Jika Dunia Tanpa Koran
Kamis, 30 Juni 2022 - 12:03 WIB
KETIKA diwawancara sejumlah wartawan dalam sebuah acara, aktor terkemuka Amerika Serikat Denzel Washington membuat para penanya tercengang. Kala itu pemeran film-film action ini dengan ketus menyatakan bahwa orang yang tidak pernah membaca koran atau surat kabar, sejatinya mereka tidak pernah mendapat informasi.
"Jika Anda tidak pernah membaca koran berarti Anda tidak punya informasi. Tapi jika sudah membacanya (tapi tetap mendapat berita palsu), berarti Anda mendapat informasi yang keliru,” ujar Denzel menjawab pertanyaan wartawan soal rumor dirinya pindah dukungan politik ke salah satu calon presiden.
Tanya jawab itu terjadi pada 7 Desember 2016 saat acara pemutaran perdana film Fences di Musem Nasional Sejarah & Kebudayaan Afrika Amerika di Washington, DC, Amerika Serikat.
Denzel yang kala itu menjadi objek berita palsu menambahkan di era banjir informasi seperti sekarang menyebabkan orang lebih memilih berita yang cepat, bukan berita yang benar. Sedangkan tanggungjawab jurnalis dan media adalah menyampaikan berita yang benar, bukan berita yang cepat saja. “Kita tidak peduli siapa yang hancur karena berita (yang salah) itu. Kita tidak peduli berita itu benar atau tidak. Katakan dan jual berita itu,” ungkap pemeran utama film Equalizer 1 dan Equalizer 2 ini.
Tentu saja ini pendapat pribadi Denzel Washington, sebagai bintang yang setiap saat menjadi pusat perhatian orang, termasuk media massa. Ada subjektivitas dari pendapat Denzel yang memang dikenal suka membaca buku dan koran ini. Karena itu kerap kali Denzel menyisipkan adegan membaca dan buku di dalam film-filmnya.
Di tengah disrupsi dan kemajuan teknologi informasi yang sangat revolusioner seperti sekarang ini, sosok atau orang seperti Denzel Washington semakin langka. Para pembaca koran sudah mulai menua. Sedangkan generasi yang lebih muda, seperti gen X perlahan sudah mulai luntur budaya membaca korannya. Apalagi gen Y dan gen Z yang begitu lahir langsung disambut dan dimanjakan dunia digital yang agak "kurang berkenan dan bersahabat" dengan koran.
Tapi apakah otomatis koran akan mati cepat atau lambat karena dinilai gagal beradaptasi dengan zaman? Bukankah di Indonesia dan juga di sejumlah negara jumlah penerbit koran sudah mulai berguguran. Kalau pun masih eksis, tiras atau oplahnya sudah jauh menurun di banding era 2012 -2014-an. Secara hitungan matematis banyak yang meramalkan demikian. Namun, ternyata tidak semua prediksi itu benar. Sejumlah penerbit surat kabar masih tetap eksis dengan berbagai strategi adaptasi yang mereka lakukan agar tetap mampu mengikuti perkembangan zaman yang sangat cepat ini.
Koran tidak lagi hanya berupa lembaran-lembaran kertas yang dicetak dan diedarkan setiap pagi dan sore hari oleh loper kepada pelanggannya. Tapi sudah mampu berubah bentuk menjadi file-file digital yang dalam hitungan detik bisa dikirimkan ke tangan para pelanggannya dan langsung dibaca. Dengan jaminan kualitas jurnalistik yang mumpuni, berita-berita yang disajikan juga sama atau bahkan lebih baik dan lebih update dari yang edisi cetak.
Perubahan lanskap bisnis media menuju ke arah yang semakin asimetris dengan dominasi platform-platfom digital global memang telah memaksa para penerbit berjibaku untuk terus mempertahankan diri, berselancar di tengah gelombang besar digitalisasi tanpa harus tenggelam di dalamnya. Para pengelola koran sadar betul, digital banyak membawa manfaat yang patut diadopsi. Tapi di sana juga banyak residu-residu yang harus dipisahkan dan disaring agar tidak mengotori kemurnian jurnalisme baik (good journalism) yang sudah menjadi roh atau nyawa media cetak yang terbukti mampu bertahan hingga detik ini sejak ratusan tahun lalu.
