Kerusuhan Rasial di AS Harus Jadi Pelajaran Berharga bagi Indonesia
Jum'at, 12 Juni 2020 - 08:06 WIB
JAKARTA - Kerusuhan yang dipicu persoalan rasial di Amerika Serikat (AS) dan menyebar ke sejumlah negara lainnya di wilayah Eropa, menyusul tindakan represif polisi kulit putih AS kepada warga kulit hitam, George Floyd yang berujung kematian, harus menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia.
Ketua Dewan Wilayah Pergerakan Indonesia Maju (DW PIM) Aceh Zardan Araby mengatakan, apa yang terjadi di AS harus menjadi contoh bagaimana negara harus bertindak secara adil. Menurutnya, kepolisian dibentuk untuk menjaga keamanan dan ketentraman masyarakat. Namun di beberapa negara, polisi justru kerap membuat gaduh.
"Polisi harus disiapkan mentalnya. Misalnya saat demo bukan malah bertindak represif. Karena itu, polisi-polisi yang nakal harus ditertibkan dan dihukum," katanya dalam Sarasehan Kebangsaan #21 bertema "Kerusuhan Rasial di Amerika Serikat: Pelajaran Berharga bagi Indonesia" yang digelar Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DN-PIM) secara virtual dengan moderator Din Syamsuddin selaku Ketua Umum DN-PIM, Kamis (11/6/2020). (Baca: Lewat Operasi Rahasia, Indonesia Bebaskan 3 WNI yang Diculik Bajak Laut)
Dikatakan Zardan Araby, tindakan seperti yang dilakukan polisi di AS terhadap George Floyd yang begitu sadis hingga meninggal, harus ditindak tegas. Menurutnya, ke depan, rasisme bisa dihindari jika pihak keamanan dan pimpinan bersatu padu.
"Tidak perlu mereka berhadap dengan masyarakat dengan cara-cara yang tidak beradap. Ini yang patut kita sampaikan. Persoalan rasisme di Indonesia diperluas mencakup SARA, ini memerlukan penegakan hukum yang konsisten dan berkeadilan," tuturnya.
Sementara itu, Ketua DW-PIM Kalteng I Nyoman Sudiana mengatakan, kejadian rasisme di AS benar-benar mencemaskan. Menurutnya, setiap orang sebenarnya punya perasaan dasar rasis sehingga sangat mudah menjadi rasisme. (Baca juga: Saudara Muda PAN Akan Jadi Oposisi Pemerintah)
"Secara insting mudah prejudise, sikap negatif, perasaan negatif ,tidak suka terhadap kelompok di luar kelompoknya. Semua orang bisa menjadi rasisme kecuali aturan-aturan negara dibuat sedimikian rupa untuk mengekang kecenderuan orang menjadi rasisme," tuturnya.
Kondisi multikultur seperti di Indonesia secara psikologis gampang tersulut maka rambu-rambu atau aturan bernegara harus diperkuat. "Kita belajar dari AS, kejadian ini bahaya betul maka rambu-rambu demokrasi kita, aturan, etika, perangkat hukum harus diperkuat," tuturnya.
Menurutnya, Indonesia beruntung memiliki kearifal lokal historis berupa Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila untuk memagari kesadaran insting alamiah manusia yang jika dilepas akan menjadi rasis. "Jadi, perangkat negera harus kuat memagari," kata Guru Besar Universitas Palangkaraya ini.
Anggota DN-PIM Uung Sendana menambahkan, belajar dari AS yang sudah lebih dari 200 tahun merdeka, ternyata masih ada suprioritas ras tertentu. Menurutnya, apa yang terjadi di AS menunjukkan bahwa kepemimpinan itu penting dalam menangani permaslahan di suatu negara karena hal itu akan membuat suasana lebih baik atau bergelora. "Apa yang terjadi di AS, juga menunjukkan bahwa di era internet ini, suatu kejadian di suatu daerah bisa menyebar begitu cepat," katanya. (Baca juga: Komisi I DPR Tegaskan Tidak Tepat Bandingkan Kasus Floyd dengan Papua)
Di Indonesia yang sudah 75 tahun merdeka, kata Uung, juga masih terjadi banyak persoalan rasial. Dia mencontohkan kejadian kerusuhan di Papua, juga perselisian Suku Dayak dan Madura di Sampit. "Setiap pemilu juga selalu diusung soal SARA. Di AS, Donald Trump memang mengusung masalah SARA yang berbahaya. Indonesia dalam sertiap pemilu kita sering menghadapi persoalan-persoalan itu," katanya.
