BMKG Sebut Perubahan Iklim Makin Mengkhawatirkan
Kamis, 07 Juli 2022 - 15:22 WIB
JAKARTA - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika ( BMKG ), Dwikorita Karnawati menyebut laju peningkatan suhu permukaan di Indonesia sangat bervariasi. Berdasarkan analisis hasil pengukuran suhu permukaan dari 92 Stasiun BMKG dalam 40 tahun terakhir, menunjukkan kenaikan suhu permukaan lebih nyata terjadi di wilayah Indonesia bagian barat dan tengah. Pulau Sumatera bagian timur, Pulau Jawa bagian utara, Kalimantan dan Sulawesi bagian utara mengalami tren kenaikan >0,3℃ per dekade.
Laju peningkatan suhu permukaan tertinggi tercatat terjadi di Stasiun Meteorologi Aji Pangeran Tumenggung Pranoto, Kota Samarinda (0,5℃ per dekade). Sementara itu wilayah Jakarta dan sekitarnya suhu udara permukaan meningkat dengan laju 0,40–0,47℃ per dekade.
"Secara rata-rata nasional, untuk wilayah Indonesia, tahun terpanas adalah tahun 2016 yaitu sebesar 0,8 °C dibandingkan periode normal 1981-2010 (mengikuti tahun terpanas global). Sementara tahun terpanas ke-2 dan ke-3 adalah tahun 2020 dan tahun 2019 dengan anomali sebesar 0,7 °C dan 0,6 °C," kata Dwikorita dikutip dari keterangan tertulis, Kamis (7/7/2022).
Analisis BMKG, lanjut Dwikorita, senada dalam laporan Status Iklim 2021 (State of the Climate 2021) yang dirilis Badan Meteorologi Dunia (WMO) pada Mei 2022. WMO menyatakan bahwa hingga akhir 2021, suhu udara permukaan global telah memanas sebesar 1,11 °C dari baseline suhu global periode pra-industri (1850-1900), di mana 2021 adalah tahun terpanas ke-3 setelah 2016 dan 2020.
WMO juga menyebutkan periode 2011-2020 adalah rekor dekade terpanas suhu di permukaan bumi. Lonjakan suhu pada 2016 dipengaruhi oleh variabilitas iklim yaitu fenomena El Nino kuat, sementara itu terus meningkatnya suhu permukaan pada dekade-dekade terakhir yang berurutan merupakan perwujudan dari pemanasan global.
Sementara itu, Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan, Ardhasena Sopaheluwakan menambahkan, pengkajian yang dilakukan oleh Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyebutkan bahwa pemanasan global tidak akan terjadi tanpa pengaruh faktor kegiatan manusia (antropogenik). Pengaruh antropogenik yang lebih kuat dibandingkan pengaruh variabilitas alami seperti La Nina tahun 2020–2021 (yang memiliki kecenderungan menurunkan suhu permukaan bumi) dibuktikan pula pada kondisi iklim dua tahun tersebut, yang tetap menjadi tahun terpanas setelah 2016.
Baca juga: Prakiraan Cuaca DKI Jakarta 7 Juli 2022: Seharian Cerah Berawan
"Keadaan perubahan suhu udara permukaan juga diikuti oleh perubahan suhu permukaan laut. Hasil analisis menunjukkan suhu permukaan laut di Indonesia juga terus meningkat, dengan laju yang lebih kuat setelah periode dekade 1960-an yaitu sebesar 0,2°C per dekade," katanya.
Ardhasena juga mengungkapkan hasil analisis suhu udara permukaan global, menurut perhitungan Badan Administrasi Atmosfer dan Kelautan (NOAA) Amerika Serikat pada Mei 2022, menunjukkan rata-rata anomali sebesar +0,178°C lebih tinggi jika dibandingkan dengan standar normal klimatologi periode 1991-2020. Pada Juni 2022, wilayah dengan nilai anomali positif, di mana rata-rata anomali suhu lebih tinggi daripada standar normal klimatologi meliputi bagian timur Amerika Utara, bagian barat Eropa, bagian tengah Rusia, bagian utara Australia, dan sebagian besar Kutub Selatan.
Ardhasena mengatakan, melihat kecenderungan trend kenaikan suhu permukaan yang terus terjadi, maka WMO menyatakan terdapat peluang sebesar 20% kenaikan suhu udara permukaan global dalam kurun waktu 5 tahun mendatang akan melebihi nilai ambang batas komitmen Kesepakatan Paris sebesar 1,5 °C.
