Terus Bermutasi, Kapan Covid-19 Berakhir?
Senin, 08 Agustus 2022 - 18:37 WIB
JAKARTA - Epidemiolog dan peneliti dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengungkapkan bahwa Indonesia masih berada di gelombang empat Covid-19 yang puncaknya mungkin pada akhir Agustus atau September. Dia menilai pergerakan menuju puncak Covid-19 varian BA.5 lebih lamban lantaran virus melalui orang yang sudah memiliki imunitas.
"Masa rawan kita, saya prediksi sampai Oktober. Bukan berarti banyak kematian. Tapi kalau kita lemah testing, tracing, dan treatment (3 T), mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas (5 M), serta vaksinasi, pada gilirannya akan memakan jiwa kelompok paling rawan, seperti lansia, tenaga kesehatan, komorbid, ibu hamil dan anak,” ujar Dicky, Senin (8/8/2022).
Dia menuturkan bahwa banyak kelompok rawan di Indonesia. “Karena jumlah penduduk kita besar. Ini harus disadari semua pihak," tuturnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, dengan adanya varian BA.275, masyarakat harus mewaspadai dan mengamati dampak yang hadir di tengah gelombang empat. Dia menambahkan, BA.275 belum menggeser dominasi BA.5, setidaknya 2% dari yang dites Covid-19 harus menjadi genome sequencing.
Dirinya mengakui sulit mengatakan kapan Covid-19 akan menjadi penyakit biasa setelah melihat virus yang terus bermutasi. Dia melanjutkan, ada banyak yang mempengaruhi peralihan Covid-19 jadi penyakit biasa, antara lain stigma, obat, karakter, dan sifat virus.
Dahulu, demam typoid amat ditakuti, namun stigma itu kemudian berubah. Kehadiran obat juga mempengaruhi perubahan Covid-19 jadi penyakit biasa. "Tidak ada kematian, karena obatnya ada. Sekarang obat selain mahal, masih terbatas dan belum memadai," jelasnya.
Dia menuturkan, masalahnya kalau Covid-19 terus bermutasi melahirkan varian baru dan mengurangi efikasi vaksin. Dia menegaskan, kondisi ini tidak bisa diatasi hanya dengan vaksinasi dan obat.
Pendekatannya harus dengan meningkatkan 3T dan 5M. "Perilaku hidup bersih dan sehat harus jadi budaya baru. Itu yang mengurangi potensi virus bemutasi," pungkasnya.
"Masa rawan kita, saya prediksi sampai Oktober. Bukan berarti banyak kematian. Tapi kalau kita lemah testing, tracing, dan treatment (3 T), mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas (5 M), serta vaksinasi, pada gilirannya akan memakan jiwa kelompok paling rawan, seperti lansia, tenaga kesehatan, komorbid, ibu hamil dan anak,” ujar Dicky, Senin (8/8/2022).
Dia menuturkan bahwa banyak kelompok rawan di Indonesia. “Karena jumlah penduduk kita besar. Ini harus disadari semua pihak," tuturnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, dengan adanya varian BA.275, masyarakat harus mewaspadai dan mengamati dampak yang hadir di tengah gelombang empat. Dia menambahkan, BA.275 belum menggeser dominasi BA.5, setidaknya 2% dari yang dites Covid-19 harus menjadi genome sequencing.
Dirinya mengakui sulit mengatakan kapan Covid-19 akan menjadi penyakit biasa setelah melihat virus yang terus bermutasi. Dia melanjutkan, ada banyak yang mempengaruhi peralihan Covid-19 jadi penyakit biasa, antara lain stigma, obat, karakter, dan sifat virus.
Dahulu, demam typoid amat ditakuti, namun stigma itu kemudian berubah. Kehadiran obat juga mempengaruhi perubahan Covid-19 jadi penyakit biasa. "Tidak ada kematian, karena obatnya ada. Sekarang obat selain mahal, masih terbatas dan belum memadai," jelasnya.
Dia menuturkan, masalahnya kalau Covid-19 terus bermutasi melahirkan varian baru dan mengurangi efikasi vaksin. Dia menegaskan, kondisi ini tidak bisa diatasi hanya dengan vaksinasi dan obat.
Pendekatannya harus dengan meningkatkan 3T dan 5M. "Perilaku hidup bersih dan sehat harus jadi budaya baru. Itu yang mengurangi potensi virus bemutasi," pungkasnya.
(rca)
tulis komentar anda