Menurut Uung, setiap etnis seharusnya bahu-membahu dan mengatasi perbedaan karena kita mempunyai modal besar Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. (Abdul Rochim)
Ketua Dewan Wilayah Pergerakan Indonesia Maju (DW PIM) Aceh Zardan Araby mengatakan, apa yang terjadi di AS harus menjadi contoh bagaimana negara harus bertindak secara adil. Menurutnya, kepolisian dibentuk untuk menjaga keamanan dan ketentraman masyarakat. Namun di beberapa negara, polisi justru kerap membuat gaduh.
"Polisi harus disiapkan mentalnya. Misalnya saat demo bukan malah bertindak represif. Karena itu, polisi-polisi yang nakal harus ditertibkan dan dihukum," katanya dalam Sarasehan Kebangsaan #21 bertema "Kerusuhan Rasial di Amerika Serikat: Pelajaran Berharga bagi Indonesia" yang digelar Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DN-PIM) secara virtual dengan moderator Din Syamsuddin selaku Ketua Umum DN-PIM, Kamis (11/6/2020). (Baca: Lewat Operasi Rahasia, Indonesia Bebaskan 3 WNI yang Diculik Bajak Laut)
Dikatakan Zardan Araby, tindakan seperti yang dilakukan polisi di AS terhadap George Floyd yang begitu sadis hingga meninggal, harus ditindak tegas. Menurutnya, ke depan, rasisme bisa dihindari jika pihak keamanan dan pimpinan bersatu padu.
"Tidak perlu mereka berhadap dengan masyarakat dengan cara-cara yang tidak beradap. Ini yang patut kita sampaikan. Persoalan rasisme di Indonesia diperluas mencakup SARA, ini memerlukan penegakan hukum yang konsisten dan berkeadilan," tuturnya.
Sementara itu, Ketua DW-PIM Kalteng I Nyoman Sudiana mengatakan, kejadian rasisme di AS benar-benar mencemaskan. Menurutnya, setiap orang sebenarnya punya perasaan dasar rasis sehingga sangat mudah menjadi rasisme. (Baca juga: Saudara Muda PAN Akan Jadi Oposisi Pemerintah)
"Secara insting mudah prejudise, sikap negatif, perasaan negatif ,tidak suka terhadap kelompok di luar kelompoknya. Semua orang bisa menjadi rasisme kecuali aturan-aturan negara dibuat sedimikian rupa untuk mengekang kecenderuan orang menjadi rasisme," tuturnya.
Kondisi multikultur seperti di Indonesia secara psikologis gampang tersulut maka rambu-rambu atau aturan bernegara harus diperkuat. "Kita belajar dari AS, kejadian ini bahaya betul maka rambu-rambu demokrasi kita, aturan, etika, perangkat hukum harus diperkuat," tuturnya.
Menurutnya, Indonesia beruntung memiliki kearifal lokal historis berupa Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila untuk memagari kesadaran insting alamiah manusia yang jika dilepas akan menjadi rasis. "Jadi, perangkat negera harus kuat memagari," kata Guru Besar Universitas Palangkaraya ini.
Anggota DN-PIM Uung Sendana menambahkan, belajar dari AS yang sudah lebih dari 200 tahun merdeka, ternyata masih ada suprioritas ras tertentu. Menurutnya, apa yang terjadi di AS menunjukkan bahwa kepemimpinan itu penting dalam menangani permaslahan di suatu negara karena hal itu akan membuat suasana lebih baik atau bergelora. "Apa yang terjadi di AS, juga menunjukkan bahwa di era internet ini, suatu kejadian di suatu daerah bisa menyebar begitu cepat," katanya. (Baca juga: Komisi I DPR Tegaskan Tidak Tepat Bandingkan Kasus Floyd dengan Papua)
Di Indonesia yang sudah 75 tahun merdeka, kata Uung, juga masih terjadi banyak persoalan rasial. Dia mencontohkan kejadian kerusuhan di Papua, juga perselisian Suku Dayak dan Madura di Sampit. "Setiap pemilu juga selalu diusung soal SARA. Di AS, Donald Trump memang mengusung masalah SARA yang berbahaya. Indonesia dalam sertiap pemilu kita sering menghadapi persoalan-persoalan itu," katanya.
Menurut Uung, setiap etnis seharusnya bahu-membahu dan mengatasi perbedaan karena kita mempunyai modal besar Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. (Abdul Rochim)
(ysw)
tulis komentar anda