"Maka dari itu, sangat urgent bagi negara-negara untuk meningkatkan aksi mitigasi gas rumah kaca untuk menekan laju kenaikan pemanasan global," katanya.
Laju peningkatan suhu permukaan tertinggi tercatat terjadi di Stasiun Meteorologi Aji Pangeran Tumenggung Pranoto, Kota Samarinda (0,5℃ per dekade). Sementara itu wilayah Jakarta dan sekitarnya suhu udara permukaan meningkat dengan laju 0,40–0,47℃ per dekade.
"Secara rata-rata nasional, untuk wilayah Indonesia, tahun terpanas adalah tahun 2016 yaitu sebesar 0,8 °C dibandingkan periode normal 1981-2010 (mengikuti tahun terpanas global). Sementara tahun terpanas ke-2 dan ke-3 adalah tahun 2020 dan tahun 2019 dengan anomali sebesar 0,7 °C dan 0,6 °C," kata Dwikorita dikutip dari keterangan tertulis, Kamis (7/7/2022).
Analisis BMKG, lanjut Dwikorita, senada dalam laporan Status Iklim 2021 (State of the Climate 2021) yang dirilis Badan Meteorologi Dunia (WMO) pada Mei 2022. WMO menyatakan bahwa hingga akhir 2021, suhu udara permukaan global telah memanas sebesar 1,11 °C dari baseline suhu global periode pra-industri (1850-1900), di mana 2021 adalah tahun terpanas ke-3 setelah 2016 dan 2020.
WMO juga menyebutkan periode 2011-2020 adalah rekor dekade terpanas suhu di permukaan bumi. Lonjakan suhu pada 2016 dipengaruhi oleh variabilitas iklim yaitu fenomena El Nino kuat, sementara itu terus meningkatnya suhu permukaan pada dekade-dekade terakhir yang berurutan merupakan perwujudan dari pemanasan global.
Sementara itu, Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan, Ardhasena Sopaheluwakan menambahkan, pengkajian yang dilakukan oleh Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyebutkan bahwa pemanasan global tidak akan terjadi tanpa pengaruh faktor kegiatan manusia (antropogenik). Pengaruh antropogenik yang lebih kuat dibandingkan pengaruh variabilitas alami seperti La Nina tahun 2020–2021 (yang memiliki kecenderungan menurunkan suhu permukaan bumi) dibuktikan pula pada kondisi iklim dua tahun tersebut, yang tetap menjadi tahun terpanas setelah 2016.
Baca juga: Prakiraan Cuaca DKI Jakarta 7 Juli 2022: Seharian Cerah Berawan
"Keadaan perubahan suhu udara permukaan juga diikuti oleh perubahan suhu permukaan laut. Hasil analisis menunjukkan suhu permukaan laut di Indonesia juga terus meningkat, dengan laju yang lebih kuat setelah periode dekade 1960-an yaitu sebesar 0,2°C per dekade," katanya.
Ardhasena juga mengungkapkan hasil analisis suhu udara permukaan global, menurut perhitungan Badan Administrasi Atmosfer dan Kelautan (NOAA) Amerika Serikat pada Mei 2022, menunjukkan rata-rata anomali sebesar +0,178°C lebih tinggi jika dibandingkan dengan standar normal klimatologi periode 1991-2020. Pada Juni 2022, wilayah dengan nilai anomali positif, di mana rata-rata anomali suhu lebih tinggi daripada standar normal klimatologi meliputi bagian timur Amerika Utara, bagian barat Eropa, bagian tengah Rusia, bagian utara Australia, dan sebagian besar Kutub Selatan.
Ardhasena mengatakan, melihat kecenderungan trend kenaikan suhu permukaan yang terus terjadi, maka WMO menyatakan terdapat peluang sebesar 20% kenaikan suhu udara permukaan global dalam kurun waktu 5 tahun mendatang akan melebihi nilai ambang batas komitmen Kesepakatan Paris sebesar 1,5 °C.
"Maka dari itu, sangat urgent bagi negara-negara untuk meningkatkan aksi mitigasi gas rumah kaca untuk menekan laju kenaikan pemanasan global," katanya.
(abd)
Lihat Juga :
tulis komentar anda