"Jika Anda tidak pernah membaca koran berarti Anda tidak punya informasi. Tapi jika sudah membacanya (tapi tetap mendapat berita palsu), berarti Anda mendapat informasi yang keliru,” ujar Denzel menjawab pertanyaan wartawan soal rumor dirinya pindah dukungan politik ke salah satu calon presiden.
Tanya jawab itu terjadi pada 7 Desember 2016 saat acara pemutaran perdana film Fences di Musem Nasional Sejarah & Kebudayaan Afrika Amerika di Washington, DC, Amerika Serikat.
Denzel yang kala itu menjadi objek berita palsu menambahkan di era banjir informasi seperti sekarang menyebabkan orang lebih memilih berita yang cepat, bukan berita yang benar. Sedangkan tanggungjawab jurnalis dan media adalah menyampaikan berita yang benar, bukan berita yang cepat saja. “Kita tidak peduli siapa yang hancur karena berita (yang salah) itu. Kita tidak peduli berita itu benar atau tidak. Katakan dan jual berita itu,” ungkap pemeran utama film Equalizer 1 dan Equalizer 2 ini.
Tentu saja ini pendapat pribadi Denzel Washington, sebagai bintang yang setiap saat menjadi pusat perhatian orang, termasuk media massa. Ada subjektivitas dari pendapat Denzel yang memang dikenal suka membaca buku dan koran ini. Karena itu kerap kali Denzel menyisipkan adegan membaca dan buku di dalam film-filmnya.
Di tengah disrupsi dan kemajuan teknologi informasi yang sangat revolusioner seperti sekarang ini, sosok atau orang seperti Denzel Washington semakin langka. Para pembaca koran sudah mulai menua. Sedangkan generasi yang lebih muda, seperti gen X perlahan sudah mulai luntur budaya membaca korannya. Apalagi gen Y dan gen Z yang begitu lahir langsung disambut dan dimanjakan dunia digital yang agak "kurang berkenan dan bersahabat" dengan koran.
Tapi apakah otomatis koran akan mati cepat atau lambat karena dinilai gagal beradaptasi dengan zaman? Bukankah di Indonesia dan juga di sejumlah negara jumlah penerbit koran sudah mulai berguguran. Kalau pun masih eksis, tiras atau oplahnya sudah jauh menurun di banding era 2012 -2014-an. Secara hitungan matematis banyak yang meramalkan demikian. Namun, ternyata tidak semua prediksi itu benar. Sejumlah penerbit surat kabar masih tetap eksis dengan berbagai strategi adaptasi yang mereka lakukan agar tetap mampu mengikuti perkembangan zaman yang sangat cepat ini.
Koran tidak lagi hanya berupa lembaran-lembaran kertas yang dicetak dan diedarkan setiap pagi dan sore hari oleh loper kepada pelanggannya. Tapi sudah mampu berubah bentuk menjadi file-file digital yang dalam hitungan detik bisa dikirimkan ke tangan para pelanggannya dan langsung dibaca. Dengan jaminan kualitas jurnalistik yang mumpuni, berita-berita yang disajikan juga sama atau bahkan lebih baik dan lebih update dari yang edisi cetak.
Perubahan lanskap bisnis media menuju ke arah yang semakin asimetris dengan dominasi platform-platfom digital global memang telah memaksa para penerbit berjibaku untuk terus mempertahankan diri, berselancar di tengah gelombang besar digitalisasi tanpa harus tenggelam di dalamnya. Para pengelola koran sadar betul, digital banyak membawa manfaat yang patut diadopsi. Tapi di sana juga banyak residu-residu yang harus dipisahkan dan disaring agar tidak mengotori kemurnian jurnalisme baik (good journalism) yang sudah menjadi roh atau nyawa media cetak yang terbukti mampu bertahan hingga detik ini sejak ratusan tahun lalu.
tulis komentar anda