidak lagi hanya alat komunikasi. Ia adalah teman dalam suka dan duka sekaligus. Dengan ponsel hidup kita terdigitalkan. Dibangunkan oleh alarm, diingatkan oleh kalender, dihibur oleh tayangan video atau gambar atau dibuat terharu atau sedih oleh cerita yang memenuhi layar.
Singkatnya manusia-ponsel adalah sudah seperti kepingan mata uang dengan dua sisi. Ia menjadi teman yang personal dan asisten sekaligus dalam aktivitas di tempat kerja. Sepanjang waktu. Jadi ketergantungan manusia terhadap ponsel sudah tak terelakkan lagi.
Di dalam dunia korporasi dan organisasi birokrasi, ponsel juga sudah menjadi instrumen untuk mengerjakan tugas-tugas rutin. Ia meringankan dan memberatkan sekaligus. Meringankan karena kemampuannya untuk mengerjakan tugas yang semakin "pintar". Memberatkan karena membuat hakikat manusia sebagai individu yang otonom tidak lagi berdaya tanpa ada ponsel di saku atau genggaman tangan.
Berbagai proyeksi tentang manusia di masa depan lalu dibuat. Orang berimajinasi bahwa di masa depan antara ponsel dan tubuh manusia tidak lagi ada jarak yang terpisah. Ia menyatu dalam tubuh fisik selama 24 jam sehingga orang tidak lagi perlu khawatir bahwa ponselnya ketinggalan di suatu tempat. Manusia yang terdigitalkan oleh situasi seperti itu sering disebut transhuman. Manusia yang melampaui fitrah manusia. Tantangan itu bukan lagi fiksi yang hidup di awang-awang atau dunia imajinasi. Berbagai perusahaan besar di dunia telah melakukan riset atau studi yang mengintegrasikan dua sisi itu dalam satu kepingan.
Tapi saya percaya bahwa kemampuan manusia yang akan terus bertambah, karena makin terintegrasi dengan segala hal berbau digital, belum akan menjadi soal yang besar sejauh perasaan sedih dan gembira, kecewa dan marah belum terdefinisikan secara digital. Secara teknis, instrumen digital tetap hanya merupakan peralatan yang bisa menghitung. To calculate atau to compute. Kata yang menjadi akar dari kalkulator atau komputer, yang hari ini menjelma dalam peranti yang beraneka ragam. Instrumen digital bukanlah sesuatu yang sudah mampu menjangkau ekspresi emosional manusia konvensional.
Survei yang dilakukan organisasi World Economic Forum (WEF) terhadap 800 eksekutif dan pemimpin bisnis di seluruh dunia pada 2016/2017 menghasilkan salah satu simpulan yang tidak terhindarkan. Apa itu? Terintegrasinya ponsel dengan kemampuan tinggi ke dalam tubuh manusia dan akan dipasarkan secara komersial. Kapan itu terjadi? Menurut para responden, implantable phone atau ponsel yang terimplan itu bisa dibeli pada 2024 mendatang.
Kita belum tahu, setelah itu, lompatan teknologi apa lagi yang akan ada di depan mata kita.
(ras)