Penetapan KHDPK Diharapkan Sesuai dengan PP Nomor 23/2021
Senin, 25 Juli 2022 - 11:09 WIB
JAKARTA - Penetapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK), diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23/2021, sebagaimana Pasal 112 (1) diharapkan tidak akan merusak lingkungan. Hal ini dikatakan oleh pemerhati lingkungan, Cepi Dadang Komara.
Karena menurut Cepi, adanya KHDPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 Ayat (1) huruf b ditetapkan untuk kepentingan perhutanan sosial; penataan kawasan hutan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan; penggunaan kawasan hutan; rehabilitasi hutan; perlindungan hutan; atau pemanfaatan jasa lingkungan.
Dijelaskan Cepi, setelah bertahun-tahun kegiatan reboisasi dan rehabilitasi lambat memberikan hasil, sementara di antaranya kejadian bencana alam banjir dan longsor terus terjadi, menuntut perbaikan lingkungan. Hadirnya KHDPK kata dia, menyiratkan kawasan hutan yang dimandatkan untuk dikelola BUMN, dalam hal ini Perhutani kembali ditarik oleh Pemerintah.
Perhutani yang mengelola 2.433.024,7 hektare hutan pulau Jawa atau 18% dari luasan Pulau Jawa, melalui SK Menteri LHK Nomor: SK.287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022 tentang Penetapan KHPK Pada Sebagian Hutan Negara Yang Berada Pada Kawasan Hutan Produksi Dan Hutan Lindung di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten, menarik mandat kelola seluas kurang lebih 1.103.941 Ha dari Perhutani untuk kembali dikelola oleh Pemerintah.
Sebanyak 338.944 Ha di antaranya berada di Provinsi Jawa Barat dengan rincian ±163.427 Hutan Lindung dan ±175.517 Ha Hutan Produksi. Gunung Cikurai Kabupaten Garut dan Kawasan Hutan Lindung Hutan Produksi Ciwidey Kabupaten Bandung masuk di dalamnya.
"Hadirnya KHDPK di tengah masyarakat sebetulnya ibarat tamparan keras orang tua terhadap anaknya yang bandel melaksanakan tugas dan fungsinya untuk melaksanakan perlindungan hutan dan reboisasi serta rehabilitasi, tanpa mengumbar aibnya dikarenakan masih anak. Perhutani seharusnya berterima kasih dikarenakan beban tugas pokok fungsinya dikurangi oleh orang tua, sehingga Perhutani cukup mengelola yang memang sesuai kemampuannya untuk dikelola," ujar Cepi.
Mengenai munculnya kekhawatiran akan rusaknya lingkungan, sebetulnya bukan menjadi alasan sebagian masyarakat yang menentang KHDPK. Sebagaimana contoh wilayah Gunung Cikurai yang sejak terjadinya banjir bandang tahun 2016 hingga saat ini, tidak nampak dilakukan pembenahan fungsi dan peruntukan serta perlindungan hutan oleh pemegang mandat kelola dan tidak pula ada jaminan ke depan rehabilitasi akan dilaksanakan oleh pemegang mandat, Perhutani.
"Langkah strategis Menteri LHK dengan terbitnya SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor : SK.287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022 tentang Penetapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus," tegas Cepi.
Yang perlu disegerakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kata Cepi adalah, segera sosialisasikan maksud dan tujuan dari KHDPK secara detail agar opini-opini liar yang tidak produktif sirna dan para penunggang liar segera memahami maksud dan tujuan secara utuh.
"Ada pun yang harus kita nantikan katanya, adalah Keputusan Menteri tentang siapa pengelola dari KHDPK dan bagaimana Wasdal (Pengawasan dan Pengendalian) dari KHDPK. Pengelola dan wasdal bisa menunjukan keseriusan KLHK dalam KHDPK," tutupnya.
Karena menurut Cepi, adanya KHDPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 Ayat (1) huruf b ditetapkan untuk kepentingan perhutanan sosial; penataan kawasan hutan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan; penggunaan kawasan hutan; rehabilitasi hutan; perlindungan hutan; atau pemanfaatan jasa lingkungan.
Dijelaskan Cepi, setelah bertahun-tahun kegiatan reboisasi dan rehabilitasi lambat memberikan hasil, sementara di antaranya kejadian bencana alam banjir dan longsor terus terjadi, menuntut perbaikan lingkungan. Hadirnya KHDPK kata dia, menyiratkan kawasan hutan yang dimandatkan untuk dikelola BUMN, dalam hal ini Perhutani kembali ditarik oleh Pemerintah.
Perhutani yang mengelola 2.433.024,7 hektare hutan pulau Jawa atau 18% dari luasan Pulau Jawa, melalui SK Menteri LHK Nomor: SK.287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022 tentang Penetapan KHPK Pada Sebagian Hutan Negara Yang Berada Pada Kawasan Hutan Produksi Dan Hutan Lindung di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten, menarik mandat kelola seluas kurang lebih 1.103.941 Ha dari Perhutani untuk kembali dikelola oleh Pemerintah.
Sebanyak 338.944 Ha di antaranya berada di Provinsi Jawa Barat dengan rincian ±163.427 Hutan Lindung dan ±175.517 Ha Hutan Produksi. Gunung Cikurai Kabupaten Garut dan Kawasan Hutan Lindung Hutan Produksi Ciwidey Kabupaten Bandung masuk di dalamnya.
"Hadirnya KHDPK di tengah masyarakat sebetulnya ibarat tamparan keras orang tua terhadap anaknya yang bandel melaksanakan tugas dan fungsinya untuk melaksanakan perlindungan hutan dan reboisasi serta rehabilitasi, tanpa mengumbar aibnya dikarenakan masih anak. Perhutani seharusnya berterima kasih dikarenakan beban tugas pokok fungsinya dikurangi oleh orang tua, sehingga Perhutani cukup mengelola yang memang sesuai kemampuannya untuk dikelola," ujar Cepi.
Mengenai munculnya kekhawatiran akan rusaknya lingkungan, sebetulnya bukan menjadi alasan sebagian masyarakat yang menentang KHDPK. Sebagaimana contoh wilayah Gunung Cikurai yang sejak terjadinya banjir bandang tahun 2016 hingga saat ini, tidak nampak dilakukan pembenahan fungsi dan peruntukan serta perlindungan hutan oleh pemegang mandat kelola dan tidak pula ada jaminan ke depan rehabilitasi akan dilaksanakan oleh pemegang mandat, Perhutani.
"Langkah strategis Menteri LHK dengan terbitnya SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor : SK.287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022 tentang Penetapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus," tegas Cepi.
Yang perlu disegerakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kata Cepi adalah, segera sosialisasikan maksud dan tujuan dari KHDPK secara detail agar opini-opini liar yang tidak produktif sirna dan para penunggang liar segera memahami maksud dan tujuan secara utuh.
"Ada pun yang harus kita nantikan katanya, adalah Keputusan Menteri tentang siapa pengelola dari KHDPK dan bagaimana Wasdal (Pengawasan dan Pengendalian) dari KHDPK. Pengelola dan wasdal bisa menunjukan keseriusan KLHK dalam KHDPK," tutupnya.
(maf)
tulis komentar anda