Kisah Kasih Klasik
Sabtu, 11 Juni 2022 - 08:49 WIB
Sekar Mayang
Editor, penulis, pengulas buku, hidup di Bali
Konon, laut merupakan tempat hidup organisme pertama di planet ini. Air yang kaya nutrisi menjadi media yang tepat bagi tumbuhnya makhluk bersel satu, cikal bakal evolusi miliaran jenis spesies lainnya. Usman Arrumy memakai laut untuk menggambarkan awal tumbuhnya sebentuk cinta pada diri seorang perempuan. Ah, dan juga pada diri lelaki tentunya.
Perempuan Laut adalah buku pertama dari trilogi yang sedang digagas penulis kelahiran Demak ini. Para penggemar karyanya tentu tahu bahwa selama ini Usman adalah seorang penyair. Sekian karyanya sukses membawa para pembaca menyelami jagat rasa, memberi makna pada objek tak kasatmata yang dimiliki tiap individu. Akan tetapi, kali ini Usman sadar, bahwa tidak semua rasa dalam sebuah kisah dapat diceritakan melalui puisi. Ada kisah-kisah tertentu yang hanya bisa dipaparkan dengan baik melalui bentuk novel.
Seperti kisah klasik lainnya, novel ini dibuka dengan pertemuan antara dua orang asing. Kenyamanan yang segera saja datang, membuat si lelaki―seorang penulis yang tengah melakukan riset di tempat itu―dengan ringannya memberi nama Lare Segara kepada si perempuan. Oh, si perempuan bukannya tidak memiliki nama. Ia punya, tetapi kehidupan ternyata mengombang-ambingkan dirinya sehingga tak jarang membuat ia seolah-olah tidak mengenal dirinya sendiri.
Seperti pula kisah klasik lainnya, sebuah pertemuan memiliki dua percabangan, yaitu penyatuan atau perpisahan. Si lelaki, yang belakangan diketahui bernama Kidung Sorandaka, terikat jadwal untuk berkeliling ke sejumlah tempat demi rampungnya riset. Mereka memang berpisah, tetapi ternyata takdir cukup iseng untuk membuat mereka kembali berjumpa di situasi yang agak berbeda. Ya, situasi kala keduanya telah jatuh cinta. Apakah sebegitu mudahnya seseorang jatuh cinta? Mengapa logika seolah-olah hilang ketika momen itu datang? Apakah tidak bisa seseorang jatuh cinta dengan tetap mengedepankan nalar dan akal? Jawabannya tentu sangat kompleks.
Pertama, kondisi seseorang tentu berbeda dengan individu lainnya, baik fisik maupun batin. Menurut ahli, jatuh cinta adalah peristiwa yang melibatkan sejumlah hormon. Kadarnya sudah pasti berbeda di tiap individu. Jika tipis-tipis saja, mungkin ia masih bisa menggandeng nalar dan akal untuk memutuskan sebuah tindakan: apakah akan diteruskan, atau cukup sampai di titik tertentu. Kedua, pengalaman merupakan guru yang berharga. Masa lalu membentuk seseorang menjadi pribadi saat ini. Segala momen, baik yang menyenangkan maupun menyakitkan, memberi pengetahuan yang pastinya ia jadikan landasan untuk membuat sebuah keputusan.
Lare Segara tentu punya pertimbangan tertentu ketika memutuskan memberi lukisan pertamanya kepada Kidung Sorandaka. Padahal, lukisan itulah yang membawa Lare Segara mendapat segala hal yang menjadikannya seperti sekarang―membuatnya memiliki kehidupan. Pun, itu bukan lukisan dengan objek luar biasa bagi awam. Hanya segelintir orang yang akan memahami bahwa lukisan itu adalah hidup Lare. Sora adalah salah satu dari yang hanya segelintir itu.
Dan, Kidung Sorandaka sendiri tidak akan memeluk erat lukisan itu jika sekiranya memberatkan diri menyelamatkan hidup di tengah amukan badai lautan. Bagi Sora, kini lukisan itu adalah hidupnya. Tidak pernah ia merasa begitu ‘jatuh’ ketika bertemu seorang perempuan. Ya, sebagai penyair, hidup Sora dikelilingi banyak perempuan. Satu, dua dari mereka tentu pernah menjadi yang spesial di hati Sora. Hanya saja, tidak ada yang seekstrem pesona Lare Segara.
Editor, penulis, pengulas buku, hidup di Bali
Konon, laut merupakan tempat hidup organisme pertama di planet ini. Air yang kaya nutrisi menjadi media yang tepat bagi tumbuhnya makhluk bersel satu, cikal bakal evolusi miliaran jenis spesies lainnya. Usman Arrumy memakai laut untuk menggambarkan awal tumbuhnya sebentuk cinta pada diri seorang perempuan. Ah, dan juga pada diri lelaki tentunya.
Perempuan Laut adalah buku pertama dari trilogi yang sedang digagas penulis kelahiran Demak ini. Para penggemar karyanya tentu tahu bahwa selama ini Usman adalah seorang penyair. Sekian karyanya sukses membawa para pembaca menyelami jagat rasa, memberi makna pada objek tak kasatmata yang dimiliki tiap individu. Akan tetapi, kali ini Usman sadar, bahwa tidak semua rasa dalam sebuah kisah dapat diceritakan melalui puisi. Ada kisah-kisah tertentu yang hanya bisa dipaparkan dengan baik melalui bentuk novel.
Seperti kisah klasik lainnya, novel ini dibuka dengan pertemuan antara dua orang asing. Kenyamanan yang segera saja datang, membuat si lelaki―seorang penulis yang tengah melakukan riset di tempat itu―dengan ringannya memberi nama Lare Segara kepada si perempuan. Oh, si perempuan bukannya tidak memiliki nama. Ia punya, tetapi kehidupan ternyata mengombang-ambingkan dirinya sehingga tak jarang membuat ia seolah-olah tidak mengenal dirinya sendiri.
Seperti pula kisah klasik lainnya, sebuah pertemuan memiliki dua percabangan, yaitu penyatuan atau perpisahan. Si lelaki, yang belakangan diketahui bernama Kidung Sorandaka, terikat jadwal untuk berkeliling ke sejumlah tempat demi rampungnya riset. Mereka memang berpisah, tetapi ternyata takdir cukup iseng untuk membuat mereka kembali berjumpa di situasi yang agak berbeda. Ya, situasi kala keduanya telah jatuh cinta. Apakah sebegitu mudahnya seseorang jatuh cinta? Mengapa logika seolah-olah hilang ketika momen itu datang? Apakah tidak bisa seseorang jatuh cinta dengan tetap mengedepankan nalar dan akal? Jawabannya tentu sangat kompleks.
Pertama, kondisi seseorang tentu berbeda dengan individu lainnya, baik fisik maupun batin. Menurut ahli, jatuh cinta adalah peristiwa yang melibatkan sejumlah hormon. Kadarnya sudah pasti berbeda di tiap individu. Jika tipis-tipis saja, mungkin ia masih bisa menggandeng nalar dan akal untuk memutuskan sebuah tindakan: apakah akan diteruskan, atau cukup sampai di titik tertentu. Kedua, pengalaman merupakan guru yang berharga. Masa lalu membentuk seseorang menjadi pribadi saat ini. Segala momen, baik yang menyenangkan maupun menyakitkan, memberi pengetahuan yang pastinya ia jadikan landasan untuk membuat sebuah keputusan.
Lare Segara tentu punya pertimbangan tertentu ketika memutuskan memberi lukisan pertamanya kepada Kidung Sorandaka. Padahal, lukisan itulah yang membawa Lare Segara mendapat segala hal yang menjadikannya seperti sekarang―membuatnya memiliki kehidupan. Pun, itu bukan lukisan dengan objek luar biasa bagi awam. Hanya segelintir orang yang akan memahami bahwa lukisan itu adalah hidup Lare. Sora adalah salah satu dari yang hanya segelintir itu.
Dan, Kidung Sorandaka sendiri tidak akan memeluk erat lukisan itu jika sekiranya memberatkan diri menyelamatkan hidup di tengah amukan badai lautan. Bagi Sora, kini lukisan itu adalah hidupnya. Tidak pernah ia merasa begitu ‘jatuh’ ketika bertemu seorang perempuan. Ya, sebagai penyair, hidup Sora dikelilingi banyak perempuan. Satu, dua dari mereka tentu pernah menjadi yang spesial di hati Sora. Hanya saja, tidak ada yang seekstrem pesona Lare Segara.
tulis komentar anda